Untuk Novis I
Kongregasi Bruder Maria Tak Bernoda [MTB]
Oleh Sdr. Ferdi MTB
Pertanyaan mendasar
- Bagaimana cara memberikan renungan?
- Adakah langkah-langkah memberikan renungan?
- Butuh berapa menit untuk menyampaikan renungan?
- Bagaiamana cara memilih bacaan?
- Dll
Pengantar Umum
Renungan biasa dibawakan oleh para suster, bruder, maupun awam yang bertugas, entah itu memimpin ibadat ataupun bentuk doa lain yang membutuhkan renungan. Bagi imam [tertabis] ia menyampaikan kotbah atau sering disebut homili. Homili disampaikan pada saat Perayaan Ekaristi atau perayaan-perayaan lain yang dipimpin oleh seorang imam.
Tentu saja ada cara-cara untuk menyampaikan renungan. Cara-cara menyampaikan renungan dapat membantu si pembawa renungan atau homili dengan baik. Ada pun cara menyampaikan renungan atau homili antara lain: intonasi yang jelas, penggunaan bahasa yang sederhana sehingga muda dipahami oleh para pendengar, tidak terlalu cepat tidak juga terlalu lambat, dan lain-lain.
Sedangkan langkah-langkah setiap renungan perlu dipikirkan secara sistematis [tersusun dengan baik] sehingga tidak selalu mengulang-ulang pokok yang sama. Yang sering terjadi adalah renungannya lama, pokok bahasannya berulang-ulang. Persoalan ini dianggap sepele oleh sebagian orang, namun bagi kita perlu diperhatikan agar renungan yang kita siapkan tercapai tujuannya. Adapun beberapa langkah-langkah dalam menyampaikan renungan, antara lain: 1]. Pembuka. 2]. Kesenjangan antara cita-cita injil dan realitas konkret. 3]. Mendengarkan Sabda. 4]. Konsekuensi bagi para pendengar. 5]. Kesimpulan.
Dalam menyampaikan renungan perlu memperhitungkan waktu. Sekalipun renungan itu kita siapkan secara baik dan matang kalau tidak ada intinya, hasilnya sama saja. Maka renungan isinya singkat, padat dan jelas, tidak bertele-tele. Menurut Paus Fransiskus renungan yang paling efektif itu selama enam [6] menit. Untuk kita yang sedang belajar, kita pakai 8-10 menit. Untuk bisa mencapai target ini, perlu disiapkan secara baik dan perlu memahami inti pokok yang disampaikan dalam bacaan yang dipilih.
Memilih bacaan sesuai dengan penanggalan liturgi dalam Gereja Katolik. Bila ada perayaan khusus misalkan, maka dipilih bacaan yang sesuai dengan hari khusus itu. Misalkan ibadat hari ulang tahun, pemberkatan benih atau alat pertanian, pemberkatan rumah, dll.
Mengapa begitu penting bagi kita untuk belajar memberikan renungan? Salah satu karya pastoral yang sering kita lakukan di komunitas karya. Maka, harapannya pembelakan ini menjadi pelajaran untuk semakin mendalami pemahaman tentang Sabda-Nya yang berbicara secara konkret dalam hidup sehari-hari. Usaha kita adalah menghubungkan pengalaman hidup konkret dengan terang Sabda-Nya agar iman umat mencapai kepenuhan dalam Kristus. Tidak semata-mata mengenai pengalaman antropologis tetapi mengabaikan pemaknaan pengalaman secara teologis. Keduanya saling terhubung. Tidak mengabaikan yang satu.
Urutan Homilitik
Pembuka
Pada bagian pembuka, tak perlu membutuhkan salam sapa kepada umat. Mengapa? Pada bagian pengantar kita sudah melakukan itu. Sebaiknya langsung, nga perlu basa-basi dan bertele-tele. Justru pada bagian pengantar ini membuat umat penasaran-masuk ke dalam suasana hati yang tenang untuk mendengarkan Sabda.
Usahakan pada bagian pembuka menyampaikan pengalaman pribadi si pemberi homili. Pengalaman yang disampaikan itu konkret [kontekstual], tidak menyingung umat, tetapi pengalaman yang inspirasi atau pengalaman yang menantang. Pertanyaannya, bagaimana cara menemukan pengalaman inspirasi itu? Ada banyak pengalaman yang perlu kita temukan, antara lain: pengalaman pribadi, pengalaman umat, buku-buku cerita maupun juga dari koran/majalah ataupun juga media yang lain.
Sangat dianjurkan untuk menyampaikan pengalaman pribadi. Mengapa? Pengalaman yang dimulai diri sendiri, biasanya memberikan inspirasi bagi para pendengar. Saya merasa bahwa kita tidak kurang akan pengalaman pribadi. Ada banyak pengalaman dalam hidup sehari-hari, hanya saja pengalaman yang disampaikan sesuai dengan konteks Bacaan yang dipilih.
Kesenjangan Antara Cita-Cita Injili dengan Realita Nyata
Disinilah salah satu tantangan bagi pemberi homili. Seorang yang menyampaikan homili perlu melihat secara konkret situasi hidup sosial masyarakat, bangsa maupun situasi internasional. Situasi yang dilihat adalah kesenjangan, menyangkut permasalahan-permasalahan yang yang tidak sesuai dengan harapan dan cita-cita Injil. Apakah ada usaha untuk menwujudkan cita-cita Injil di tengah permasalahan seperti itu. Atau justru mengabaikan nilai-nila/cita-cita Injil itu?
Tantangan bagi si pemberi homili adalah menghubungkan konteks cita-cita Injil dengan realitas konkret. Ini sangat penting, kesaksian iman kita diwujudkan dalam realitas dunia, lewat masing-masing tugas. Dalam tugas itulah semestinya memberikan kesaksian iman. Bukan tidak mungkin kita menemukan pelbagai permasalahan. Persoalan itulah perlu dilihat dengan terang iman.
Mendengarkan Sabda
Kita perlu menafsirkan konteks bacaan dengan menggunakan buku literatur atau refrensi dari para ahli studi Kitab Suci. Ini penting untuk perlu diperhatikan. Fokus perhatiannya adalah insight bacaan. Tidak semua kita dapat bahas dari bacaan itu. Barangkali tawaran insinght ini dapat membantu kita untuk lebih fokus pada konteks.
Pada bagian ketiga [3] ini, tidak lagi dibahas kembali pada bagian satu dan dua. Disini fokus pada inti Bacaan. Menyampaikan isi bacaan secara sederhana. Kita mengakui bahwa untuk menyampaikan isi bacaan perlu dengan cara yang sederhana mengingat semua umat yang hadir sangat bervariatif dari pelbagai kalangan: mulai dari anak-anak sampai pada usia lanjut.
Konsekuensi Bagi Para Pendengar
Dari bagian 1 sampai bagian 3, apa konsekuensinya bagi para pendengar? Maksudnya apa? Umat sampai pada pengalaman tergerak hatinya untuk mewujudkan nilai-nilai Injil dalam hidup sehari-hari. Tidak perlu banyak atau yang muluk-muluk, tetapi mulai dari hal-hal sederhana. Maka, kita perlu mengambil inti pokok dari bacaan dan hal yang sangat urgen sesuai dengan realitas konkret hidup umat dan yang relevan tetapi juga kontekstual.
Penutup
Bagian penutup menyimpulkan dari bagian 1-5. Apa yang perlu disimpulkan? Pokok atau inti utama bacaan yang relevan, tetapi juga yang kontekstual. Merangkum secara keseluruhan, tetapi juga semakin mempertegas pokok utama itu.
Perlu diperhatikan
Beberapa catatan, mungkin bahan yang kita persiapkan jauh lebih banyak. Sementara waktu yang digunakan 8-10 menit. Bagaiamana kalau bahan yang disiapkan itu tidak selesai. Sekali lagi, tugas ini bukan tugas yang mudah karena pokok atau intinya perlu tersampaikan. Bagaimana caranya? Perlu meringkas seluruh pokok yang disampaikan, tekanan inti perlu mendapat perhatian khusus. Tekanan inti menjadi pokok yang disampaikan.
Tugas seorang pembawa renungan atau homili adalah menemukan inti pokok, apa yang perlu disampaikan dalam materi renungan itu.
PENGANTAR POKOK PEMBAHASAN
Istilah Homilitik
Menurut Susanto, A & Santoso [2017:7] “Homili berasal dari bahasa Yunani homilia, artinya adanya pembicaraan atau percakapan yang enak, akrab dan saling memahami [bdk Luk 24:14,15; Kis 20:11; 24:26; 1Kor 15:33].” Lanjutnya, Khotbah berasal dari bahasa chutbah/khutbah [Arab], atau pradicare [Latin], atau kerussein [Yunani], artinya mewartakan, memaklumkan, memberitakan [dalam hidup Muslim pembawa khutbah= chatib]. Sedangkan dalam lingkup Gereja, khotbah lebih merupakan pewartaan Sabda Allah di luar ibadah Gereja [misalkan: radio, TV, dll].
Mali [2021:5] istilah khotbah berasal dari bahasa Yunani homelein turunan dari kata homileticos, yang berarti pembicaraan dengan orang yang bersahabat dalam lingkup kekeluargaan. Dapat diartikan juga pembicaraan dari hati ke hati. Lebih lanjut Mali (2020:1-2) mengutip kata Paus Fransiskus yang menegaskan bahwa khotbah harus disiapkan lewat meditatio dan contemplatio. Kalau demikian, seorang pengkhotbah harus membangun relasi mendalam dengan Tuhan sehingga menggerakkan hati untuk berjumpa dengan Tuhan bagi para pendengar.
Isi khotbah itu sampai kepercayaan dan penghayatan iman secara penuh pada penyelenggaraan Tuhan. Sehingga dengan demikian, iman itulah yang menuntut perwujudan dalam hidup sehari-hari. Ada konsekuensi bagi para pendengar khtobah dalam hidup sehari. Konsekuensi itu adalah menghayati iman dalam hidup sehari-hari. Dalam surat Yakobus 1:23 dikatakan “Sebab jika seorang hanya mendengar firman saja dan tidak melakukannya, ia adalah seumpama orang yang sedang mengamat-amati mukanya yang sebenarnya di depan cermin” Atau teks gema dan muda diingat adalah “Iman tanpa perbuatan adalah mati” (bdk Yak 2:17).
Diakhir Perayaan Ekaristi akan menjadi sangat jelas dalam kata perutusan ite misa est (pergilah kalian diutus). Suharyo (2011:97-103) dikatakan bahwa “Ritus yang tidak hanya sekedar memberitahukan bahwa perayaan ekaristi sudah selesai.” Kata ini mengandung arti iman itu menjadi perwujudan konkret dalam hidup sehari-hari. Tidak bisa tidak! Iman selalu ada kaitannya dalam realitas konkret. Iman itu harus memiliki sikap kepedulian, solidaritas, karya pelayanan, persaudaraan, dll.
Iman Katolik (1996:15) mengatakan bahwa “Iman menjadi hidup dalam keputusan mengenai tugas dan kewajiban sehari-hari di hadapan Allah.” Khotbah harus menjadi daya (empower) pikat bagi para pendengar dalam mewujudkan iman dalam realita konkret. Untuk dapat menyampaikan khotbah dengan baik, perlu persiapan yang matang, butuh waktu, tenaga, pikitan, serta refrensi yang dapat membantu mengembangkan ensensi khotbah.
Sumber Bacaan
Iman Katolik (1996). Konfrensi Wali Gereja Indonesia. Buku Informasi dan Refrensi. Kanisius. Yogyakarta.
Suharyo, I. (2011). Ekaristi. Meneguhkan Iman, Membangun Persaudaraan, Menjiwai Pelayanan. Kanius. Yohgyakarta.
Susanto, Amin, A & Santoso, Budi, H. (2017). 38 Tip Lancar Homili. Pohon Cahaya. Yogyakarta.
Mali, M. (2020). Homiletika. Teologi, Seni, dan Panduan Praktis Berkotbah. Kanisius. Yogyakarta.
Kitab Deuterokanonika. (1976). Lembaga Alkitab Indonesia (LAI). Jakarta.