Sejak awal Covid muncul, aktivitas pastoral nyaris lumpuh. Saya biasanya membantu dan terlibat dalam pastoral parokial dan kategorial. Karena pandemi covid 19 ini dipaksa harus berhenti dan berdiam dirumah. Pendampingan Legio, THS-THM, pelatihan2 semua terhenti. Rasa bosan muncul karena tinggal terus di rumah. Perasan bingung, khawatir muncul bercampur baur. Saya berusaha untuk berkebun, tanam pepaya, cabe, tomat, sirsak, pinang, turi, gaharu, pisang, ubi, sayuran dll. Sekaligus terlibat dlm gerakan “Charitas” yang terus bergerak selama pandemi. Saya jujur bahwa saya orangnya senang kesibukan dan kurang kerasan berada di kamar. Banyak kesibukan dan gerakan belarasa dalam kelompok charitas yang saya ikuti, Misalnya: ikut kursus ekologi selama berbulan2 secara daring. Makin lama makin surut gerakan tanggap darurat seiring denga covid yg makin “dilupakan”. Setiap hari orang bicara covid dan makin lama orang biasa saja mendengar lonjakan baik yang terpapar, yang sembuh dan yg meninggal. Orang makin dekat dengan covid dan bersahabat.
Sahabat Vs Berbaya
Bersahabat kog dengan covid, ya aneh memang, Karena itu penyakit berbahaya. Covid membuat orang harus mengubah cara kita untuk bersosialisasi. Cara bergaul, bersahabat, cara kita belajar, cara kita beribadat, gaya hidup, dsbnya serba baru. Di komunitas keuskupan Tanjung Selor (Kalimantan Utara) kami selau berdoa mohon dibebaskan dari Covid. Doa ini dilantumkan setiap hari tanpa putus. Bahkan lebih khusuk, lantang, lebih keras dan kuat disamping doa-doa yang lain. Tetapi diakhir tahun 2020 dan awal tahun 2021 Covid tidak menjauh, malah makin mendekat. Saya sendiri tidak tahu dari mana ia datang. Lewat siapa, dimana, dan tiba-tiba saja virus sudah masuk ke tubuh saya. Bersahabat dengan covid tidak diharapkan setiap orang, Akan tetapi kalau ia datang, kita harus siap. Kita harus berkelahi, berjuang dan berontak supaya bisa terbebas dari “pelukannya”. Saya sendiri mengalami demam, panas, badan lemas, mulut pahit, ‘BAB’ encer. Rasa air dan udara sama saja, halusinasi, sakit kepala.. Entahlah mengapa, biasanya kalo sakit dengan tidur sehari saja sudah sembuh. Ini sudah dua hari yaitu tanggal 30 dan 31 Desember 2020 badan saya tetap lemas. Saya piker, ini hanya karena radang. Karena itu saya minum es buah tanggal 29 Desember 2020 malam. Saya yakinkan diri utk tetap semangat. Saya tetap makan, minum vitamin dan banyak istirahat.
Hasilnya Menakutkan
Syukurlah tanggal 1 Januari 2021 saya mulai beraktifitas. Tapi ketika ada seorang teman yang rapid test antigen hasilnya reaktif dan dilanjutkan swap “PCR” (polymerase chain reaction) yang artinya bahwa pemeriksaan laboratorium untuk mendeteksi keberadaan material genetik dari sel, bakteri, atau virus). Saat ini, PCR juga digunakan untuk mendiagnosis penyakit COVID-19, yaitu dengan mendeteksi material genetik virus Corona. Hasil dari PCR inilah saya saya mulai takut. Maka saya termasuk yg ikut dites karena ada kontak denganya. Saat itu banyak yg hasilnya positif, termasuk saya sendiri melakukan isolasi atau karatina mandiri. Setelah selesai karantina mandiri selama 14 hari hasilnya baru keluar saya dinyatakan positif. Maklum di perbatasan masih terbatas alatnya, sehingga harus dikirim ke Surabaya sehingga lama keluar hasilnya.
Perhatian Umat
Saya sendiri bingung ketika semua orang positif terpapar. Bagi saya dunia menjadi seolah -olah gelap. Suasana mencekam, aura kematian membayangi hidupku. berharap bisa berjemur tetapi matahari tertutup awan sampai bbrp hari. Perasaan takut, cemas, dan bingung tidak tahu harus berbuat apa. Terutama saya makin takut ketika ada teman yg batuknya makin menjadi-jadi. Wajah pucat, nafsu makan turun, dsbnya. Mau minta tolong kesiapa? Semua orang takut, dokter juga tidak ada, obat blm ditemukan. Jadi kita sendiri yg harus memantau kesehatan kita sendiri. Saya bersyukur ada Sr Melan, OSF yg peduli bersama kelompok tenaga kesehatan yg mensupport dengan masker, vitamin, handsanitizer dan perhatian lainnya. Dari Charitas juga mendukung dengan vitamin, masker, gizi, alat pengukur suhu dll. Saya cemas, jika keadaan memburuk dan jauh dari rumah sakit yang fasilitasnya cukup. Saya bersyukur bahwa ada keluarga yg mensuport gizi berupa makanan secara teratur. A da yg memberi susu beruang, ada yg memberi buah, ada yang memberi vitamin. Bahkan ada keluarga salah satu pastor yang menyumbang alat Oximeter untuk mengukur oksigen dalam darah. Dan dengang alat ini kita bisa memantau kesehatan kita sendiri. Selain itu ada yg peduli dan membantu, ada juga yang peduli tetapi berhenti pd kecemasan dan rasa iba saja.Denga covid ini, kadang saya bertanya pada diri sendiri. Apa saya ada penyakit berat. Saya menyadari bahwa sudah 8 tahun tidak general check up. Saya tidak tahu pasti kondisi tubuh saya secara medis. Saya hanya tahu bahwa, setiap hari tubuh saya bisa saya gunakan untuk beraktivitas.
Pergumulan Telah Berakhir
Dengan say terkena covid berarti saya makin dekat dengan kematian. Apakah sy akan mati muda? Tanyaku dalam bathin. Apakah saya akan mati di tempat perutusan ini dan lain-lain yang selalu membuat saya bergumul tak berakhir. Seluruh pikiran dan perasan yang bergumul dalam diriku semakin menjadi juga. Ketika saya mendengar ada beberapa Romo atau imam yang meninggal karena covid. Suasana hatiku semakin menjadi menakutkan. Terminal kematianku siap menjemputku. Bathinku saat itu. Kadang ada perasaan belum siap untuk menyongsong kematian. Karena saya masih banyak dosa dan masih sedikit kebaikan yang saya buat selama di dunia. Tetapi syukurlah. Hari-hari pergumulan segera berlalu. Cuaca makin menghangat. Semangat mulai muncul, harapan mulai tumbuh. Setiap hari, saya berusaha utk makan teratur dan bergizi. Berbagai cara saya lakukan. Mulai minum vitamin, banyak minum air putih hangat, minum air jahe setiap jam 10 pagi, minum daun sirih yg disedu, makan bawang putih setiap pagi. Selain itu pada malam sebelm tidu saya selalu menghirup minyak kayu putih. Untuk menguatkan imun saya olah raga sehari 2x yaitu pagi dan sore. Saya selalu berjemur, rendam kaki dengan air hangat- garam setiap malam. Menghirup uap panas hamper tidak pernah berhenti. Intensif ruang dalam berdoa lebih banyak baik brevir, rosario, devosi yg lain. Doa-doa terus mengalir 10x lipat dari biasanya. Saya tidak mau tubuh menjadi dingin. Saya harus terus beraktivitas dengan menyapu, cuci piring, mengepel lantai, membaca buku, siram tanaman, potong rumput di halaman, dan sebagainya. Bagi saya peristiwa ini merupakan sebuah pengalaman yang tidak mudah dalam ziarah panggilan hidupku. Tapi saya bersyukur kepada Tuhan, bahwa hasil tes swab “PCR” saya yang kedua hasilnya sudah negatif. Saya bersyukur bahwa bisa isolasi di rumah dengan pekarangan luas sehingga tidak hanya di kamar tapi juga bisa jalan-jalan. Saya bisa beraktivitas yang menyegarkan tanpa harus kontak dengan orang. Covid makin menyadarkan saya akan pentingnya menjaga kesehatan, akan pentingnya hidup sehat, dsb. Covid ini membuat saya makin dekat dengan Tuhan, alam serta sesama.Demikian pengalaman terpapar virus corona. Semoga banyak orang yang terpapar juga tidak panik. Cepat sembuh dan tetap bisa melanjutkan hidup untuk melayani sesama. Dan bagi mereka yg belum terpapar supaya menjaga gaya hidup sehat. Sampai tulisan ini dibuat keluarga tidak tahu dan sengaja tidak diberi tahuu supaya mereka tidak panik yang bisa memunculkan masalah baru.Tuhan memberkati kita semua. Amin. Penulis : Br Al. Sigit P. MSF, Tenaga Pastoral keuskupan Tanjung Selor Kalimantan Utara).