Pandemic covid-19 ini memaksa kita untuk masuk pada sebuah habit yang baru yaitu, membatasi kegiatan sosial yang melibat banyak orang atau bertemu fisik dan melakukanya secara virtual dari kediaman masing-masing atau work from home. Tak heran banyak orang mengalami frustrasi, stress, jenuh, dan bosan mengingat manusia adalah makhluk sosial yang saling tergantung antara satu dengan yang lain, banyak orang berpikir untuk keluar dari tekanan ini dengan berbagai macam cara. Salah satunya adalah bersepeda, demikian juga yang saya lakukan.
Bersepada adalah olah raga ringan yang diminati banyak orang, bersepeda dapat mengurangi frustrasi, bersepeda membuat tubuh jadi segar, bersepeda dapat membuang toxin dalam tubuh melalui keringat yang keluar dari tubuh, dan bersepeda adalah symbol kesederhanaan. Sepeda adalah saksi bisu hidupku dikala sedih dan ingin menangis, dikala frustrasi dan ingin teriak, dikala bahagia dan ingin tertawa, dan dikala senang dan ingin berkisah. Sepeda ontel tua menjadi temanku yang paling setia dalam menjalani proses formasiku sebagai calon religius selama kurang lebih empat tahun, ia mengantarkanku sampai di tempat tujuan dalam berbagai kegiatan: ke gereja untuk mengikuti perayaan Ekaristi harian maupun mingguan, ke Kampus Pendidikan Agama Katolik (PENDIKAT) Yogyakarta untuk mengikuti kegiatan kursus bina awal (KUBINA), ke tempat kursus gabungan Novis (KGN) yang selalu berganti tempat, dan tempat ziarah untuk berdoa (Jati Ningsih, Sendang Sono, Dan Sri Ningsih), ke rumah umat untuk kegiatan pastoral, tempat perbelanjaan ( tradisional market, mini market, super market, dan swalayan). Sepada adalah symbol kerendahan hati yang bersedia untuk digayuh, symbol kesiap sediaan untuk dipakai kapan saja, sedia untuk ditumpangi, sedia mendengarkan tanpa berkomentar apa-apa, dan symbol ketaatan yang mau diarahkan kemana saja diinginkan drivernya. Tepatnya sepeda ontel tua yang selalu menemaniku adalah saksi bisu perjalanan pangilanku, ia tak bisa diajak bicara namun bila dia adalah psikolog, dia akan tahu banyak hal tentang diriku, perasaanku, dan emosiku yang bisa terbaca lewat mimic atau raut wajah dan bahasa tubuhku body language atau secara spontan dan tak sengaja mengutarakan susana perasaan dan emosiku lewat kata-kata yang keluar dari melutku.
Sepeda mengajarkanku banyak pelajaran yang berharga: belajar renda hati, belajar siap sedia, belajar setia, belajar mengendaliakn diri, belajar berorganisasi, belajar menyeimbangka pikiran dan perasaan, dan belajar tentang kesederhanaan.
Sepeda adalah kendaraan sederhana namun dapat dipakai di jalan mana dana apa saja: di jalan setapak bagi yang lihai, gang-gang kecil maaupun jalan besar, jalan berlubang maupun butas, dan jalan sepi maupun ramai oleh kendaraan. Singkatnya sepeda bisa menerobos jalan mana saja. Dan lagi-lagi, sepeda mengajarkanku untuk lebih menikmati proses daripada mengejar target dan menjauhi kebiasaan hidup yang instan.
Nampaknya lembaga atau kongregasi bruder MTB menerapkan kebiasaan bersepada bagi para calonya secara turun-temurun dan masih tetap exist hingga sekarang karena bersepada adalah symbol kesederhanaan yang serat akan makna dan perjuangan hidup. Begitu pun dengan lembaga hidup bakti lain yang menerapkan kebiasaan yang sama, yaitu bersepeda bagi para calonya yang pernah saya jumpai waktu KUBINA dan KGN, sebut saja nama lembaga atau terekat mereka: untuk tarekat suster (CB, SJD, OP, AK, PMY, PI, MASF, ADM, dan RMI) bagi tareka atau Ordo bruder maupun imam (OFM, OMI, MSC, SX, MTB, CSA, dan FICP) yang mengadakan kegiatan KUBINA untuk para calonya. Pada waktu itu kebanyakan dari kami angkatan KUBINA tahun 2019 masih pada tahap Postulan dan kini telah memasuki tahap pembinaan lanjutan yaitu Novis II dan ada yang mulai menempuh pendidikan di bangku perkulaiahan bagi tarekat imam sehingga kami jarang untuk berjumpa dan berbagi kisah apalagi situasi pagebluk sekarang ini, namun pengalaman itu merupakan bekal bagi kami dalam menapaki panggilan kami masin-masing terutama dalam menghayati ke tiga nasehat Injil yaitu: Kemurnian, Kemiskinan, dan Ketaatan dengan Yesus sebaga model utama pengahayatan ke tiga nasehat itu. Tentunya bukan hal yang mudah untuk di hayati namun membutuhkan perjuangan terus-menerus dalam menghayatinya apalagi di zaman sekarang yang banyak menghidangkan tawaran-tawaran yang mengiurkan, namun sepeda telah mengajarkan sikap perjuangan, maka berjuanglah seperti sepeda yang sederhana dan percaya simpliciter et convidenter bahwa tiada perjuangan yang sia-sia.
Br. Damasus, MTB
Bruder Damas Persiapan ke gereja