Wed. Oct 9th, 2024

BERBAGI PERBINCANGAN
Tentang
Getaran Hati Formator di Ruang Formasi
Dan Romantismenya dengan Teknolog

Prakata
Wacana diskursus tentang metode pembelajaran formandi di ruang formasi (baca: novisiat), tidak terlepas dari pengalaman formator dalam mendampingi dan membina para formandi sesuai dengan perkembangan zamannya. Perubahan–perubahan yang terjadi di lingkungan masyarakat dan Gereja, baik secara global maupun lokal mempengaruhi ruang nilai-nilai religiusitas formandi.
Para calon dan pendamping bisa saja tergoda untuk ikut berenang dalam arus zaman tersebut. Ketika saya menelisik dahsyatnya internet menembus tembok formasi, saya sempat ‘pesimis’. Apakah saya mampu dan bisa menemani mereka di tengah biusan teknologi saat ini. Saya belum berpengalaman dalam mendampingi para calon yang lahir di era digital kekinian. Akan tetapi, saya mencoba untuk memotret dari pengalaman sederhana yang saya alami saat ini. Oleh karena itu tulisan ini lebih kepada efek dari dahsyatnya pengaruh teknologi dalam bingkai karakter para formandi dan didaktik metode pembelajaran di ruang formasi.
Kejamnya Generasi Milenial
Saya menyadari bahwa, zaman yang dikepung oleh teknologi, semakin tidak ada ruang lagi untuk menyembunyikan budaya keluasan pribadi para religius. Dalam hal ini bagaimana mereka tetap berdiskresi untuk mengambil kebijakan hidup sehari-hari. Dampak dari perubahan ini adalah cara berpikir dan bersikap para formandi, mengalami pergeseran yang cukup signifikan.
Secara konkret dalam didaktik metode pembelajaran di ruang formasi. Saya sebagai formator menghadapi karakter formandi milenial agar tidak terjebak hasrat-hasrat yang sangat mengganggu ruang ketenangan selama masa novisiat. Namun akhirnya, saya sadar suka tidak suka, mau tidak mau sebagai formator ikut bergumul untuk mengesuaikan diri dengan perkembangan teknologi yang sudah membius mindset religius muda masa kini. Pengalaman yang konkret, ketika Virus Corona (covid 19) merebak secara global, kursus gabungan novis (KGN) hampir 75 % ikut terbawa dalam pembelajaran online. Misalnya dengan aplikasi zoom meeting, goole meet, youtube atau Video call WhatsApp. Bukan hanya itu saja perayaan Ekaristi sebagai pusat dan napas rohani religius, pun ikut tenggelam dan terbius dalam misa online atau live streaming.
Yuswohadi dalam buku Millennials Kill Everything (2019) mendeskripsikan bagaimana kejamnya generasi milenial . Mereka ‘membantai’ ide-ide yang dahsyat dalam produk, layanan dan industri ruang publik saat ini. Dimulai dengan wacana untuk mengeliminasikan orang lain dalam persaingan modernitas dan identitas diri.
Permainan kata, bahasa, dan simbol semakin lebar ruang jurang pemisahan diri untuk menjadi pribadi yang unggul dan superioritas dalam masyarakat dan komunitas tertentu. Orientasi setiap individu memutuskan nilai-nilai sosial dengan mengedepankan pola resistensi dalam pertentangan horizon kehidupan manusia.
Ketika saya memandang ke dalam diri saya saat ini, apabila dalam ruang formator tidak bisa menangkap calon religius yang lahir di zaman teknologi, lambat laun generasi millenial perlahan-lahan meninggalkan tembok biara. Hanya karena tidak ada tempat untuk memahami diri aktual mereka saat ini. Lalu benarkah para formandi tidak bertahan dalam biara karena adanya jedah waktu untuk tidak bercengkrama dengan media sosial.
Sampai saat ini belum ada penelitian ilmiah yang akurat dan valid bagaimana pengaruh internet dan panggilan religius yang menyebabkan mereka mundur karena terhipnostik media maya tersebut. Yang dilihat adalah justru rentannya ketidakbahagiaan dan ketidaknyamanan ketika internet dilihat dari sisi negatifnya dari pada positifnya.
Problem Religius Kekinian
Yamrewav (20016) dalam penelitianya mendeskripsikan bahwa ketika teknologi masuk kedalam lingkup biara, kompleksitas permasalahan religius semakin meningkat yang tidak hanya dialami oleh formasi awal tetapi juga sampai pada tahap senior. Riset itu menujukkan bahwa 132 religius dari 21 kongregasi, dengan rentang usia 19 sampai 82 tahun banyak mengalami masalah dalam hidup membiara pada usia 39 dan 49 ke atas.
Dari data tersebut ada 17 Novis, 40 berkaul sementara, dan 75 berkaul kekal menjadi pekerjaan berat bagi para pemimpin, formator (awal dan yunior) untuk mencari model-model pendampingan seperti apa agar tidak membuat para anggota mengalami ketegangan dalam menghayati kehidupan religiusnya di era milenial ini.
Berdasar femomena yang beragam komplesitasnya, permasalahan hidup religius masa kini menjadi tantangan bagi para formator dalam menghadap para formandi yang lahir di era millennial. Bagaimana saya sebagai pendamping meminimalisir problem dalam tahap pendampingan selanjutnya. Barang kali sebagai formator, membawa saya untuk memahami pola keterikatan emosional formandi akan membantu mereka memberikan pendampingan yang tepat. Misalnya dengan lingkungan dan situasi yang aman dan nyaman bagi formandi selama menjalani proses pembinaan sesuai dengan kebutuhan mereka dengan cara-cara yang kekinian.

Berpikir Out of The Box
Sebelum melanjutkan ulasan topik yang sederhana ini, saya mendeskripsikan sebuah pengalaman sederhana saat perjumpaan pertama dengan para novis MTB di bulan Agustus 2018. Seperti biasanya saya memperkenalkan martikulasi materi-materi pelajaran satu tahun kedepan. “Kali ini saya tidak membawa sebuah materi tetapi sebuah pengalaman”. Demikian sepenggal kalimat awal dalam perjumpaan dengan mereka. “Saya akan menyegarkan kembali bagaimana kita mencoba untuk semakin mencinta dalam merekam fenomena-fenomena pengalaman keseharian kita baik yang menyenangkan maupun hal-hal yang tidak kita suka dalam relasi dengan sesama dan Tuhan, khususnya di Komunitas Novisiat ini”.
Baru saja saya menayangkan materi di LCD (Liquid Crystal Display) tiba-tiba mereka serentak tertawa ‘’.. Haaaaaaa.. itu mah powerpoint model 2003?” Ketinggalan dech Bruder!!” Sahut mereka tanpa ada sedikit rambu-rambu kode etik bagaimana kebiasaan layaknya komunikasi antara pembina dan yang dibina.
Dari pengalaman tersebut, rupa-rupanya ini adalah gaya komunikasi religius millenial dengan spontan, blakblakan dan gaya satir. Situasi ini saya melihatnya secara positif bahwa, mereka mengajak saya untuk masuk dalam wilayah pembelajaran dengan kerangka berpikir “Out of the Box . Peristiwa ini membawa saya untuk keluar dari cara kebiasaan model lama saya, dalam didaktik pembelajaran yang sudah berada dalam ruang dan wilayah berbeda.
Jargon yang selalu menggelorakan semangat dan kebanggaan saya sebagai magister bahwa pengetahuan dan wawasan pendampin dalam mengajar, satu-satunya sumber yang dipercaya dan akurat. Maka harus dipatuhi oleh para novis. Ternyata sangat keliru. Kepatuhan ini semacam kolonial pengetahuan dengan satu garis komando yang statis. Sejenak saya bergeliming dalam perselingkuhan egonya gagasan saya bahwa, saatnya membongkar model pendampingan yang selalu dikapling oleh gagasan tunggal.
Demi hasrat kekuasaan ideologi di tengah teknologi, siapa yang berkuasa dan mendahului informasi dalam membina mereka. Saya atau mereka. Celotehku dalam hati. Getaran hati di saat itu seolah-olah mendukung penyakit kolestrol, asam urat yang tidak mau lari dari lingkaran tubuh saya. Tensi darah pun ikut naik, sehingga meradang ke seluruh tubuh yang masih tergolong produktif dan cekat ini.
Negosiasi di Ruang Reformasi
Dala ruang formasi, bagi saya negosiasi sebagai tempat dan lahan teduh untuk para formandi. Mereka bisa berkembang dan bertumbuh dalam jiwa mudanya. Saya sadar bahwa, fenomena calon relgius 30 tahun lalu sudah jauh perbedaannya saat ini. Sikap superioritas formator tidak ada tempat baginya. Ideologi yang bergaya ‘kolonial’ ditutup rapat. Gejala situasi demikian, seakan-akan memberi saya untuk meromatisme ke ruang rohani bahwa barang kali saya hanya sebagai teman untuk menemani mereka. Yesuslah formator utama. Semangat spiritualitas bagi formator saat ini adalah ibarat Yesus yang menemani dua murid Emaus kembali ke Yerusalem (bdk. Luk, 24:13-35).
Menghadirkan Teknologi yang Meneguhkan
Dalam larutan teknologi dengan balutan identitas diri novis, maka bagi saya profil formandi sekarang bisa dipotret, kualitas seperti apakah yang kiranya menjadi harapan bagi formasi dasar saat ini. Tanpa harus mengadili dalam mengkerdil inteletual mereka. Tempat pembelajaran di ruang formasi, bukan hanya ada dalam kotak segi empat (baca: kelas). Akan tetapi, dari belantara dunia lain (multitasking) .
Menghadirkan teknologi yang meneguhkan menjadi kerangka acuan gerak dalam dinamika pendampingan mereka saat ini. Meskipun sisi negatifnya sangat mempenyaruhi semangat mereka bagaimana cara menerima dan merawat tantangan hidup, di tengah sliweran mediasosial saat ini.
Meskipun berbagai pengalaman dan wacana yang brilian saya sebagai formator pemula tetap mempunyai prinsip tentang strategi formasi dasar untuk menaruh arah dan harapannya bahwa tetap ada nalar kritis tentang bagaimana teknologi itu hadir sebagai penguat dan pendukung cita-cita mereka. Atau dengan kata lain, buah kualitas tersebut itulah yang kiranya menjadi indikator pendampingan formasi dasar di novisiat. Segala proses pendidikan dan pendampingan terarah pada kualitas “lulusan” pemetaan bathin yang sudah terintenalisasi saat mereka menemukan panggilan otentik dalam mengikuti Yesus.
Wacana Kenikmatan Bersama
Bersandar pada pengalaman dan gagasan di atas, tulisan ini sekali lagi berusaha hanya untuk mengurai pengalaman-pengalaman sederhana saya dalam mendampingi para novis di era budaya milenial saat ini. Tantangan sekarang adalah bukan soal siapa pembina dan siapa yang dibina dan apakah model lama dan baru menjadi kontradiktif dalam membina mereka? Akan tetapi, bagaimana cara pembinaan tersebut apakah masih relevan dengan situasi peserta atau calon religius saat ini?
Budaya pembelajaran seperti apakah yang bisa menjadi wacana “kenikmatan bersama , tanpa ada lagi resistensi dan histeris seorang novis, sehingga kegelisahan dan pergumulan baik pembina maupun yang dibina bersama-sama mencari titik temunya secara humanis dan egaliter. Barangkali saya bisa mengevaluasi diri, bagaimana memotret elaborasi kurikulum pembelajaran kontekstual, kebaruan dan kekinian, dengan tetap memelihara kharisma pendiri dan spiritualitas kongregasi tanpa mempersalahkan teknologi. Dengan kata lain kehadiran teknologi mendukung perkembangan kongregasi dalam mencari calon-calon yang unggul dan Tangguh dewasa ini.

Terjadinya Shock Culture
Saya haru sadar bahwa, ketika generasi religius milenial intens berkomunikasi melalui dunia virtual sebelum masuk, tiba-tiba dalam tahap formasi awal, tiba-tiba terjadi shock culture atas diri mereka. Mereka bergumul dan bergelisah dengam dunia maya yang dihentikan sejenak. Karenaa mereka saatnya fokus pada tingkat tahun Kanonik dan Kerasulan. Tuntutan ini sangat kejam bagi kaum milennial.
Alasan klasik namun menantang, agar mereka fokus untuk menghayati tahun kanonik (Novis 1) dan kerasulan atau pastoral (novis 2). Kehadiran generasi religius milenial yang membawa angin harapan, pemikiran progresif tidak diiimbangi dengan aktivisme gaya pembina dalam menemani kaum religius muda. Maka reproduksi informasi melalui media, bertendensi merontokan kohesi sosial dalam kebersamaan. Hal ini secara nyata permainan bahasa dan komunikasi para novis sebagai budaya tandingan dengan resistensi ketika media itu didominasi oleh pembina sendiri.
Berbagai gaya media yang merupakan informasi yang cepat, ternyata efeknya juga adalah dengan cepat dan mudah dalam bicara dengan pembinanya. Gejala ini sebenarnya mengiring opini kepada pendamping untuk membongkar maindset romantisme masa lalu bahwa para novis harus suci dan kudus dalam segalanya tanpa diganggu oleh media maya. Internet seakan-akan dosa baru bagi para formandi di komunitas novisiat.
Magister dengan ‘terpaksa’ memberi ruang negosiasi sebagai cara untuk mendengar hasrat milenial dalam mengungkapkan kerinduan mereka tentang penggunaan media selama masa pembinaan di novisiat. Para pendamping siap dengan hati terbuka ketika diintervensi dari para senior yang mengejutkan bahwa novis boleh membuka internet selama masa formasi.
Situasi ini menjadikan ruang diskusi untuk sama sama belajar menggunakan media secara positif bukan soal pengetahuan saja. Akan tetapi pemahaman penggunaan media sebagai corong untuk menyuarakan hal-hal apa yang mendukung dalam masa formasi.
Riset Sederhana Menyuarakan Suara Formandi
Kita harus sadar bahwa instrumentalisasi komunitas novisiat bisa terjebak dengan apa yang dimau pembina sehingga para calon perlahan-lahan mundur dan redup dalam harapan mereka saat ini.
Untuk mendukung wawasan tersebut, saya pernah membuat risen sederhana dengan model pertanyaan-pertamyaan secara terbuka kepada novis MTB. Model ini semacam testimony sederhana. Untuk para bruder muda tentang model pembelajaran apa yang cocok buat mereka. Pendekatan ini memberi kebebasan bagi para novis untuk bisa mengungkapkan tentang kepuasan atau respon tentang pembelajaran di novisiat MTB masa kini.
Pertanyaan-pertanyaan ini menyentil dan melisik hati mereka. Misalnya, (1) Sejauh yang anda alami di novisiat, apakah pola-pola pembelajaran (kegiatan belajar mengajar) dan proses pembinaan di novisiat sudah menngikuti model perkembangan teknologi yang menzaman? (2) Hal-hal apa saja yang anda inginkan agar kegiatan pembinaan kita tidak ketinggalan zaman dan tetap searah semangat pola kefransiskanan kita? (3) Apakah tugas-tugas yang diberikan oleh para Pembina dengan menggunakan media komputer sangat mengganggu panggilan anda? (4) Bagaimana pandangan anda tentang generasi milenial? (5) Selama anda di Novisiat apakah anda tergoada untuk berselancar di dunia maya dengan berchatingria melalui facebook, email, yahoo menssenger, whatsApp, Intalgram dan lain sebagainya?
Untuk mengetahui bagaimana jawaban mereka, maka dalam tabel sederhana di bawah ini kita melihat bagaimana kejujuran dan kepuasan mereka dalam menjawab pertanyaan di atas. Kekuatan di sini adalah pengalaman yang dirasakannya serta respon atas motode pembelajaran dalam pembinaan di novisia saat ini. Dari sini mereka sudah berkontemplasi dengan media bila satu waktu menjadi pembina ataupun pemimpin yang bisa menciptakan budaya unggul generasi milinial yang sedang bergumul secara positif makna media baginya (Soesanto, 2019).
Tabel rekomendasi para Formasi tentang pembelajaran di Novisiat
Identitas Formasi Intrumen-Intrumen respon para formandi
(1) (2) (3) (4) (5)
Pengalaman Pembelajaran Semangat Kefransiskanan Teknologi pembelajaran Perspektif millenial Respon Media Internet
Formandi 001 Pola pembinaan di novisiat sudah mengikuti perkembangan zaman Semangat Kefransiskan khas MTB yang kekinian Media komputer sangat menarik dan mendukung pembelajaran saat ini Penuh kritis, spontanitas. Tidak mau diperintah, berekpresif Tergoda dan tidak tahan karena tidak dapat pisah dari medsos
Formandi 002 Tidak terlalu ketat, diberi kebebasan bertanggungjawab dan revolusi mental Menterjemahkan Fransiskus sebagai orang miskin, taat dan suci dengan gaya kontemporer.
semangat kefransiskanan MTB tetap relevan sesuai dengan perkembangan zaman. Bukan salah media komputer membuat orang tidak fokus pda cita-cita religiusnya. Akan tetapi bagaimana media ini sebagai pendukung dalam pembelajaran di Novisiat Untuk zaman now lebih hafal tokoh-tokoh pemeran dalam film kesukaannya dari pada hafal ayat ayat emas Kiab suci Saya ingin membuka facebook namun lupa sandinya saya hanya membuka Youtube sebagai kesukaanku
Formandi 003 Situasi pembelajaran sekarang sangat kontekstual. Banyak pengalaman dan pengetahuan dari berbagai sumber baik media cetak maupun elektronik Sebagai Fransiskan yang bercirikhas kegembiraan para novis diberi ruang kebebasan dan mengaktualisasikan diri melalui teknologi sebagai model perwartaan kekinian dan menggelobal Terkadang mengganggu pelajaran tetapi sangat membantu bagi para novis untuk memngikuti perkembangan zaman dan sekarang sudah pembelajaran online dan virtual maka para novis tetap terpolarisasi dengan model tersebut. Interaksi sosial makin kurang lebih invdualis dan ‘budaya merunduk’ dengan media Handphone membuat orang kesepian dalam kekosongan diri Saya sekali tergoda untuk berchatingria dengan teman-temanku yang sudah lama berpisah. Saya merasa tidak sendirian dan komunikasi via facebook membuat saya semakin tegas, kuat dan fress dalam panggilan saat ini
Formandi 004 Sudah mengikuti perkembangan zaman namun belum maksimal masih ada perbedaan pendapat antar para pendamping. Sudah mencermin kefransiskanan namun belum menangkap secara sempurna fenomena-fenomena yang ada dalam masyarakat karena masih menjaga jarak antara ruang kerohanian dan realitas yang ada Tetap membuka diri dengan perkembangan teknologi sambil menyadari diri orang yang sedang diarahkan menjadi bruder religius MTB Bahasa ‘gaul’ dan ‘ciamik’ dan agresif mewarnai mereka cara berkomunikasi oleh karena target waktu menjadi orientasi hidupnya dengan orang lain Saya kadang video call lewat computer dalam aplikasi yahoo menssenger dengan keluarga melepaskan kerinduan dengan mereka. Saya meneguhkan lewat dukungan mereka
Formandi 005 Kegiatan pembelaran melalui IT bukan barang baru. Kita tidak ketinggal karena selama di novisiat para novis diberi kesempatan belajar apa saja dan buktinya kami selalu menggunakan media computer dan laptop untuk mengejarkan tugas dari para Pembina. Media Internet salah satu model perwartaan kefransiskanan kita dengan jargon hidup dnegan sederhana, miskin dan suci mengundnag hati orang muda untuk bergabung. Misalnya kita sudah ada websiteb MTB namun sayangnya jarang diekspos kegiatan novisiat masih dominasi kegiatan di Belanda Teknologi sebagai salah satu media perwartaan yang update dan menzaman dan tidak mmenggangggu panggilanku Kritis dan tajam serta permainan bahsa lambing dan simbol lewat media internet sangat kuat Saya kadang-kadang email kepada teman dan juga membuka film pendidikan kesukaanku atau seni yang lain. Sangat memebantu saya untuk tetap mereka dengan teknologi
Formandi 006 Pengalaman pembelajaarn dalam rangka pembinaan sudah baik yang didukung dengan buku-buku, computer dan intenet Saya merasa gaya kefransiskanan kita masih kuat dengan kegiatan di luar. Namun secara pribadi saya belum menikmat tahun kanonik karena kita sering mengikuti kegiatan bersama umat Fasiliats di novisiat sudah mengikuti perkembangan zaman Menggunakan media teknologi sebagai pintu utama untuk mnegenal spritualitas atau cara hidup kita Saya tergoda dan sesekali membuka facebook untuk menanyakan keadaan kenalan dan orang tua saja,

Dari tabel di atas, menunjukan bahwa saya sebagai pendamping ikut belajar dari para novis bagaimana mereka dengan jujur mengungkapkan pengalamannya dalam menggunakan media. Mereka seolah-olah tidak merasa bersalah. Meskipun ada tantangan yang mengganggu panggilanya. Tergoda untuk selalu berselancarria. Mereka dengan enjoy mengungkapkan pengalamanya. Melalui pengalaman ini efiesiensi dalam komunikasi dengan mereka menjadi cair dan mudah memahami.
Dalam waktu dan situasi yang sama kita bisa berkomunikasi dengan cepat karena antara pembina dan yang dibina sama sama mempunyai ruang dan akses yang sama dalam perubahan, perkembangan pengetahuan yang sedang pesat berubah saat ini (bdk.Iswaradi, 2003).
Sugihartati (2014) mengulas bagaimana perkembangan masyarakat Infromasi begitu cepat sangat mempengaruhi analisis cara berpikir dalam hidup beroganisasi/berkelompok di bermasyarakat. Media komputer yang berperan dalam democracy in the making terlibat pula dalam tugas-tugas membuat mading bersama, saling menimba pengetahuan serta mensosialisasikan nilai-nilai dasar dalam menggunakan media. Selama masa pembinaan memang ada hal yang harus disepakati untuk menjadi dasar serta kerangka referensi eksistensi kebersaman dalam komunitas novisiat saat ini..
Akhir Kata
Model pembelajaran millennial dengan teknologi pembelajaran menjadi pemantik semangat baru dalam berkarya. Meskipun kenyataannya di lapangan pemimpin komunitas menjadi ‘litani’ kecewa bila mereka yang selesai dari novisiat belum matang dari berbagai aspek seperti yang dideskripsikan sebelumnya karena berbenturan dengan pola-pola pendampingan yang mungkin masih berlawanan dengan paradigma setiap individu di dalam komunitas karya.
Para formandi seakan-akan ‘terkejut” karena berhenti secara paksa gagasan-gagasanya yang berbau kekinian dan harus kembali ke cara model lama. Yang sebenarnya sangat membantu religius untuk bertumbuh dan berkembang secara dewasa dalam dinamika kehidupan membiara yang bersifar dinamins. Maka tugas pembinaan selanjutnya menjadi mutu hidup religius bila ada kelanjutanya/ongoingformation dalam membenahi permasalaha nyang dialami oleh religius yang mengalami pasang surut perkembangan mental spritualitasnya (bdk. Prasetyo,2001).
Untuk mencapai hal di atas menjadi ‘dilematis” bagi saya untuk mengolahnya agar selama masa novisiat tidak ada koneksi internet atau tidak memakai gadget terkoneksi internet. Pendampingan personal dan komunal yang ketat menjadi tantangan bagi formator bila itu semua menjadi gagasan tunggal dan tidak membias untuk para formandi. Ketimpanganya adalah soal kebutuhan dalam rangka pembelajaran dalam pembinaan ketika berhadapan dengan formandi yang lahir di era teknologi.
Saya mempunyai keyakinan tunggal, banyak yang mundur dari persaudaraan MTB selama formasi karena tertekan dengan apa yang saya inginkan seperti pengalaman saya sebelum mengenal internet. Barangkali ada wacana baru yang bisa memecahkan persoalan ini bila itu menjadi target bahwa menjadi Bruder MTB tetap mengikuti zaman tetapi tidak terbawa arus. Semoga pemahaman model pembelajaran dulu tetap menjadi kekuatan bagi religius dan masuk ke dalam pembelajaran kekinian dengan media yang sangat menjawab kebutuhan saat ini. Masalah ini belum selesai masih ada ruang untuk diskusi dengan pertimbangan bagaimana kurikulum dalam pendidikan formasi menyentuh secara utuh kedalam relgius yang lahir di zaman teknologi?
Akhirnya, setelah melihat berbagai pengalaman di atas sebagai formator ‘karbitan’ dalam imajinasi saya, bahwa teknologi itu tetap perlu untuk mendukung kegiata belajar mengajar secara kekinian. Kebijakan dan etika menggunakan media tetap dijaga agar saya tidak telalu lepas bebas tanpa kendali Hasrat yang mengganggu panggilan formandi.
Selain itu pada bagian formasi dasar (novisiat) diharapkan menghasilkan formandus yang sudah “beres” dengan masalah-masalah kepribadian. Mereka yang terbentuk dalam sejarah hidup mereka melalui pengolahan hidup pastinya dapat membantu untuk menemukan makna diri mereka sebagai religius milenial. Harapanya setelah masa novisiat mengalami “Oase ” dalam hidup doa, hidup komunitas, hidup karya maupun hidup studi. Media yang mereka gunakan bukan penghalang akan panggilanya tetapi menghadirkan Dia secara virtual dan memancing emosi yang mendalam dalam mengikuti Dia saat ini (belajar dari Beato Carlo Accutis).
Referensi
Barker, Chris.,204. Kamus Kajian Budaya. Yogyakarta: PT.Kanisius
Carrete, Jeremy, R., (ed.). 1999. Agama, Seksualitas, Kebudayaan: Essay, Kuliah, dan Wawancara Terpilih Michel Foucault. Yogyakarta: Jalasutra Anggota IKAPI.
Hardiman, Budi, F., 2018. Demokrasi dan Sentimentalitas. Yogyakarta: PT.Kanisius

https://id.wikipedia.org/wiki/Milenial, diakses, 1Maret 2022, 8.45 AM).
https://id.wikipedia.org/wiki/Penampakan_pada_perjalanan_ke_Emaus, diakses 2 Maret 2022, 9.54.AM)
https://search.yahoo.com/searcharti+multitasking, 8 Maret 2022, 16.03 PM).
Iswaradi, Y.I., 2003. Beriman dengan Bermedia Antologi Komunikasi. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Canonici). 2018. Jakarta: Konferensi Waligereja Indonesia.
Octariano, S, D., 2017. Out of The Box, Renungan Bagi yang Berjiwa Muda. Yogyakarta:Boekoe Tjap Petroek
Prasetya, M, F.,. 1992 Psikologi Hidup Rohani. Yogyakarta:Kanisius.
Saukko, Paula. 2003. Doing Research in Cultural Studies An Introduction to Classical and New Methodological Approaches. London: SAGE Publications.
Scott, James. C. 1990. Domination and the Arts of Resistance Hidden Transcripts Copyright © 1990 by Yale University.
Soesanto, Heri,. 2019.Pemimpin Menciptakan Budaya Unggul Generasi Milenial. Yogyakarta: PT.Kanisius.
Steinberg, R.S, & Freire, (ed.). 2011. On Critical Pedagogy Henry A. Giroux. New York: The Continuum International Publishing Grup.
Suparno, Paul., 2016. Hidup Membiara di Zaman Moderen. Yogyakarta: PT.Kanisius.
Tardelly, F, R., 2009. Merasul Lewat Internet, Kaum Berjubah dan Dunia Maya. Yogyakarta: Kanisius.
Yamremwav, I, F.,(2016 Mendampingi Formandi yang sedang mengalami Seksual (handout workshop).
Yuswahady, Fattahilah, F., dkk., 2019. Millenials Kill Everything. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.