Tue. Dec 3rd, 2024

YESUS MENYEMBUHKAN SEORANG YANG SAKIT KUSTA [Luk 5:12-16]

Bersma Br. Ferdi Jelahu, MTB

PEMBUKA

Bapak ibu yang terkasih di dalam Kristus. Kita patut bersyukur atas rahmat Tuhan dalam hidup kita sehari-hari. Ada banyak kisah dapat kita temukan pada tahun 2021 yang lalu, tetapi juga ada banyak rahmat telah kita terima hingga kita mengakhiri tahun 2021 dengan pengalaman penuh syukur. Saya mengawali renungan ini dengan sebuah pengalaman tentang panggilan.

Masing-masing kita dipanggil oleh Tuhan. Panggilan kita mempunyai maksud dan tujuan. Allah mempunyai rencana baik atas panggilan kita. Ada yang dipanggil menjadi guru, petani, dokter, biarawan/wati, dsb. Jangan pernah bertanya untuk apa áku’atau ‘saya’dipanggil menjadi guru, dokter, petani, biarawan/wati? Mestilah kita bertanya, seberapa besar pengorbanan baikku bagi sesama? Atau seberapa banyak aku dapat menolong orang yang kesusahan dan yang menderita?

KESENJANGAN ANTARA CITA-CITA INJIL DAN REALITAS NYATA

Penderitaan saat ini masih banyak, penderitaan itu tidak jauh dari kita. Masa kelam akibat pandemic covid 19 membuat kita ‘didera’ akibat dilanda berbagai ekonomi, pendidikan, kesehatan, relasi [komunikasi], lingkungan hidup, dsb. Apakah kita peduli dengan situasi atau masalah seperti ini? Apakah kita ikut terlibat dalam membantu masalah ini? Memang bukan hal yang mudah, tetapi untuk itulah kita dipanggil oleh Tuhan, mau peduli, berbagi kehidupan, berbagi pengorbanan. Panggilan istimewa kita adalah menjadi Mutiara indah bagi yang lain. Mutiara indah adalah menjadi pribadi yang mau menyembuhkan penderitaan orang lain.

MENDENGARKAN SABDA

Dalam Injil yang baru saja diperdengarkan kepada kita, menegaskan bahwa “Yesus menyembuhkan seorang yang penuh kusta.” Seorang yang kusta tinggal di sebuah kota dan ketika melihat Yesus, tersunggurlah ia  dan memohon, “Tuan, jika tuan mau, tuan dapat mentahirkan aku? Lalu Yesus mengulurkan tangan-Nya menjamah orang itu, dan berkata: “Aku mau jadilah engkau tahir.” Seketika itu juga lenyaplah penyakit kustanya. Penyakit kusta pada zaman itu adalah penyakit yang paling membahayakan. Penyakit itu membahaya tidak hanya karena dapat mematikan fisik si penderita kusta, tetapi  mematikan jiwa sang penderita. Ia juga mati karena hidupnya disingkirkan dan dianggap hina oleh orang disekitarnya, ia dianggap tidak layak hidup dalam kebersamaan [Riyadi 2011:81-83].

Oleh karena itu penyembuhan seorang yang sakit kusta mempunyai makna terdalam dalam karya perutusan Yesus. Menyembuhkan orang sakit kusta berarti mengembalikan martabat hidup manusia. Dalam Injil ini dilukiskan dua kata, yaitu tahir dan lenyak. Kata tahir [kata sifat] yang berarti pulihnya martabat kesucian dan martabat diri si penderita, sedangkan kata lenyap menunjukkan hilangnya penyakit kusta. Dengan menyatakan tahir kepada penderita kusta, Yesus mengembalikan martabat yang hilang dari orang itu.

Yesus mau menunjukkan perbuatan kasih-Nya dalam hidup manusia. Bahwa kasih itu hadir dalam diri sesama. Kasih itu dibagikan kepada sesame, bukan untuk dipendam, bukan untuk disimpan, tetapi diberikan untuk kebaikan sesama.

KONSEKUENSI BAGI PARA PENDENGAR

Bapak/ibu guru yang terkasih, tugas yang sama telah kita terima dari Yesus. Ia telah menunjukkan kasih-Nya dengan menyembuhkan pederita kusta. Panggilan kita juga sama seperti yang dilakukan Yesus. Kita ingin menyembuhkan penyakit kusta pada diri sesama kita. Penyakit kusta yang terberat saat ini adalah pengalaman disingkirkan, dijauhkan. Santa Teresa Culcuta juga mengungkapkan hal serupa bahwa penyakit yang paling berbahaya saat ini bukanlah tuberculosis tertapi pengalaman disingkirkan. Apakah kita sudah menjadi berusaha untuk merangkul mereka yang disingkirkan? Ataukah kita menjadi penonton bagi mereka yang tersinggirkan?

PENUTUP

Saat ini kita diajak seperti Kristus. Dia adalah Guru utama. Guru yang memberikan kesembuhan penyakit pada diri sesama. Dia sungguh melakukan-Nya agar tidak seorang pun dapat disingkirkan, tetapi menjadi bagian dari kebersamaan. Itulah panggilan kita saat ini, menjadi bagian dari Pribadi Kristus. Tugas perutusan kita menjadi bermakna pada saat kita menjadi penyelamat bagi sesama.