Contoh renungan ini hasil dari Praktek homilitika Novis I [satu] Kongregasi Bruder Maria Tak Bernoda [MTB].
Renungan Lukas 18 :9-14
Sdr. Albertus
Seorang pemuda baru saja selesai mengikuti perlombaan memberikan renungan kitab suci di pastoran. Ia bangga sekali dan merasa dirinyalah yang paling baik sehingga dia menjadi sombong dan meremehkan peserta lain. “Bagaimana renungan saya tadi nek?” tanyanya pada neneknya yang selalu bicara jujur yang juga ikut menonton perlombaan tersebut. “Aku melihat ada 3 hal yang salah” kata si nenek terus terang. “Oh hanya 3 hal, aku rasa itu tidak terlalu jelek, karena aku yakin akulah yang terbaik dari peserta lainnya. Mereka itu tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan diriku. Apa saja itu nek”. Kata pemuda itu dengan sombongnya dan sambil membusungkan dada. “baik” kata neneknya yang sudah mulai kesal, “Pertama, kamu membaca. Kedua, kamu tidak membacanya dengan benar, dan ketiga, isi renunganmu tidak pantas untuk dibaca”.
Sikap seperti pemuda itu sering kali juga terjadi pada diri kita. Kita sering beranggapan bahwa kitalah yang paling benar. Sikap seperti itu sangatlah tidak baik apalagi untuk kita yang hidup berkomunitas seperti sekarang ini. Sikap seperti itu dapat menyebabkan keretakan hubungan dan kebersamaan terhadap sesama di dalam komunitas.
Perumpamaan tentang orang farisi dan pemungut cukai mengajarkan kepada kita akan kerendahan hati. Kita bisa melihat banyak hal baik yang telah dilakukan oleh orang farisi tersebut, dan pengalaman yamg kurang baik dari si pemungut cukai. Lalu, kenapa Tuhan lebih berkenan dengan doa si pemungut cukai?
Ada 2 alasan. Pertama, karena orang farisi menganggap apa yang dia perbuat adalah hasil dirinya sendiri dan tidak mengandalkan Tuhan. Ia menipu dirinya sendiri, tidak memandang dirinya sebagai hamba Allah, melainkan sebagai orang yang merasa layak mendapatkan karunia Allah untuk pekerjaan yang telah dilakukannya. Dan sikap seperti ini adalah sikap yang sombong terhadap Allah. Yang kedua, karena ia membandingkan dirinya dengan merendahkan sesama (kesombongan terhadap sesama).
Sedangkan pemungut cukai sama sekali tidak melakukan kesombongan dengan menyebut dirinya baik. Ia dengan rendah hati mengakui dosa-dosanya dan mohon ampun. Sikapnya merupakan sikap tak berdaya dan ketergantungan yang terbuka terhadap kasih karunia Allah.
Kesombongan menganggap diri benar membuat diri kita merasa jauh dari kehendak Tuhan. Kerendahan hati menjadikan hidup kita terus mengandalkan Allah, memahami maksud Allah.
Hidup kita sering bersikap dan berperilaku seperti pemuda dan orang farisi, yang sering menonjolkan diri. Kita mungkin tidak merendahkan orang lain, tetapi kerap tidak peduli akan orang-orang lain. Marilah kita mengintropeksikan diri, memeriksa kedalam diri kita. Apakah kita sudah menjadi seperti pemungut cukai yang rendah hati tersebut, atau malah seperti orang farisi yang bersikap sombong, baik terhadap Tuhan maupun sesama. Amin.