Dalam refleksi ini saya lebih melihat sejarah pengalaman mausia dalam diri sendiri, relasi dengan orang lain dan segenap keutuhan ciptaan. Berbicara tentang filsafat berarti berbicara tantang kebijaksanaan. Filsafat begitu menarik dalam pandangan saya, karena filsafat bukan perkara untuk menyelesaikan masalah, tetapi untuk mencari dan terus mencari…tanpa harus menyelesaikan. Tetapi dibalik pencarian itu terkadung nilai-nilai yang dapat mendorong untuk mencari tahu lebih pasti dan bijaksana. Filsafat itu sendiri berasal dari kata ibrani philein yang berarti cinta akan kebijaksanaan. Kalau demikian apa yang dimaksud dengan filsafat? Filsafat adalah cinta akan kebijaksanaan.
Sejarah kehidupan manusia begitu kompleks. Manusia hidup mencakup segala yang ada dalam di permukaan bumi ini. Manusia mengusai segala yang ada di bumi ini. Yang mencakup aspek kehidupan manusia adalah moral, etika, sosial budaya, pengetahuan dan lain sebagainya. Sejarah keberadaan manusia membuka ruang ‘hati’ untuk melihat secara sadar dalam realitas kehidupan. Kita harus mengakui bahwa keberadaan manusia meliputi dua aspek yang kerap terjadi yang pertama sikap positif. Usaha keberadaan manusia meliputi kejujuran, keadilan, cinta kasih, persaudaraan. Keberadaan manusia itu indah jika kita melakukan sikap yang positif. Sikap positif dapat mendukung perkembangan hidup. Yang kedua sikap negatif. Prilaku manusia yang negatif tidak dapat mendukung perkembangan kehidupan moral manusia. Ketika prilaku manusia mengarah ke sikap positif, yang terjadi adalah menghambat perkembangan hidupnya.
Melihat kedua realitas diatas, saya pun memikirkan serta berusaha untuk melakukan yang terbaik dengan harapan dapat mendukung perkembangan diri sendiri. Perkembangan hidupku dimulai dari diri sendiri. Menyadari bahwa usaha untuk memberikan yang terbaik dan menerima yang terbaik, kadangkala mempunyai keterbatasan. Hidup yang baik merupakan perjuangan setiap orang. Tidak bisa tidak. Filsafat tidak ada akan pernah menyelesaikan sejarah perkembangan hidup manusia melalui perkembangan pengetahuannya. Demikian juga kehidupan manusia. Manusia mempunyai kemampuan untuk memahami serta melihat perkembangan hidupnya yang dilakukan secara sadar. “Manusia sungguh atau bahkan amat baik, karena diciptakan oleh Allah menurut citraNya” (Kej 1:27-28.31). Karena itulah maka filsafat manusia melihat sejarah perkembangan manusia. Dalam Escape from Freedom, Erich From mengatakan bahwa:
“Manusia menjadi bebas terhadap ikatan-ikatan yang berasal dari luar, yang mencegahnya bertindak dan berfikir menurut mereka anggap cocok. Ia akan bertindak dengan bebas jika ia tahu tentang apa yang diinginkan, difikirkan dan dirasakan. Tapi masalahnya ialah tetapi bahwa ia tidak tahu. Dan karena itu ia akan menyesuaikan diri dengan penguasa-penguasa yang tidak dikenal dan ia akan mengiyakan hal-hal yang tidak disetujuinya. Semakin ia bertindak demikian, semakin ia tidak berdaya untuk merasa dan semakin ia ditekankan untuk menurut. Manusia modern meskipun dipulas dengan optimism dan inisiatif, dikuasai oleh perasaan amat tidak berdaya bagaiakan orang lumpuh yang hanya mampu menagnkap malapetaka sebagai tak terhindarkan” (Paulo Freire 1984:6-7).
Manusia dalam kebebasannya dengan sadar menentukan tindakan sesuai dengan keinginan hati nurani. Namun, filsafat memberikan tanggapan hidup manusia dalam kebenaran. Kebenaran cara berfikir manusia dapat dibuktikan melalui tindakannya yang berdasarkan pemikiran itu (Karl Jaspers 1985:9). Kebebasan manusia dalam bertindak tidak serta-merta melakukan tindakan yang bertentangan dengan nilai moral, jusrtu nilai moral dapat mengamati prilaku manusia. Dengan kata lain, dengan moral kita dapat memberikan kritik terhadap prilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusian yang membawa pengaruh tidak baik bagi orang lain.
Nilai kebenaran hidup manusia
Kalau kita berbicara secara jujur, nilai kehidupan yang diperjuangkan manusia adalah kebenaran kebijaksanaan. Kebenaran adalah kestuan dari pengetahuan dengan yang diketahui, kesatuan subyek dengan obyek, dan kesatuan kehendak dan tindakan. Kebenaran seirng dianggap sebagai sesuatu yang harus “ditemukan” atau “direbut” melalui pembedaan antara kebenaran dengan ketidakbenaran (Karl Jaspers dalam Harry Hamersma 1985:38-39). Nilai kebenaran hidup manusia menjadi perjuangan terus menerus-menerus. Lantas apa yang menajdi focus dalam refleksi ini. Saya sendiri memulainya berdasarkan refleksi perjalanan panggilan hidup yang saya alami. Sejak kecil saya berada bersama orang tua. Orang tua memberikan perhatian yang begitu besar bagi saya. Bahkan perhatian yang diberikan oleh orang tua menjadi kekuatan saya untuk melangka. Perhatian yang lebih disini adalah orang memberi perhatian tidak hanya sekedar hal-hal postif seperti memberikan apresiap danpenghargaan, tetapi lebih daripada itu perhatian orang tua yang saya maksudkan disini adalah apapun yang saya lakukan, orang tua turut ikut andil di dalamnya. Kedua orang tua selalu menujukan sikap yang postif dalam hidup saya. Tentu sja nilai posotif itu menujukan sikap sikap kebenaran ada dalam ruang lingkup kelaurga yang menjadi proses pendidikan yang pertama dan utama (Gravissimum Educationis, art 3).
Selain nilai kebenaran yang dididik dalam kelaurga juga diperoleh dari lingkungan dan sekolah. Disini peran lingkungan dan kelaurga disini menajdi bagian yang penting untuk menjukan indetitas perkembagan pribadiku. Saya bersyukur bahwa dalam lingkungan kelaurga saya diberi perhatian dan dari lingkungan masyarakat saya mendapat dukungan. Sehingga nilai kebenaran menajdi ‘model’ untuk saya belajar perkembangan selanjutnya. Kalua boleh saya sebut kebenaran itu kausalitanya bersifat integral (menyeluruh).
Masalah kebenaran dalam ilmu filsafat manusia menjadi dasariah karena menyangkut segala pengetahuan. Masalahnya ialah hubungan antara pengetahuan dan kenyataan. Pengetahuan yang benar adalah pengetahuan yang dimaksud sesuai dengan kenyataan. Apakah budi manusia bersifat tertutup atau tebuka bagi kenyataan? (Adelbert Snijders 2006:2-3). Kenyataannya bahwa manusia berada dalam ruang lingkug pengetahuan. Manusia belajar dari pengetahuan. Pengetahuan menjadi realistis kalua sesuai dengan kenyataan. Pengetahuan menusia juga mengalami keterbasan. Namun, pengetahuan tidak bersitaf tertutup bagi perkembangan manusia. Manusia dapat menentukan secara berkala-kala dalam menetukan sikap yang selaras dengan hati nurani, bukan karena keterpaksaan, tetapi karena belajar dari keluargan, di lingkungan sekolah misalkan para siswa/I didik untuk belajar bersama-sama. Bersama memiliki arti yang kompleks, tetapi mengadung arti yang tepat, yakni belajar untuk menjadi lebih baik dan lebih bijaksana. Dalam hal ini nilai kebenaran filsafat diperoleh dari pengetahuan. Entah pengetahuan tentang sosial, spiritual, hukum, toelogi, filsafat, sains, dsb. Belajar mengenal kebenaran. Demikian juga dengan iman. Iman mestinya dapat dijelaskan dengan pengetahuan, fides Quarem intelectus.
Sebagai manusia pembelajar mestinya belajar untuk mengenal pengethuana secara baik dan benar. Baik dalam arti apa? Manusia belajar tentang kebenaran pengetahuan, maka pengethauan itu boleh dikritis, diberi saran, masukkan, komentar, dsb. Tujuannya sederhana agar manusia sesungguh menemukan arti kebenaran itu yang diperoleh dari pengetahuan yang dipelajari.
Kebenaran Bersumber Pada-Nya
Dalam Injil dikatakan Akulah jalan kebenaran dan kehidupan (bdk Yoh 14:6). Yesus adalah jalan. Ia menjadi kompas atau petunjuk bagi hidup manusia. Maka kita tidak perlu khwatir akan jalan yang dicapai. Dalam diri Kristus, perlu diyakini bahwa kebenaran itu menjadi nyata. Jalan kebenaran mengandung arti yang teologis, tetapi dapat dimaknai sebagai tindakan konkret hidup manusia sehari-hari. Jalan keselamatan melewati jalan penderitaan. Melalui iman, kita akan masuk pada pengalaman hidup kesatuan dengan Kristus. Dalam diri-Nya, kita menjadi anak-anak-Nya. Kita ingatkan pada pengalaman Yesus ketika di salibkan. Ada dua orang yang ada di samping kiri dan kanan-Nya. Salah satunya, ia berseru kepada Yesus, katanya, “Ya Tuhan, ingatlah kami apabila Engkau datang sebagai Raja” (Luk 23:42), kata Yesus kepadanya, “Hari ini juga engkau ada bersama aku di taman Firdaus” (Luk 23:43).
Yesus sendiri telah menyediakan tempat bagi hidup kita. Dia telah membuka jalan keselamatan itu kepada manusia. Manusia sudah menjadi bagian diri-Nya. Ia tidak memperhitungkan kelemahan dosa manusia, tetapi karena kerahiman-Nya, Ia satu-satunya sumber keselamatan bagi manusia. Semoga kita semakin berusaha berjuang di jalan-Nya, jaalan keselamatan.