Mon. Feb 17th, 2025

Pendahuluan
Pada pelajaran “Misi dan Sejarah tarekat kongregasi Bruder MTB”, para novis begitu semangat menjelaskan tentang hal ikwal perjuangan para bruder pioner MTB di tahun 1854 sampai 2004. Bahkan secara khusus mereka mengupas tuntas tentang perjalanan lima misionaris pertama yang berkarya di Singkawang Kalimantan Barat yaitu tepatnya tahun 1921. Mereka begitu asyik berdiskusi tentang sejarah tersebut. Sambil berimajinasi muncul gagasan, “andaikan saya hidup di zaman misionaris, mungkinkah saya bisa tegar dan tegak seperti perjuangan dengan gaya heroik mereka? Satu teman novis lain menimpali dengan kata-kata yang sederhana… “jangan terlalu idealis kawan… di depan mata kita banyak yang harus kita buat. “Mari kita merawat dan meneruskan karya awal kongregasi dengan khas di zaman mileneal ini, dengan terobosan yang kekinian.
Berangkat dari pembincangan para novis di atas, rasa-rasanya saya ikut berpikir bagaimana gaya berbicara dan fantasi mereka di tengah zaman teknologi ini. Terobosan seperti apakah yang diharapkan oleh mereka agar tidak tergerus dengan tawaran yang selalu menggodai mereka untuk setia maju atau mundur menjadi seoarang bruder.
Kenikmatan dalam fantasi mereka tentang pengalaman misionaris bruder MTB, menjadi sebuah wacana untuk bisa menarasikan kembali bagaimana gaya dan khas hidup Bruder MTB tetap dirawat. Karya-karya klasik yang masih bertahan sampai saat ini adalah sekolah. Karya ini masih dijagai dan hidupi yang mungkin satu waktu akan diambil oleh pemerintah dalam karya tersebut.
Robwolf (2004) dalam buku “Huijbergen dan ujung-ujung dunia” terbersit kisah suram keadaan para bruder MTB . Tentu saja fenomena ini mengajak generasi muda MTB saat ini untuk ambil bagian apa yang bisa teruskan maksud awal kongregasi bruder MTB ini berdiri. Salah satu yang memikat para novis saat ini adalah begitu kagum dengan pola kesederhanaan para bruder misionaris. Akan tetapi pada saat yang sama, mereka juga dengan nalar kritisnya mulai muncul. Mereka mengkritisi begitu tajam ketika pola hidup tersebut, tidak nampak pada bruder MTB yang ada sekarang di Indoenesia. Tentu saja para novis ingin mengaplikasikan apa yang tertulis dalam buku sejarah MTB. Akan tetapi faktanya berbanding terbalik. Mungkinkah mereka ingin membaca juga kisah orisinal para bruder perdana dari Indonesia sebagai awal dari lahirnya kongregasi MTB 100 tahun berkarya di Indonesia?
Menurut sharing beberapa formator di Yogyakarya para religius muda yang bergabung di setiap tarekat hampir 75% hidup sebagai generasi mileneal tentu saja mempengaruhi mereka cara berpikir dengan budaya instan. Hal ini dapat kita telurusi dalam bentuk refleksi, cara berkomunikasi satu sama lain dan juga artikulasi yang praktis dalam hidup di komunitas Novisiat. Lalu pertanyaan apa yang kita buat dan kemana arah dan tujuan dalam pembinaan generasi mileneal dewasa ini. Para pendamping pun lewat berbagi cara membuat modul untuk menulusuri akariah persoalan para formandi sekarang ini (Kristianto, 2020).
Tantangan Formator
Dalam Kompas Rabu, 28 Oktober 2020 hal.1 mengupas panjang lebar tentang tentang persoalan dan keluhan dalam menghadap generasi milenial. Persoalan mendasar adalah gaya kritis mereka dengan segala idealismenya. Mereka mewujudnyatakannya dalam sikap verbal maupun nonverbal dalam menghadapi problem di masyarakat. Nalar kritisnya kuat. Akibatnya membuat golongan tua menjadi stress atas perubahan-perubahan yang bisa mengeleminasi ideologi orang lebih tua dari mereka.
Ketika saya merefleksikanya ke dalam lingkungan pendidikan biara ternyata hampir sama tantangannya. Ketika berjumpa dan menghadapi formandi milenial saat ini, gaya dan orientasi hidupnya dihinoptis pengalaman di masyarakat. Gejala ini sngat menarik untuk dikaji lebih jauh antara orientasi dan motivasi atas piihan hidup menjadi bruder. Formator pun harus jauh lebih kaya akan pengalaman itu menjadi bahan masuk dalam mendampingi mereka.
Melihat fenomena di atas, maka muncul sebuah pertanyaan bagi saya adalah bagaimanakah para formator menyikapinya dalam menghadapi calon religius dengan gaya zaman. Mcrobbie (1994:343) dalam buku Postmodernism and Popular Culture, mendeskripkan bahwa golongan tua akan mengalami kepanikan moral dan kohesi sosial ketika tidak siap menhadapi revolusi ideologi yang berbau moderen dari generas muda. Manusia akan mudah stagnan di tempat dan tidak bisa berbuat apa-apa; ketika semuanya diatur oleh teknologi yang memerintah otak kiri dan kanak kepada manusia. Ruang interaksi sosial menjadi bisu karena persaingan dominasi teknologi menyerang sisi kemanusian kita. Budaya individual dengan gaya ‘merunduk’ sudah merasuk dalam diri kaum milenial.
Dalam temuan sharing pengalaman para formator dari aneka religius, pada tanggal 26-29 April 2018 bertempat di Roncalli, bahwasanya, banyak hal yang harus diperjuangan dalam mendampingi formandi di zaman ini. Menurut beberapa formator bahwa para formandi sekarang mengalami pergeseran nilai-nilai yang ditanamkan dalam kehidupan religius. Fenomena ini karena tergerus oleh zaman mileneal yang serba instan tanpa memikirkan nilai-nilai proses dan perjuangan menuju kesempurnaan.
Berdasar sharing tersebut, ada tiga aspek yang saya deskripsikan, dan hal ini yang sangat rentan dalam pembicaraan bersama waktu itu yakni; pertama: aspek karakter para formandi. Pada aspek ini, daya juang formandi lemah. Selalu diberi pemahaman/pengertian, kurang peka, semau gue. Mereka terlalu lantang-menantang/monopoli bercerita di meja makan, tanpa melihat kiri kanan dan dengan siapa mereka bicara.Tidak ada sopan santun, tidak menerima keadaan (selera menu/pribadi), suka makan instan (Mie), egoitis. Cendrung membandingkan formator. Sering melawan/menantang Formator. Menghidupi budaya Instan bagian dari gaya mereka. Sulit mengingat hal-hal yang urgen. Sering bimbang, tidak semangat. Mengerjakan tugas tidak bisa ditinggalkan, selalu diawasi. Membuat sesuka hati. Kurang suka membaca. Tidak betah, sulit menerima perbaikan watak. Mudah mutung/putus asa. Bersama melakukan baru dikerjakan dan lain sebagainya.
Fenomena-fenomena tersebut di atas, menggiring formator untuk kembali menanam pendidikan karakter untuk generasi sekarang dengan model baru. Yang sebenarnya itu, sudah beres di tahap aspiran dan postulan. Lalu mengapa itu muncul di wilayah novisiat? Kita mengalami kemunduran dalam menghadapi mereka saat ini. Terjadinya pemahaman yang keliru calon yang lahir di budaya serba instan. Koesoema A (2015) mendeskripsikan bahwa dalam menghadap generasi saat ini membutuhkan strategi pendidikan karakter yang kuat dalam revolusi mental dalam lembaga pendidikan baik formal maupun nonformal.
Kedua, Sifat calon. Dikatakan bahwa calon sekarang mengikuti trend/generasi zaman Now/kekinian. Maka sifatnya labil dan mudah putus asa. Mimpi-rindu orang tua masih dominan dan sulit terbuka apa yang mau dan diinginkan dengan formator. Reaksi berlebihan/cepat (misalnya dinamika berdoa). Ada yang menemukan bahwa mereka kurang bisa menahan diri. Situasi ini seakan-akan apa yang menjadi pilihan ditentukan oleh wacana calon. Bahkan mereka tidak segan-segan berteriak untuk meniru teladan formator dalam memaafkan calon yang bersalah dalam pedampingan.
Ketiga, aspek watak calon. Menurut beberapa formator calon sekarang mudah dibawa oleh perasaan, mudah galau, lebay bahkan tidak jujur dalam belanja dapur. Gejala yang lain adalah rasa melekat dengan formator berlebihan (minta perhatian). Suka melawan, ingin dipuji, narsistik, kecemburuan, iri hati. Mencari kenyamanan, fantasi/bayangan ideal/berlebihan. Istilah kekinian (media TV) dlm berbahasa selalu muncul misalnya: cetar, jossss, aku Mau.. Dilan…gaul dong… Tarik mas.. semongko dan lain sebagainya.
Situasi tersebut di atas, sepadan dengan gagasan Ariel Heryanto (2018:215) dalam budaya popular di Indonesia mencoba untuk menanggapi fenomena pemberontak generasi muda. Generasi milenial dikolonial oleh media yang menghipnotis lewat kata-kata. Bahasanya sebagai bentuk pencairan identitas agar tidak ketinggalan dengan orang lain. Hasrat identitas untuk diakui menjadi perang mental bagi para pegiat media yang sudah membius dalam dunianya saat ini.
Gagasan tersebut didukung oleh Edwin Jurriens (2017) mengeritik tentang revolusi digital di Indonesia. Jika tidak kehatian-hatian bisa menghancurkan dalam berbagai aspek generasi milenial saat ini. Kelompok yang salah menafsir tentang kehadiran media dapat membius semua angan dan fantasi liar generasi muda dewasa ini. Mereka merasa kosong dan kesepian dalam media. Interaksi dengan media maya berlebihan terjebak dalam orientasi budaya hedonism dengan menolak diri atas realitas apa yang terjadi dan sesungguhnya dalam dirinya.
Ketika saya menelisik ketiga aspek di atas merupakan butiran-butiran litani para formator dalam memotret fenomena religius di formasi awal (novisiat). Menjadi pelajaran bagi saya yang memang ingin belajar dari para formator yang sudah siap menghadapi fenomena yang dahsyat. Perubahan-perubahan pola pembelajaran dalam pembinan para novis milenial saat ini bisa menjadi benturan romantisme para formator sebelumnya. Gejala-gejala demikian merupakan peluang bagi formator untuk mencari strategi apa yang dimau dan inginkan agar mereka tetap betah atau bertahan dalam pertarungan diri ideal dan realitas kehidupan membiara zaman ini.
Generasi Di Luar Tembok Biara
Bila kita memberi testimony ringan, tentang kedatangan calon sekarang bahwa yang sering kita dengar adalah generasi Indonesia saat ini lebih banyak pada fase generasi Y.Yaitu adalah kelompok demografi setelah Generasi X (Gen-X). Para ahli dan peneliti biasanya menggunakan awal 1980-an sebagai awal kelahiran kelompok ini dan pertengahan tahun 1990-an hingga awal 2000-an sebagai akhir kelahiran. Milenial (juga dikenal sebagai Generasi Y) adalah kelompok demografi setelah Generasi X (Gen-X). Tidak ada batas waktu yang pasti untuk awal dan akhir dari kelompok ini.
Para ahli dan peneliti biasanya menggunakan awal 1980-an sebagai awal kelahiran kelompok ini dan pertengahan tahun 1990-an hingga awal 2000-an sebagai akhir kelahiran. Para ahli lain melihat bahwa generasi milenial pada umumnya adalah anak-anak dari generasi Baby Boomers dan Gen-X yang tua. Milenial kadang-kadang disebut sebagai “Echo Boomers” karena adanya ‘booming’ (peningkatan besar) tingkat kelahiran di tahun 1980-an dan 1990-an. Untungnya di abad ke 20 tren menuju keluarga yang lebih kecil di negara-negara maju terus berkembang, sehingga dampak relatif dari “baby boom echo” umumnya tidak sebesar dari masa ledakan populasi pasca Perang Dunia I (Soesanto:2019:196).
Pada sisi lain kita tahu bahwa, karakteristik milenial berbeda-beda berdasarkan wilayah dan kondisi sosial-ekonomi. Namun, generasi ini umumnya ditandai oleh peningkatan penggunaan dan keakraban dengan komunikasi, media, dan teknologi digital. Di sebagian besar belahan dunia, pengaruh mereka ditandai dengan peningkatan liberalisasi politik dan ekonomi; meskipun pengaruhnya masih diperdebatkan. Budaya konflik bathin menimbulkan ketidak seimbangan manusia dalam menentukan skala prioritas hidupnya (Moejanto dkk, 1992:68). Masa resesi besar (The Great Recession) memiliki dampak yang besar pada generasi ini yang mengakibatkan tingkat pengangguran yang tinggi di kalangan anak muda, dan menimbulkan spekulasi tentang kemungkinan krisis sosial-ekonomi jangka panjang yang merusak generasi ini.
Muncul pertanyaan mengapa 95% generasi mileneal Indonesia akan menjadi gelandangan pada tahun 2020? Godaaan menciptakan Homeless Millienials menimbulkan fenomena menjadi ‘kaum gelandangan”. Inilah mungkin sebuah julukan muram yang kelak layak ditambalkan pada anak-anak muda yang lahir antara 1982-1995. Homeless Millienials bisanya diartikan sebagai barisan anak muda (yang lahir antara 1982-1995) yang tak sanggup membeli rumah sendiri. Mungkin karena kondisi keuangan mereka termehek-mehek. Mungkin juga karena harga rumah yang makin melangit.
Bagi generasi milenal zaman now, memiliki rumah sendiri adalah sebuah impian yang pelan pelan menjelma menjadi fatamorgana. Faktanya, sebuah survey yang dilakukan oleh situs jual beli rumah 123 menyebut 3 tahun dari sekarang 5% generasi mileneal yang akan sanggup membeli rumah secara mandiri. Sisanya 95 % entah tinggal di mana. Dalam Global Property Industry, dikenal adanya istilah Houses Price to Annual Income Ratio. Atau rasio harga rumah dibanding penghasilan tahunan anda .
Pendekatan model kekinian
Bagaimana pun kita tetap mengapresiasi kepada calon dari segi positif atau hal-hal yang baik dilakukan ketika mereka datang dan lahir dari generasi milenial. Berbagai pandangan para formator yang sudah lama mendampingi formandi menjadi pendekatan hidup membiara di zaman moderen.
Ada beberapa hal yang menjadi perkerjaan para pendamping saat ini yakni: pertama, para formator mempelajari dan masuk dalam budaya para calon dan mengangkat nilai-nilai yang baik dari budaya para calon. Kedua, memahami tipe-tipe kepribadian para calon dengan metode pendekatan pribadi lewat wawan hati, refleksi dan buku harian supaya dapat mengikuti dinamika para calon. Ketiga, pendamping bersikap dan bersifat tegas untuk hal-hal yang prinsip dan lembut tindakan. Maka perlunya menekakan etika dalam berbicara. Misalnya membiasakan mengucapkan terima kasih dan minta maaf. Keempat, pembina memberikan keteladanan hidup dan mampu memberi kesaksian untuk mengikuti dan mengerti pergulatan para calon.
Berdasarkan fenomena di atas, penulis meminjam gagasan Prasetyo (2001:153) bahwa perlunya ketajaman intiusi dari pembinaan untuk mengambil kebijakan yang arif apakah calon bisa melangkah lebih jauh lagi untuk dibina ke tahap berikutnya. Akan tetapi yang menjadi pertanyaan apakah si formator sendiri bisa memberi figur yang dibutuhkan oleh para calon dan membantu para calon untuk tidak lekat pada figur.
Bagi penulis menempatkan diri sebagai formator untuk memberikan waktu yang seluas-luasnya untuk mendengarkan pergumulan para calon saat ini. Salah satu tugas tersebut adalah ikut berjuang dengan segala keberagaman persoalan dan luka bathin mereka masa lalu yang selalu menghambat dalam pengolahan hidupnya (Wolfgang Bock, 2007). Untuk memjembatani ini semua , sebetulnya salah satu caranya adalah dengan menggunakan multimedia dalam pelajaran. Hal ini berdasarkan pengalaman penulis ikan emosi masa lalu sangat mengimbangi histeris jiwa mereka dalam melawan pendampingan konvensional berupa himbaun moralis semu. Selain itu dengan memberikan kesempatan dan kepercayaan kepada para calon untuk menjadi menjadi pribadi sendiri adalah suatu ruang dia untuk bisa maju dan berkembang secara normal dan positif dalam perjumpaan Allah yang ditemukan lewat fenomena sehari-hari (Darminto, 1993:13).
Tugas formator untuk menghadap hiruk pikuk karakter calon setidaknya diawali dengan memahami bahasa para calon baik visual maupun non visual (Zoebazary, 2010). Kemudain menciptakan suasana yang nyaman sehingga dapat mengungkapkan pendapa tentang pengalaman kehidupan dalam pembinaan dan pendampingan setiap hari di rumah bina awal formasi.

Strategi Formator
Melihat berbagai kompleksitasnya permasalahan di atas, maka muncul pertanyaan bagaimanakah strategi formator dalam menyikapi dinamika hidup para formandi di lingkungan pendidikan novisiat? Bagi penulis, hal-hal yang sungguh diperhatikan oleh formator adalah bagaimana daya kreativitas cukup tinggi diberi kesempatan kepada formandi. Salah satunya adalah formandi tidak malu lagi tampil depan umum karena sangat melek/Update terhadap teknologi. Biarkan para novis mengajar pendamping agar tidak merasa lebih dari mereka. Maka melalui media teknologi ini para formator memberi orientasi dan tujuan dari setiap pembinaan untuk sama-sama melihat keseimbangan dalam diri formandi milenial.
Maka sangat penting untuk mengevaluasi program setiap tahun. Bagiamana bisa nenerima kekurangan dan kekuatan dari calon ketika dari postulan meunju jenjang novisiat dan dari novis satu ke novis dua dan seterusnya. Untuk itu sangat penting bagi formator untuk menciptakan suasana yang nyaman dan at home bagi para calon sehingga dapat mengungkapkan pendapat dan melakukan sesuatu dengan pilihan yang tepat dalam memghidupi panggilanya. Lalu bagaimana para religius milenial merasakan at home di Novisiat. Berdasarkan pengalaman bahwa kita sering kali memberikan suasana yang memungkinkan calon untuk menjadi pribadi mereka sendiri. Menerima latar belakang keluarga para calon sebagai ruang sisi diskresi untuk mengambil kebijakan yang arif dalam menghadapi para religus mud. Adanya ruang kesepakatan bersama dalam pembinaan atau bimbingan. Hal ini menjadi sebuah pertemuan yang itens untuk mesharingkan secara terbuka pergumulan para generasi muda. Cara berkomunikasi yang efektif dalam kinerja mutu seseorang membuat menghasilkan perubahan yang signifikan dalam hidupnya (Deddy Mulyana, 1993:434).

Menarik Diri Dalam Semangat Kongregasi.
Berdasarkan pengalaman penulis saat ini, bahwa pengalaman perjumpaan dengan generasi milenial merupakan suatu perjuangan dari formator untuk menciptakan sebuah oase novisiat yang tidak suram. Karena pada kenyataan bahwa ada hal-hal lain yang sudah membentuk mereka misalnya: melatih kedisiplinan, kejujuran dan matiraga dan telah menguasai menggunakan media sebelum masuk biara. Akan tetapi dalam kenyataan keterpendam hati mereka terkuat saat ada kelonggaran menggunakan media di ruang tahap novisiat.
Lalu muncul sebuah pertanyaan bagaimana saya bisa menanamkan kembali nilai-nilai yang diajarkan oleh kongregasi; tentang semangat kemiskinan, ketaatan dan kemurnian. Sharing kesaksian hidup dan suka duka memulai karya yang dialami oleh bruder yunior atau senior menjembatani gap yang terjadi model pembelajaran saat ini sebagai lanskap para novis untuk siap berkarya.
Metode klasik namun menzaman melalui melatih refleksi diri, kontemplasi alam dan latihan rohani. Selain itu sharing pengalaman di Kursus Gabungan Novisiat (KGN) bersama dengan kongregasi lain, sangat membantu bagi formator pemula seperti saya alami saat ini. Menginternalisasikan hal-hal yang didapatkan dalam kursus gabungan novis menjadi buah kebaikan untuk tetap terjaga. Maka tidak salah untuk Novis boleh melihat kebutuhan dan melengkapi yang kurang selama pembinaan di postulant maupun aspiran.
Penutup
. Potret buran dalam mengalami kebersamamn dengan formandi milenial bukan berarti buruk atau melawan kemurnian motivasi panggilan mereka. Akan tetapi bagaimana kita berani untuk berjalan bersama formandi menuju tujuan yang sama. Barangkali menumbuhkan semangat misionaris dan cinta kongregasi menjadi sebuah romantisme para formandi dan formator untuk sama sama kembali ke roh dan semangat yang sama.
Nilai-nilai kedisiplinan dalam tahap formasi awal menjadi sebuah mata rantai yang tidak terputus dalam memelihara nilai-nilai yang membatu dalam menumbuhkan semangat religius muda.Semangat Fransiskan milenial menjadi pemantik dan reaktik yang positif mana kala formator dengan renndah hati untuk belajar dari formandi milenial dalam mengeksploriasi nilai-nilai yang ada dalam diri personality sebab perkembangan pengetahuan dalam pengembangan diri bisa dilanskap dari berbagai sudut berbeda namun tujuannya sama (Bdk. Gita Sang Surya, 2020:48).
Maka melalui artikel yang sederhana ini penulis merekomendasikan demikian. Pertama, bila sejak formasi awal para formandi untuk tetap akrab dengan teknologi sebatas untuk pengembangan diri. Kedua, menjembatani potret buram di awal tulisan ini, barangkali calon bruder MTB sekiranya di masa postulat sudah boleh belajar di perguruan tinggi sampai selesai Sarjana baru masuk di formasi novisiat. Alasannya bahwa, saat itu pikiran mereka masih segar dan nyala semangat jiwa sosial masih kuat. Ketiga, jika wacana ini terlaksana maka siapa pun formatornya mendapat suasana kondusif dan dinamis dalam mendampingi formandi sesuai perkembangan zaman saat ini. Apakah kita berani menerima tantangan generasi milenial? ***

Referensi Bacaan
Darminto, J,. (Terj.). 1993. Latihan Rohani St. Ignasisus Loyola. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Deddy, Mulyana, dkk,. (ed.). 1993. Komunikasi Organisasi, Strategi Meningkatkan Kinerja Perusahan.Bandung: Penerbit PT Remaja Rosdakarya Bandung.
Heryanto, Ariel., 2018. Identitas Dan Kenikmatan, Politik Budaya Layar Indonesia Dalam Budaya Popular di Indonesia. Jakarta: PT Penerbit Gramedia.
https://id.wikipedia.org/wiki/Milenial, diakses 29 oktober 2020).
https://www.google.com/search?q=homeless+millennials, diakses, 29 Oktober 2020.
Jurriens,. E. & Taspsell. R,. (ed.). 2017. Digital Indonesia Conenecvity And Disvergence. Singapura: ISEAS Publishing.
Koesoema, A. Doni,. 2015. Strategi Pendidikan Karakter, Revolusi Mental Dalam Lembaga Pendidikan.Yogyakarta:Penerbit PT Kanisius.
Kristianto, J., (ed.). 2020. Modul Formasi Untuk Pelayanan Profesional Gereja Katolik Indonesia. Yogyakarta: Penerbit PT Kanisius.
Majalah Kompas, Solusi Digital Dari Generasi Milenial Rabu, 28 Oktober 2020 hal. 1 &19 Kol.6-7
Majalah Pratikami,Majalah Tahunan Kongregasi Bruder MTB edisi XXXIX Tahun 2018 hal.7-12
Majalah Gita Sang Surya. Madah Persaudaraan Semesta 2020
Majalah Natas,2019. Milenial Terhadap Kearifam Lokal. Edisi September-desember 2019 hal.35-37 USD Yogyakarta
Moejanto, G, & Rahmanto, B, dkk., 1992. Tantangan Kemanusiaan Universal, Antologi Filsafat, Sejarah-Politik & Sastra. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Prasetyo, Mardi, F., SJ. 2001. Tugas Pembinaan Demi Mutu Hidup Bakti, Tinjau Psiko-Spiritual. Yogyakarta: Penerbit Kanisius
Robwolf.(tej.). 2004, Huijbergen dan ujung-ujung dunia, Bruder-bruder MTB 1854-2004
Soesanto, Heri., 2019. Pemimpin Menciptakan Budaya Unggul Generasi Milenial. Yogyakarta: PT.Kanisius.
Suparno, Paul., 2016. Hidup Membiara di Zaman Modern. Yogyakarta: Penerbit PT Kanisius.
Woflgang, Bock., 2007. Anak Terluka Anak Ajaib, Penyembuhan Luka Bathin Masa Kecil. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Zoebazary, Ilham., 2010. Kamus Istilah Televisi dan Flm. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama.