Allah selalu menghadirkan diri dalam setiap hembusan nafas kita. Dia tidak pernah diam. Dengan cara-Nya sendiri Ia selalu bekerja. Tanpa keterbukaan hati membuat diriku menjadi tanda desolasi [mengabaikan Allah yang dalam diriku]. Dengan kata lain bisa dikatakan menutupi diri. Pada hal sudah mengenal, mengetahui secara lebih mendalam apa sebenarnya yang kurasakan dan kualami tentang kasih Tuhan yang tiada batas. Cinta-Nya yang tak terbatas melampaui helatan hafas. Mengapa aku mencari Allah? Tidakkah Allah bekerja dalam diri? Ketika aku tidak merasakan kehadiran Allah, rasanya yang kucari itu bukan Allah, tetapi ‘promosi diri’ entah demi jabatan, kepuasan diri atau kesenangan pribadi belaka saja. Maka, kita tidak melihat dan merasakan Allah bersama Allah. Karena mengutamakan kesenangan pribadi.
Saya terinspirasi dengan certia Sr. Yovani, SDP [sesi diserment] ketika menceritakan salah satu contoh ‘sikap orang yang menyombongkan diri’ dengan menunjukkan kehebatannya. Katakanlah “Orangnya baik, ganteng, pintar, rajin menulis buku, dan isi bukunya bagus-bagus semua. Singkatnya banyak orang kagum, terpesona sehingga rasa kagum itu datang dari berbagai pihak.” Akibatnya ‘kita tehanyut’ dengan datangnya ujian itu. Mengapa demikian, nah, hemat saya letaknya pada ‘lupa diri’. Apa sebenarnya yang perlu saya syukuri? Pujian, dambaan, hadiah, dsb…
Kisah singkat itu memberikan pelajaran bagi saya dan teman-teman yang membaca tulisan ini untuk melihat kedalaman diri seindiri. Mengapa aku mendapat banyak pujian bukan Dia? Kenapa bukan rasa syukur yang kuterima karena kebaikan Tuhan yang memberikan talenta kepadaku untuk aku gunakan melayani sesama.
Berjalan bersama Tuhan
Kesadaran bahwa ‘aku’ adalah alat Tuhan. Hidupku merupakan angerah yang kuterima secara cuma-cuma [Mat 10:8] menjadi sebuah pegangan kuat dari pada sekedar melewati pengalaman bersama Tuhan dan melompat lebih jauh. Sadarilah dari dalam batin diri sendiri, dan bertanyalah kepada Tuhan? Lord, what do you want to me? [St. Fransiskus] dan jadikan kebiasaan untuk bertanya kepada Tuhan [Paus Fransiskus]. Maka bagiku yang sangat penting disini adalah melakukan dengan penuh ketulusan dan kesadaran yang penuh sehingga mampu melaksanakan dengan penuh rasa tanggungjawab dan berfaedah bagi orang lain. Kesenangan bukan semata-mata kepuasan semu, tetapi mengenai isi terdalam perjumpaan dengan Tuhan. Apa yang Tuhan mau untuk aku perbuat? Apa yang Tuhan kehendaki untuk aku lakukan? Tuhan yang memberikan semua talenta itu, dan tentunya kembalikan kepada Tuhan. Bukan atas kemauan dan kepuasan ini. Kalau kepuasan diri yang kulakukan, maka sangat tidak heran, yang kulakukan adalah hanya kesenangan sesaat saja.
Kesadaran mendalam tentang anugerah Tuhan membutuhkan kepekaan batin. Kepekaan batin itulah membuat kita semakin mengenal karya keselamatan Allah. Dalam berbagai pelayanan, tujuan kita adalah memuji Allah, bukan memuji diri sendiri. Ini memang bukan jalan yang mudah. Sekali lagi, membutuhkan ketajaman hati untuk melihat, apakah yang kulakukan sungguh-sungguh melaksanakan karya Allah? Tidak serta-merta atas kemauan sesaat tanpa mempertimbangkan dengan baik dan bijaksana. Pentingnya diserment untuk kembali mengutamakan kehendak-Nya.
Belajar dari Kemurahan Hati Tuhan
Marilah kepada-Ku kalian semua yang letih seluh dan berbeban berat, Aku akan memberikan kegelaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwaku akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang kupasang itu enak dan beban-Ku pun ringan [Mat 11:28-30].
Kesadaran bahwa hidup ini bukanlah sebuah perjalanan muluk-muluk, sangatlah penting. Memang yang perlu diperjuangkan adalah cita-cita ideal [ekspetasi] yang tinggi, pengen itu, pengen ini. Dan itulah yang kita kejar. Pasti semua itu akan tercapai kalau selaras dengan pengorbanan. Cita-cita ideal memang penting, tetapi bukan yang abstrak, di atas awang-awang. Bukan itu! Mulailah dengan hal yang sederhana.
Kembali pada konteks di atas, perjuangan hidup kita menuju pada cita-cita Injili. Itu bukan? Tentu saja. Sebagai pengikut Kristus, apalagi religius, yang jelas tujuan utamanya adalah mewujudkan kemulian Allah. Sebagaimana Allah telah melakukan-Nya dengan penuh konsekuen. Di mana? Kita bisa belajar dari Injil Lukas yang secara implisit dapat menyimpulkan misi Yesus datang ke dunia, Roh Tuhan ada pada-Ku oleh sebab ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin, dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk pembebasan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang [Luk 4:18-19].
Tentu saja tugas ini bukanlah tugas yang mudah. Kerapkali apa yang kita lakukan kadangkala tidak dapat tercapai dengan baik membuat kita menjadi malas, lemas, khwatir, dll. Salah satu slide powerpoint yang dipaparkan oleh Rm. Kristo Tara, OFM untuk mengulas tentang perjuangan Rm. Peter Aman, OFM [Alm] menegaskan demikian “Apa yang kita lakukan di dunia ini, janganlah melihat berhasil atau gagal. Tetapi teruslah berjuang membela kebenaran dan kebaikan dengan penuh komitmen dan tanggungjawab yang tak dapat diukur berhasil atau gagal, tetapi kita mewujudkan Kerajaan Allah di dunia, sebagaimana Kristus sendiri membela kaum lemah. Jangan takut.”
Kita kenali misi Kristus datang ke dunia, Dia harus menaggung segala resiko, sengsara, menderita, wafat di kayu salib dan pada hari ketiga Ia bangkit. Perjalanan misi-Nya dalam mewartakan Kerajaan Allah itu menjadi tugas kita semua saat ini. Kita diutus dengan berbagai macam tugas yang kita laksanakan, mulai dari tugas yang sederhana hingga yang terbesar. Secara jujur, kita ungkapkan tugas yang kita laksanakan bukan tugas yang mudah, tetapi berat, bahkan ketika kita tidak mampu menghadapi kita menanggis, mengeluarkan air mata, saking beratnya tantangan yang kita hadapi.
Lukas bisa membatu kita untuk melihat kembali, ke mana hendak kuserahkan semua beban hidupku? Satu-satunya adalah Dia, belajar dari pada-Nya kita menjadi lebih sabar, rendah hati untuk bekerjasama, menjadi pribadi yang lemah lembut, sehingga mampu menghadapi tantangan dengan bijaksana dan tenang. Sekali lagi, yang kita rasakan kalau kita bersikap para pada kehendak-Nya adalah mampu menghadapi dengan penuh ketulusan hati.