Wed. Dec 4th, 2024

Dalam prosesnya, orientasi pendidikan mengalami banyak hambatan yang tak kunjung habis. Aspek ideologis negara, geografis, dan otoritas gereja sendiri, termasuk dalam bilangan itu. Namun hambatanhambatan ini dapat pula menjadi suatu yang bisa membangkitkan kegigihan untuk terus membangun niat dalam menjunjung tinggi asas-asas pendidikan yang merupakan pijakan dasar kemajuan dunia.”

Pendahuluan

Pada abad-21 ini pendidikan menjadi satu hal yang menarik dan riuh diperbincangkan. Pola pendidikan diyakini menentukan hasil. Sehingga apa yang diharapkan dari sebuah proses belajar tersebut dapat terealisasi. Pendidikan adalah aset sekaligus investasi masa depan. Untuk mendukung berjalannya proses pendidikan di zaman ini, tidak hanya terletak pada hakikat dan tujuan pendidikan itu sendiri, namun lebih berorientasi pada model atau pola yang dapat membangun nilai akademik dan kemanusiaannya. Kebijakan menjadi kompas untuk menentukan arah dan keberhasilan dalam seluruh proses pembelajaran. Situasi dunia yang semakin berkembang tentu menjadi salah satu pertimbangan. Pemegang kebijakan memiliki andil penuh, terutama dalam menentukan apa yang harus dilakukan terkait dengan kemajuan dan pola pendidikan itu sendiri. Bertolak pada metode atau pola pendidikan di negara maju, negara-negara Eropa khususnya, mereka begitu antusias dan disiplin dalam mengatur hal-hal yang terkait dengan pendidikan. Dalam hal ini, tiga pilar pendidikan menjadi titik acuan yang sangat berpengaruh untuk mencapai kesetaraan dan eksistensi pendidikan baik formal maupun non-formal. Tiga pilar tersebut mencakup: aspek kualitas dan relevansi pendidikan, daya saing, serta akses dan pemerataan pendidikan. Proses pemetaan dengan berdasarkan tiga pilar ini tentu berorientasi pada masa depan pendidikan yang kreatif, inovatif, aktif dan kritis dalam menanggapi situasi zaman (Pratikami Edisi XL 2019).

Pendidikan dalam Perutusan MTB

Dalam menanggapi situasi pendidikan, para Bruder MTB telah menuangkan dalam visi dan misinya bahwa pendidikan adalah jalan untuk membangun dan menjunjung tinggi martabat manusia. Memberikan pelayanan yang memberdayakan mereka yang miskin dan lemah khususnya melalui pembinaan kaum muda. Hal ini memiliki relevansi yang menarik untuk membangkitkan semangat dan daya juang yang tinggi dalam mencapai kesetaraan dalam dunia pendidikan. Semangat untuk terus mengabdi dalam dunia pendidikan dan membagikan semua pengalaman bagi mereka yang membutuhkan. Kita dapat menimba semangat para pendahulu kita yang notabene adalah orang yang hidup dalam situasi dimana tuntutan hidup membuat mereka mau tidak mau harus melakukannya.  Sebagai contoh Br. Petrus Handoko MTB, seorang Bruder senior yang pernah mengenyam pengalaman hidup bersama para saudara di negeri Kincir Angin. Menurut beliau pola hidup mereka (para Bruder Belanda, ed.) cukup keras, disiplin, dan sederhana. Selain itu, hal yang sangat menarik bagi beliau ialah adanya keakraban di antara para saudara dengan dunia pendidikan. Buku-buku dan bahan bacaan lain menjadi sahabat setia yang menemani kehidupan mereka sehari-hari. Bagi mereka usia bukan menjadi halangan untuk terus belajar danterus belajar (Pratikami edisi XXXIX 2018). Melihat sekilas pengalaman Bruder Petrus, ada substansi yang sangat inspiratif, yaitu untuk lebih memprioritaskan polapendidikan dengan kedisiplinan sebagai dasar yang membentuk karakter pendidikan. Bagi mereka, pendidikan bukan sebagai tuntutan yang menjadikan mereka terbebani. Namun sebaliknya, mereka menganggap hal itu sebagai hobi yang akan membentuk diri mereka dalam menjalani kehidupan. Waktu, usia, dan hasil pendidikan hanyalah sebatas deretan angka yang bergerak dinamis. Namun semangat untuk terus belajar dan mengabdi dalam dunia pendidikan menjadi dasar semangat perutusan mereka. Semangat Bapa Santo Fransiskus Assisi menjadi pegangan utama mereka dalam seluruh perhatiannya pada dunia pendidikan zaman itu. “Mari kita berbuat, karena sampai saat ini kita belum berbuat apa-apa …” semangat inilah yang sekiranya mereka hidupi. Dalam lingkup kehidupan hirarki Gereja, jajaran kaum religius menaruh perhatian penuh pada dinamika pendidikan dunia yakni melalui karya kerasulan yang mereka lakukan seperti sekolah, asrama, dan karya sosial lainnya yang mereka berikan kepada dunia. Dalam prosesnya, orientasi pendidikan mengalami banyak hambatan yang tak kunjung habis. Aspek ideologis negara, geografis, dan otoritas gereja sendiri, termasuk dalam bilangan itu. Namun hambatan-hambatan ini dapat pula menjadi suatu yang bisa membangkitkan kegigihan untuk terus membangun niat dalam menjunjung tinggi asasasas pendidikan yang merupakan pijakan dasar kemajuan dunia.

Situasi Pendidikan di Negeri Belanda

Di Negeri Belanda, pada abad ke-19, dimana mereka masih berada di bawah penjajahan Perancis, pola pendidikan yang sebelumnya bersifat perorangan mau tidak mau harus berganti dengan sistem pendidikan klasikal. Membaca, menulis, berhitung, dan kedisiplinan menjadi kewajiban bagi semua orang yang menempuh pendidikan, baik itu para guru, dosen maupun siswa atau mahasiswa. Pemberlakuan pola atau metode ini tentu dengan mempertimbangkan aspek kemampuan psikologis setiap orang yang akan menerima dan menjalani seluruh proses itu sendiri. Sehingga tidak terjadi sesuatu yang dapat melemahkan nilai dan kualitas pendidikan yang dijalani saat itu. Metode ini diberlakukan bagi seluruh negeri yang berada dalam kungkungan kolonial Perancis kala itu. Pada tahun 1801–1806 kedudukan tertinggi dipegang penuh oleh Perancis sehingga undang-undang kependidikan berlaku demikian. Munculnya pola pendidikan ini dimaksudkan untuk memberi jaminan kesejahteraan pendidikan antara guru dan siswa pada masyarakat ekonomi kelas menengah ke bawah. Pada tahun 1806, untuk memungkinkan harapan tercapainya pola pendidikan itu terwujud, maka baik di kota besar maupun daerah terpencil banyak dibuka sekolah-sekolah untuk kaum miskin. Melihat lemahnya kondisi ekonomi masyarakat saat itu, maka dengan berbagai pertimbangan pemerintah mengambil keputusan bahwa segala hal yang berkaitan dengan administrasi keuangan sekolah tidak sepenuhnya dibebankan kepada siswa yang benar-benar miskin. Saat itu sikap toleransi menjadi hal yang sangat diperjuangkan oleh pihak-pihak pemerhati dunia pendidikan. Meski notabene mereka masih sebagai bangsa terjajah tapi semangat untuk terus menghidupi asa pendidikan menjadi hal yang selalu hidup. Usaha pemerintah untuk mencapai kesejahteraan pendidikan itu tidak lepas dari adanya kerjasama dengan banyak pihak yang sekiranya dapat mendukung tujuan ini. Adanya kerjasama yang baik dengan berbagai instansi, baik itu instansi pemerintah maupun swasta, sungguh-sungguh menjadi kekuatan dalam menghadapi perkembangan zaman. Dalam situasi seperti ini, maka badan keagamaan diberi kesempatan oleh negara untuk terlibat penuh dalam dunia pendidikan. Dengan adanya tawaran itu, maka di saat yang bersamaan berdirilah banyak sekolah-sekolah swasta. Dalam perjalannya, mula-mula berlangsung sangat baik dan bahkan mengalami perkembangan yang sangat signifikan baik dari segi kuantitas maupun kualitas sekolah. Singkat cerita, pada tahun 1917 banyak lembaga pendidikan termasuk yang berstatus yayasan Katolik mengalami kegelisahan akan keberlangsungan sekolah-sekolah yang mereka tangani. Lalu apa yang terjadi saat itu? Sayang seribu sayang usaha dan kerja keras mereka kandas alias berakhir tanpa ada harapan untuk bangkit. Gereja Katolik dalam tugas pewartaannya melalui biara-biara religius mengalami masa suram. Tarekat-tarekat religius dilarang untuk berperan sebagai seorang pengajar di sekolah-sekolah, dan bahkan dalam lingkup internal mereka sendiri dilarang menerima anggota baru tanpa memperlihatkan ijazah asli yang diakui oleh negara (lih. Buku Rektor Nelen 1817-1890 hal. 5). Jika dilihat dengan kacamata hari ini, kita dapat melihat adanya perjuangan yang begitu besar dari para pemangku pendidikan yang berstatus Yayasan Katolik kala itu dalam menghadapi berbagai macam diskriminasi yang begitu tajam. Namun sebaliknya kalau kita meneliti kembali perjuangan mereka, di sana kita dapat menemukan nilai-nilai pewartaan yang membutuhkan kesiapsediaan untuk menerima penolakan. Seperti pengalaman sang Guru Ilahi yang juga banyak mengalami penolakan dalam proses pewartaan-Nya. Penolakan yang dialami bukan serta merta karena kesalahan dan kekurangan, namun karena adanya unsur persaingan. Dalam hemat saya pengalaman jatuh bangun untuk memulai hal baru adalah warna yang harus diambil sebagai variasi sehingga tidak monoton pada warna yang sama yang mungkin akan berakhir kontras dan atau bahkan tidak jelas apa jadinya. Semangat untuk bangkit dari keterpurukkan itu tidak sekedar gumam yang bergaung dalam batin para pejuang pendidikan di zaman itu. Tapi dengan aksi nyata, mengabdi dan melayani mereka agar dapat keluar dari kecaman yang mematikan semangat mereka. Perlahan kita dapat melihat dan belajar dari perjuangan para kaum religius pendahulu yang berada dalam situasi sulit di zaman itu. Saat ini, penyesuaian memang menjadi hal yang sangat sulit untuk diseimbangkan dan membutuhkan waktu yang lama oleh para tarekat religius di tanah misi. Penyesuaian yang harus disejajarkan tentu berkaitan dengan adanya perbedaan geografis, budaya, dan tradisi.

MTB dan Corak Kependidikannya

Dalam sejarah keterlibatan kaum religius di dunia pendidikan, para Bruder MTB adalah salah satu tarekat yang terlibat di dalamnya. Dunia pendidikan menjadi ranah misi utama yang harus mereka layani sebagai bentuk perhatian dan pelayanan terhadap gereja dan negara. Pola pendidikan yang dilakoni oleh para Bruder MTB kala itu tentu masih sangat kental dalam hal kedisiplinan. Karena mereka berhadapan dengan model atau pola pendidikan yang berlaku dari pemerintah setempat (Belanda, ed.). Semangat yang terus dihidupi dalam seluruh pelayanan mereka membawa suatu perkembangan yang semakin signifikan dari waktu ke waktu. Alhasil mereka mulai membuka banyak karya dan komunitas baru. Hindia Belanda (Nusantara, ed.) adalah salah satu wilayah dimana mereka juga menaruh hati pada dunia pendidikan. Sebagai tanda kepedulian mereka terhadap pendidikan di tanah misi, didirikanlah Holland Chinese School (HCS) di Kota Singkawang, Kalimantan Barat. Kota ini menjadi tempat dimana mereka meletakan batu pertama dalam dunia pendidikan di Indonesia. Tentunya pola pendidikan yang mereka berikan dalam menghadapi anak-anak saat itu sesuai dengan situasi dan kondisi zaman, yang tidak terlepas dari corak pendampingan ala Negeri Belanda. Selain nilai akademik, kedisiplinan menjadi keutamaan dalam pola pendidikan yang dijalankan. Pada hakekatnya pola pendidikan seperti ini bertujuan untuk membentuk peserta didik sebagai pribadi handal dengan jiwa kemanusiaan yang bermartabat luhur. Di sisi lain tujuan pendidikan juga untuk mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang mampu memahami situasi dan menjunjung tinggi nilai nilai ketuhanan. Tujuan pendidikan dalam garis yang sama ini tidak semata-mata berlaku dalam pendidikan formal, namun juga menjadi hal yang sangat relevan apabila dihidupi dalam pendidikan non-formal seperti asrama dan panti asuhan. Tujuan pendidikan yang demikianlah yang tampaknya mau dihidupi oleh para pendahulu para Bruder dalam tujuan utama misi mereka ke tanah Borneo satu abad silam. Beralih pola dari pendidikan ala Belanda, tidak sedikit kaum berjubah mengalami model pendampingan yang menuntut para calon religius untuk membangun kehidupan dengan berbagai aspek yang membutuhkan banyak perjuangan. Nilai akademik dan moral menjadi dasar yang harus mereka bangun dalam proses perjalanan formasi yang mereka lalui hari demi hari. Melihat sepintas memang tampak membutuhkan pengorbanan yang amat besar, namun tentu dari begitu banyak pengorbanan itu pasti mempunyai maksud dan tujuan yang baikdan mengarahkan para calon itu sendiri pada perkembangan kepribadian yang berkualitas dan siap menghadapi dunia nyata. Bertolak dari fenomena yang terjadi dalam proses demi proses pendidikan yang dialami oleh para calon religius itu, Almarhum Br. Leo Jansen MTB membagikan pengalamannya selama beliau menjalani seluruh dinamika pembinaan sebagai calon bruder. Kala itu pembinaan yang beliau alami adalah lingkungan saudara-saudara yang sangat disiplin dan konsisten dengan aturan tertulis. Suatu ketika Leo sebagai seorang novis muda, melanggar salah satu aturan tertulis yang ada di novisiat. Oleh pendamping atau magister ia dijatuhi hukuman tidak mendapatkan jatah tembakau rokok mingguan. Mulanya ia mampu menerima dan menahan diri untuk tidak merokok. Namun pada hari terakhir hukuman itu ia merasa sangat tidak kuat. Selain menahan hasratnya untuk merokok ia juga tidak mampu menahan perasaan jengkel karena merasa dikucilkan. Dalam pergumulannya menghadapi masalah tersebut, ia merasa tidak mampu menjalani cara hidup biara dan memutuskan untuk meninggalkan novisiat. Singkat cerita, apa yang terjadi saat itu? Br. Ignasius sebagai pendamping para calon tiba-tiba memberinya dua pack tembakau rokok. “Ini saya bayar hutang saya kepadamu karena memberi hukuman satu minggu puasa merokok.” Dalam refleksinya, Br. Leo Jansen menemukan sebuah nilai hidup yang membuatnya mampu memahami dan menerima kenyataan bahwa ternyata pada pola pendidikan yang “keras dan kaku” itu terdapat motivasi untuk berlatih rendah hati, sabar dalam menghadapi tantangan hidup, dan kritis dalam menilai setiap persoalan. Akhirnya ia pun kembali menjalani seluruh dinamika pembinaan dengan belajar dari pengalaman-pengalaman “nakalnya” itu. Dorongan naluri bagi setiap pribadi dibutuhkan dalam menanggapi semua problem pembentukkan diri. Belajar dari berbagai masalah yang dihadapi selama masa pendidikan atau formasi, kiranya saat ini masih sangat relevan, secara khusus bagi Gereja dalam mempersiapkan generasi yang tangguh. Dengan demikian, agar para generasi Gereja yang tergabung di berbagai tarekat religius ini mampu bertransformasi, berinovasi dan selektif, maka sangat baik apabila mengindahkan pola atau metode formasi yang dapat memberikan ruang yang lebih leluasa bagi para calon untuk beraktualisasi serta menyesuaikan diri dengan situasi zaman.

Penutup

Metode pendampingan diharapkan dapat memberi wadah bagi perkembangan setiap proses, dengan demikian perlu adanya penyesuaian antara teori dan praktek. Teori yang up to date dan relevan serta implementasi berdasarkan realitas yang tengah berlaku dalam masyarakat, entah kemampuan untuk menangkap metode itu maupun lingkungannya. Pendampingan dalam setiap pola yang dipakai selalu diarahkan pada perkembangan pribadi yang dewasa, matang, dan merdeka. Tidak hanya sekedar pencapaian nilai akademik yang tinggi. Kepercayaan dan kontrol menjadi kunci utama dalamkeberlangsungan membina setiap pribadi. Sebaliknya adanya kepercayaan tidak mensyaratkan lemahnya perhatian dan pendekatan yang penuh dari pendamping. Tegas –bijaksana, ketegasan pendampingan selalu diarahkan pada nilai dasar dan kaidah-kaidah normatif kehidupan bersama yang hendaknya dapat tumbuh dan diaktualisasikan dalam menilai setiap perbuatan dan kondisi batin. Kemampuan untuk mencapai kedewasaan diri seseorang dalam proses pembinaan, menyangkut adanya inspirasi yang kuat dan teladan yang konkrit, baik dari komunitas kecil maupun lingkungan yang mendukung proses itu. Dialog dengan lingkungan menjadi dasar dan sarana yang dapat menghidupi inspirasi yang telah tumbuh sejak awal. Kemampuan berdialog dengan setiap pribadi dengan latar belakang yang kuat dalam melalui berbagai macam proses pola pendidikan, maka pribadi itu dapat dengan tajam mengenal dan memahami situasi seseorang secara mendalam dan terbuka. *** Oleh Sdr.Egidius MTB.