Guru menjadi pendidik yang mulia karena tugasnya yang kompleks, tidak saja menuntutnya memenuhi peraturan pemerintah, tetapi juga caranya [guru] mendidik agar muridnya kelak menjadi seorang pribadi yang suskses dan bertanggungjawab. Bahkan tidak hanya itu, perjungannya [guru] agar nara didiknya dapat menjadi orang berprestasi dan sukses. Bukan guru yang mendapat pujian, tetapi siswa-siswinya yang mendapatkan prestasi, itulah yang mendapat pujian. Ia tetaplah menjadi seorang guru. Sekalipun menghadapi tantangan, ia tetap berjuang memberikan yang terbaik bagi peserta didiknya.
Situasi Konkret
Fransiskus [2019:7] mengangkat kisah konkret yang terjadi bagi perkembangan professionalitas guru di lapangan, dikatakan bagi sebagian orang menjadi Guru adalah tugas yang berat, jengkel, bosan, menyebalkan, dan tidak menantang. Mengajar mungkin juga suatu kegiatan yang menakutkan, penuh dengan kewaspadaan [hati-hati] bahkan membuat tubuh kita mencemaskan, takut, grogi karena berhadapan dengan sifat dan karakter siswa-siswi yang berbeda membuat diri kita sendiri [guru] merasa minder karena ada siswa-siswi yang dianggap hebat.
Ketika mengajar pun, tak jarang saya dan mungkin juga bapak ibu guru sibuk dengan melihat jam dinding di kelas atau jam tangannya. Ingin jarum jam cepat berputar atau cepat selesai. Ia ingin cepat berlalu dan berakhir. Ia tidak ingin lama-lama di siswa-siswi. Terkadang juga menghentikan proses belajar mengajar sebelum waktunya.
Kesenjangan antara Realita dengan Cita-Cita Pendidikan
Tugas yang tidak mudah saat ini kita geluti adalah memberikan hati terhadap siswa-siswi sebagai subjek dalam pendidikan. Tanpa siswa-siswi proses pembelajaran tidak akan terjadi, demikian pula sebaliknya, tanpa ada guru, siswa-siswi tidak dapat belajar maksimal. Maka keduanya memiliki peran penting dalam dunia pendidikan. Maka, pendidikan merupakan bagian yang terpenting dalam sejarah perjalanan hidup manusia.
Apakah situasi di atas juga terjadi dalam diri kita masing-masing? Pendidikan bukan saja berbagai pengetahuan [transfer ilmu], tetapi hati yang memberikan diri secara totalitas kepada peserta didik [siswa-siswi]. Pandemi Covid 19 ini, menuntut diri kita secara kratif dalam memberikan perhatian kepada peserta didik. Sejauhmana kita memberikan pelayanan terhadap peserta didik yang membutuhkan kita.
Sebagai guru, kita perlu menyadari bahwa esensi dari sebuah proses pendidikan dinamakan mengajar dan belajar [learning teaching]. Siswa-siswi belajar dari para guru, dan para guru belajar dari peserta didik. Keharidarannya di kelas untuk saling melengkapi.
Saling belajar merupakan bagian yang sangat penting dalam memaknai proses pendidikan. Dengan demikian pendidikan terjadi hubungan timbal balik. Guru perlu menjadi teladan bagi peserta didik. Keutamaan ini menjadi proses pendidikan yang sangat beraharga. Implikasi pendidikan dalam iman katolik adalah belajar dari sosok guru yang utama, yakni Yesus Kristus. Yesuslah menjadi teladan seorang guru. Keutamaan Yesus adalah menyelamatkan, membebaskan dan memerdekakan bagi keselamatan umat manusia.
Belajar dari Sang Guru (Luk 4:16-30)
Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang. [Luk 4:18-19]
Hubungan timbal-balik menjadi keutamaan penghayatan iman Kristiani. Hubungan itu terjadi antara guru dan siswa-siswi atau sebaliknya. Demkian juga yang dilakukan Yesus kepada para murid-Nya. Ajaran Yesus mendidik para murid pada kedewasaan emosional, yaitu kemampuan untuk mengendalikan perasaan, kemampuan untuk menghadapi semua situasi dengan penuh kesabaran. Yesus menghadapi segala sesuatu dengan penuh kasih. Wujud konkret kasih yang dilakukan Yesus adalah menyembuhkan orang sakit, orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang mati dibangkitkan, orang buta melihat.
Semua itu dilakukan Yesus karena kecintaan-Nya terhadap semua manusia. Ia tidak pernah bosan, menyerah dengan situasi apa pun yang dihadapi-Nya. Tidak pernah bosan, tidak pernah kecewa, sekalipun manusia selalu jatuh dalam dosa. Ia datang untuk menyelamatkan. Mestilah kita terus belajar dari sosok Pribadi Yesus yang setia mewartakan Kerjaan Allah yang sampai saat ini mendatangkan sukacita bagi para pendengar.
Dalam hal ini Yesus selalu menjadi teladan bagi kita sebagai guru, yakni setia dalam tugas. Menjadi teladan bagi peserta didik. Teladan itulah yang menjadi sukacita untuk dikenang oleh peserta didik. Sebagaimana Yesus dan para murid-Nya. Para murid belajar dari Sang Guru yang rela dan berani berbagi kehidupan-Nya untuk keselamatan bagi semua umat.
Konsekuensi bagi Para Pendidik
Dipanggil menjadi seorang guru, yang jelas meneruskan tugas Kristus. Kita dipanggil untuk melaksanakan tugas itu dengan profesi kita sebagai seorang guru. Guru yang memberikan hati dan teladan bagi peserta didik. Saat ini pula, kita dituntut untuk menjadi guru yang memberikan hati bagi peserta didik. Kerinduan terdalam adalah perjumpaan dari hati ke hati “antara guru dan siswa-siswi.”
Baiklah kita terus membangun relasi dengan peserta didik dengan penuh bahagia, perhatian, bukan dengan rasa bosan. Siswa-siswi adalah pribadi yang ingin banyak belajar. Sumber belajar itu selalu datang dari guru dengan teladan hidup yang khas, unik dan tanggungjawab.
Spiritualitas Guru
Berkaitan dengan tema ini, saya mengutip apa yang disajikan dalam buku spiritualitas guru yang di tulis oleh Rm. Paul Suparno, SJ [2019:23] yang secara umum memberikan gambaran mengenai spiritualitas guru, antara lain:
- Kesadaran, keyakinan mendalam dalam diri kita sebagai seorang guru yang memberikan semangat dan mendasari pemikiran dan tindakan kita ke dalam mendidik peserta didik.
- Ada Roh yang selalu menyemangati dan menggerakkan cara kita mendidik siswa sebagai seorang guru.
- Sikap dasar dalam diri kita yang menggerakkan para guru untuk melaksankan perutusan dan panggilannya sebagai pendidik secara efektif.
- Semangat untuk kesadaran itu didasari dan dilandasi oleh relasi guru tersebut dengan Tuhan dan agama atau keyakinan yang dianutnya.
Kalau demikian dapat disimpulkan bahwa spiritualitas guru merupakan dorongan dari dalam diri yang di gerakkan oleh Roh secara sadar, yakin dalam mewujudkan cita-cita mendidik secara semangat, baik dalam mendidik, bertindak maupun cara berpikir.
Kesimpulan
Menjadi guru adalah panggilan untuk ikut ambil bagian dalam mewartakan karya keselamatan Allah. Kita dipanggil untuk mendidik peserta didik. Tugas yang berat ini, kalau dijalan dengan bahagia [happy], kita temukan sukacita, kedamaian, dan kerinduan terdalam dari peserta didik. Lebih dari pada itu, kita temukan Allah yang hadir dalam diri peserta didik. Dalam diri mereka Allah memacarkan cahaya kasih. Allah menuntut kita untuk memberikan perhatian dengan kasih. Allah yang tidak membiarkan umat-Nya hidup tercerai-berai, tetapi mengumpulkan [menghimpunkan] umat agar memeperoleh keselamatan. Demikian pula dalam diri peserta didik.
Kita mau memberikan perhatian kepada peserta didik, agar mereka kelak tinggal dalam keluarga, masyarakat dan negara menjadi pribadi yang turut menghargai dirinya, sesama dan menjadi pribadi yang bertanggungjawab untuk meneruskan kabar sukacita yang diwariskan Kristus sendiri.
Menjadi guru, menjadi pendidik. Pendidik perlu menjadi ‘role model’bagi para siswa-siswi. Keutamaaan seorang pendidik menyadari tugasnya yang utama sebagai seorang yang mengembangkan karya pendidikan. Karya pengembangan itu mencakup seluruh aspek dari proses pendidikan itu, mulai dari pendampingan, sikap sosial, spiritual, hingga pengembangan pengetahaun. Itulah peran pendidik. Pendidik yang memberikan hati bagi peserta didik terutama siswa siswi yang mengalami kesulitan.
Sumber Bacaan
FRANSISKUS EMANUE DA SANTO. Pr [2019]. Guru Katolik. Yogyakarta. Kanisius.
PAUL SUPARO, SJ. [2019]. Spiritualitas Guru. Yogyakarta. Kanisius.
KITAB DEUTEROKANONIKA. [1976]. LAI
Sumber gambar dari Instagram