Nyaman sekaligus aman
Pengalaman jatuh cinta itu kadang memberikan rasa aman dan nyaman kalau tidak ‘was-was’. Cinta menjadi pengalaman indah tetapi juga menyakitkan. Gimana ya? Kita punya jawaban dan interpretasi tentang relasi cinta itu. Memang indah kalau dijalankan dengan penuh kasih [saling mendukung, berbagi pengalaman, mendoakan dan saling berbagi], pasti dirasakan cinta itu indah. Sebaliknya kalau sekedar mencari ‘pemenuhan kebutuhan’ pasti cinta itu kadang memberikan sakit hati,,,, cciiieeee! Siapa yang punya masa lalu tuh? Ya, pasti semua punya kali, ya?
Cinta yang kita bangun bukan sekedar ikatan personal inklusif, tetapi lebih pada relasi ekslusif. Sebab cinta itu bukan sekedar objek tetapi hati yang saling memberikan diri. Ketika cinta itu dijalankan dengan tulus, pasti cinta itu menaburkan kasih. Sebab nilai terbesar cinta itu adalah KASIH. Cinta bukan sekedar memberikan rasa nyaman, tetapi juga perlu mecermati situasi untuk membangun relasi yang lebih baik. Teha Sugyo [2008] dalam bukunya Antara Cinta dan Kegilaan mengungkapkan “Mengapa kita menutup mata ketika kita menangis, ketika kita tidur, itu karena ada hal yang terindah, yakni cinta”. Lanjutnya, “Cinta itu semakin dikejar semakin menjauh, semakin dicari, semakin tidak dapat ditemukan karena cinta hanya ada di dalam hati.” Kalau demikian cinta tidak hanya menyangkut relasi sempit, tetapi juga secara universal.
Pengalaman masa silam merupakan kisah-kisah yang indah dan hanya tinggal kisah, tak mungkin mengulang kembali. Kisah-kisah itu ‘membekas’ dalam diri bukan lagi menjadi pengalaman yang ‘menyakitkan’ tetapi pengalaman itu diubah menjadi indah. Lagi pula kita dipanggil untuk menjadi pewarta cinta itu. Cinta menjadi pengalaman yang dikenang, bukan pengalaman akhir, tetapi sebuah proses transformasi diri menuju suatu nilai yang utama. Keutamaan itu dibangun dengan nilai-nilai Kristianitas [saling mengasihi, mencintai].
Cinta yang Universalitas
Sebagai orang yang terpanggil cinta dipadang lebih luas karena cinta yang dibangun itu lebih pada menghadirkan kasih Allah. Mencintai Allah berarti mencintai sesama. Mencintai sesama merupakan wujud kasih Allah yang mendalam. Maka, pria dan wanita diciptakan hampir setara dengan Allah. Sebagaimana di dalam Kitab Kejadian melukiskan bahwa “Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka [bdk.Kej 1:27]. Tidak ada lagi cinta dalam perspektif yang sempit, sebab panggilan kita menjadi religius merupakan bagian dari tugas perutusan Gereja.
Gereja menjadi satu-kesatuan dalam hidup religius melalui kesasikan hidupnya dalam mengemban tugas amanat dari Kristus sendiri, yakni mewartakan kabar gembira. Kabar disampaikan dalam perbuatan kasih dan kasih itu menyangkut relasi secara universalitas. Gereja harus menjadi aspek komuniter. Artinya Gereja diwarnai oleh kesaksian hidup religius itu sendiri. Dalam kompendium Ajaran Sosial Gereja dijelaskan bahwa: Menurut rencana Allah yang dilaksanakan di dalam Kristus, terdapat kesepadanan antara jati diri serta tugas perutusan Gereja di dalam dunia dan sebuah tujuan penyelamatan yang eskatologis, yang hanya dapat tercapai sepenuhnya pada zaman yang akan datang” [Art, 51].
Kesepadanan antara pria dan wanita merupakan kesatuan terdalam yang diyakini karena cinta. Kaum religius yang terpanggil juga ikut ambil dalam bagian dan cinta itu. Yang dibuktikan melalui karya pelayanannya, di mana pun mereka berada. Karena cinta karya pelayanan itu diwujudkan sebagai bukti pemberian diri bagi sesama.
Cinta selalu menjadi keutamaan dalam hidup Kristiani. Bagian terdalam dari kisah cinta itu adalah mampu menerima kenyataan sebagai bagian dalam kehidupan ini. Kita harus mempu menerima sebagai bentuk kedesawaan baik secara emosional, intelektual, kedewasaan tendensial. Menurut Gordon Allport [2019:51-53] psikolog humanistik menjelaskan tiga aspek kedewasaan dan pengembangan, yakni pertama kemampuan memperluaskan diri [ego-extension], orang dewasa tidak pernah mengganggap dirinya sempurna. Ia selalu memperluas diri, selalu mengembangkan pengethuan, bakat, minat dan kegembarannya. Kedua, kemampuan menilai diri secara objektif [ego-objectivation], ciri ini mampu mengenal baik kelemahan dan keunggulan yang melekat pada dirinya. Ketiga, kemampuan menerima diri apa adanya [ego-acceptance]. Orang yang benar-benar dewasa tidak saja mengenal dirinya, tetapi juga menerima keadaannya. Keempat, kemampuan menerima orang lain apa adanya [acceptance of others], kemampuan menerima diri apa adanya akan lebih mampu menerima apa yang ada di luar dirinya, termasuk segi yang menjengkel dan yang lemah. Kemampuannya untuk mengolah diri dan tidak kehilangan arah. Ia menerima dengan tenang. Kelima, kemampuan memahami diri sendiri dan rasa humor. Orang yang sudah dewasa dengan cepat mampu memahami keadaan dirinya dalam situasi apapun. Keenam, kemampuan menerima kenyataan apa adanya. Kemampuan ini bukan saja menerima keadaan diri dan orang lain, melainkan juga kenyataan di dalamnya.
Cinta itu Indah
Masa lalu itu indah. Kita tidak mengabaikan masa lalu. Masa lalu dapat membentuk kita hari ini. Hari ini merupakan kisah yang dinantikan masa lalu, dan masa depan yang dinantikan masa lalu itu adalah hari ini. Maka apa pun yang terjadi di masa lalu, merupakan sebagian kisah yang telah kita lalui. Kita tidak perlu khwatir tentang masa lalu. Masa lalu memiliki kisahnya, saat sekarang memiliki ceritanya dan masa depan merupakan masa yang kita nantikan mulai hari ini. LAKUKANLAH hari ini dengan penuh cinta. Sebab cinta selalu menjadi indah. Cinta menunjukkan sikap kedewasaan. Kedewasaan cinta untuk saling memberikan dukungan, berbagi kisah, cinta dan saling mendoakan.