Manusia membutuhkan hidup yang sederhana, tanpa pengendalian diri, sikap kesederhanaan itu hanya kata-kata yang banyak dibicarakan. Pertanyaannya, Apakah tidak boleh kalau kita membutuhkan barang yang sedikit jauh kualitasnya baik? Apakah sikap kederhanaan hanya ditampilakan secara lahiriah saja atau batiniah, materiah atau rohaniah? Pertanyaan cukup sulit untuk digali? Mungkin kita bisa menjawab pertanyaan itu berdasarkan pengalaman konkret dalam hidup sehari-hari saja?
Situasi Konkret
Rasanya kalau saya memberikan contoh konkret, sangatlah terbatas dengan pengalaman pribadi saya, namun saya percaya bahwa Anda memiliki caranya masing-masing dalam menghayati kaul kemiskinan. Penghayatan kaul kemiskinan ini merupakan bagian yang melekat dalam diri kita sebagai kaum religius, bukan saja terjadi pada saat ini, sejak beberapa tahun silam, penghayatan kaul kemiskinan cukup gencar dibicarakan. Buktinya para santo santa atau pendiri kongregasi kita, begitu gencar menghayatinya kemiskinan secara radikal. Penghayatan hidup mereka [santo-santa] bukan karena kemauannya sendiri, tetapi karena teladan Kristus yang mengosongkan diri pada kayu salib.
Suatu kesempatan, ketika saya ke kampus, kebiasaan saya menggunakan baju atau celana dua hari baru saya ganti. Ini terus saya lakukan. Kecuali kalau sudah kotor karena kegiatan tertentu, barulah saya ganti. Awal mula itu terus saya lakukan. Salah seorang teman mendekati saya, lalu mengatakan demikian, “Bruder nga pernah ganti baju ya? Ko kemarin dan beberapa hari yang lalu bruder pakai baju ini, hari ini juga dipakai lagi. Bruder ko nga kaya yang lain. Tapi saya senang ko der, jadi nga segan untuk bergaul dengan bruder, dan jadi teman kami.” Ungkapnya. Waktu itu saya secara sepotan saya hanya mengatakan, “Ya yang penting nga bau dan tidak menganggu kenyamanan teman-teman yang lain.”
Pengalaman yang sangat sederhana, tetapi menurut saya sangat sentil karena diungkapkan secara langsung. Waktu saya tidak banyak bicara, saya diam, kemudian saya simpan di dalam hati, hingga saat ini pengalaman itulah mengingatkan saya untuk memberikan kesaksian tentang penghayatan kaul kemiskinan ini. Hal ini juga terungkap dalam pedomaan hidup Kongregasi Bruder MTB.
Perspektif Kemiskinan dari beberapa Sudut Pandang
Kitab Hukum Kanonik [KHK] Kanon 669,1 & 634,2] yang dikutip dalam Konstitusi Kongregasi Bruder MTB Pasal IV tentang “Persekutuan Harta” Artikel 52-71 menguraikan secara detail tentang penghayatan kaul kemiskinan dalam berbagai bidang. Misalkan saja dalam Artikel 68, menegaskan bahwa:
Kemiskinan kita hendaknya nyata di segala bidang, terutama dalam pakaian kita. Sebagai kesaksian dari kemiskinan dan hidup bakti para bruder memakai pakaian biara….selanjutnya dijelaskan bahwa kemiskinan itu hendaknya juga memperngaruhi bangunan dan inventaris rumah-rumah kita, makanan, alat-alat yang dipakai, peralatan dan perabot rumah, rekreasi, perjalanan dan liburan kita. Segala-galanya harus menunjukkan kesederhanaan yang dibarengi dengan gaya hidup yang penuh rasa keindahan [bdk juga dalam Statuta, Art 43].
Ada tiga point yang menjadi tekanan pokok dalam refleksi ini. Yang pertama, tekanan pada pakaian. Pakaian perlu menampakkan kesederhanaan, bukan soal harga murah atau mahal, kiranya menyangkut kewajaran dan budaya sopan santun, bukan soal saling kompetisi, tetapi ungkapan kesaksian hidup untuk melawan budaya materialisme, hedonisme, konsumerisme bagi kaum kapitalis [misalkan: orang kaya begitu]. Yang kedua, tekanan pada papan [perumahan] termasuk dengan perlengkapannya. Menurut kamus KBBI papan berarti ‘tempat tinggal’ dianggap sebagai satu kebutuhan penting untuk bisa bertahan hidup. Yang ketiga mengenai gaya hidup yang dibarengi dengan rasa keindahan.
Secara teoritik yang tertulis dalam Konstitusi dan Statuta sangat jelas. Apa yang tertuang ini menjadi perjuangan para bruder MTB secara terus-menerus, tiada henti. Penghayatan kaul kemiskinan di zaman sekarang ini membutuhkan kesadaran pribadi untuk menghidupi secara terus-menerus. Paus Yohanes II dalam Ensiklik Sollicitudo Rei Socialis, 1987, No. 42 yang dikutip oleh Suharyo [2009:175-177] mengatakan demikian:
Perlulah ditegaskan sekali lagi asas karateristik ajaran sosial Kristiani, harta benda di dunia ini pada mula dimaksudkan bagi semua orang. Hak milik perorangan memang berlaku dan perlu juga, tetapi tidak menghapus prinsip itu. Kenyataannya milik perorangan itu terikat pada kewajiban sosial, artinya pada hakikatnya mempunyai fungsi sosial justru berdasarkan prinsip bahwa harta benda diperuntukkan bagi semua orang.
Menurut Anggaran Dasar yang diteguhkan dengan Bulla [dalam Esser, 2001:179] kemiskinan itu dilaksanakan dalam cara hidup mengikuti Kristus menurut gaya St. Fransiskus, sebagai “musafir dan perantau” di dunia ini, dikatakan bahwa:
Saudara-saudari tidak boleh membuat sesuatupun menjadi miliknya, baik rumah maupun tempat kediaman dan barang apapun. Sebagai musafir dan perantau di dunia ini, yang mengabdi kepada Tuhan dalam kemiskinan dan kerendahan, hendaklah mereka pergi minta sedekah dengan penuh kepercayaan dan mereka tidak perlu merasa malu, sebab Tuhan sendiri telah mebuat diri-Nya menjadi miskin di dunia ini bagi kita. Inilah puncak kemiskinan yang amat luhur itu, yang menetapkan kamu, saudarasaudaraku yang terkasih, menjadi ahli waris dan raja kerajaan surga, membuat kamu miskin akan harta benda, tetapi membumbung tinggi dalam keutamaan-keutamaan.
Yang dimaksudkan saudara-saudari adalah para pengikuti spiritualitas St. Fransiskus Assisi, baik pria maupun wanita. Sebagaimana dijelaskan dalam Franciscanum vitae propositum AD Ordo Ketiga Regular St. Fransiskus Assisi [Kost Kongregasi Bruder MTB, hal. 7] menegaskan bahwa
cita-cita hidup Fransiskan memikat banyak orang, pria maupun wanita, yang haus akan kesempurnaan Injili serta merindukan Kerajaan Allah dengan berpegang teguh teladan St. Fransiskus Assisi, para anggota Ordo Ketiga Regular berusaha mengikuti Yesus Kristus dengan hidup dalam persekutuan sebagai saudara berkaul secara resmi untuk menempati nasihat Injil [ketaatan, kemiskinan, dan kemurniaan serta membaktikan diri pada berbagai jenis karya kerasulan].
Refleksi
Zaman yang serba instan [gampang] menuntut kita tetap konsisten dan komitmen manampilkan hidup yang sederhana. Kita memang tidak menutup kemungkinan bahwa kita mau menghindar diri dari dunia, sebab kita berada di dunia. Zaman boleh maju dan yang menentukan komitmen itu adalah kita sendiri. Kita tidak menghidari perkembangan zaman, kita berada di dunia dan dunia adalah kita sendiri. Kita percaya bahwa dengan suatu keyakinan yang mendalam kaul kemiskinan masih tetap relevan dan semakin banyak orang yang merindukan untuk ikut ambil bagian dalam penghayatan kaul kemiskinan itu.
Zaman yang serba cangih dan modern menuntut kita lebih membangun kesadaran diri bersama dengan sesama religius kita mau menjadi saksi-Nya dalam di tengah perkembangan zaman saat ini. Perkembangan dunia saat ini tergiur dengan cara hidup kita saat ini. Kita bersyukur bahwa dengan mengikuti berbagai pertemuan, pelatihan [workshop] dapat membantu kita untuk mengingatkan kembali untuk tetap melaksanakannya sesuai dengan komitmen dalam hidup kita sebagai pribadi-pribadi yang dipanggil secara khusus. Perkembangan zaman tidak bisa lari yang jelas semakin hari semakin pesat. Nilai keutamaan hidup religius kitalah membuat hidup kita lepas bebas. Keterikatan hidup kita terhadap ‘sesuatu’ membuat kita tidak bisa bebas yang ada khwatir, cemas karena takut kehilangan.