Masa pandemi covid 19 membuat kita was-was, hati-hati. Semua orang ingin merasakan perjumpaan yang mendalam: entah dengan orang tua, keluarga, sahabat dan siapa saja yang kita rindukan. Bahkan kaum religius pun, jatah cuti ditunda. Ingat! Bukan sekedar perjumpaan dari hati ke hati memenuhi kerinduan kita untuk berjumpa. Yang dipikirkan pertama-tama adalah saling menjaga keselamatan. Lebih berharga dari pada sekedar perjumpaan face to face. Apa lagi bersalaman, cipi ki dan cipi ka.
Kerinduan Untuk saling Berjumpa
Situasi pandemi ini membuat sebagian dari kita merasa tinggal di rumah mau buat apa? Apa yang harus dikerjakan? Lebih-lebih kalau kita ‘sering’ bertugas di luar kota. Pun kalau bertugas di luar kota, kita harus berjumpa [bertatap muka] dengan klien kita. Sekali lagi, saat ini kita selalu diajak stay at home, work from home.
Dalam salah satu media online Sri Sultan Hamengkubuwono mengajak para pengawai perkantoran untuk membatasi perkerjaan perkantoran, 50% dari rumah dan 50% di kantor dengan mentaati protokol kesehatan [prokes]. Apakah perjumpaan itu menjadi kerinduan yang terdalam? Ya, boleh dikatakan hanya sebagian kerinduan itu terpenuhi. Mengapa? Karena perjumpaan itu terjadi bukan karena kerinduan terdalam, tetapi ‘tuntutan pekerjaan’. Itulah sebabnya bahwa perjumpaan itu tidak sepenuhnya menjadi kerinduan dari hati yang terdalam.
Beberapa kali saya keluar masuk di rumah sakit Panti Rapih Yogyakarta untuk mengontrol para bruder yang sedang isolasi di rumah sakit. Kesempatan yang baik, saya mendengarkan cerita para perawat tentang perjuangannya dalam menanggani pasien covid 19. Salah seorang perawat menceritakan tentang kerinduannya untuk bertemu dengan sang suami dan anak-anaknya. Katanya:
“Bruder hatiku merasa sedih. Sudah sejak bulan April-September saya belum bertemu dengan keluarga. Bagaimana dengan suami dan anak-anakku di rumah? Meskipun ada waktu untuk libur 1-2 hari, waktu pulang kerja, tidak mungkin saya pulang ke rumah. Saya tidak mau keluargaku menjadi ‘klater baru covid karena saya’ itulah sebabnya saya memikirkan tentang keselamatan mereka. Saat ini saya merasa rindu dengan keluarga.” Ungkapnya dengan ekspresi sedih.
“Kan bisa telepon video call mba? Sekedar tanya jawab tentang keadaan dan situasi keluarga di rumah.” Centusku dengan spontan.
“Rasanya beda bruder, kalau kita bertemu secara langsung, perasaan khwatir, cemas dan gelisah tidak ada. Karena kita bisa melihat, merasakan, secara langsung situasi dalam keluarga. Kita bisa curhat, sharing [berbagi], canda tawa, sendagurau di rumah. Saat ini, sama sekali tidak bisa.Kita ingin telepon lama-lama, sementara pasien kita butuh pelayanan. Mau tidak mau kita melayani pasien dulu. Semacam ada ruang [waktu] yang membatasi.” Ungkapnya.
Ruang Perjumpaan
Saat-saat seperti itu, kita merindukan perjumpaan antar sesama. Ingin sesuatu yang berbeda yang dirasakan selama di rumah. Maka, tidak heran banyak orang berkerumunan di mana-mana, ada yang tanpa menggunakan masker, berziarah ke mana-mana sampai pada kalangan artis, seperti Raffi Ahmad, berkumpul tanpa menggunakan masker, selfi tanpa menjaga jarak. Hingga banyak dibicarakan di media masa.
Bagaiamana cara kita menghadapi covid tanpa harus berjabatan tangan, berkerumunan, selfi tanpa menjaga jarak sebagai satu ruang perjumpaan untuk saling mengharga satu sama lain? Kompas 16/01/21, hal 7, merilis tentang peranan ekspresi dalam komunikasi untuk memberi konteks terhadap isi pembicaraan. Kiranya ada dua hal yang sajikan, pertama, perlu meningkatakan kesadaran kita sedang menggunakan masker yang membuat senyum maupun gerak bibir tidak kelihatan. Kesadaran perlu dipahami oleh kedua belah pihak, sehingga bisa saling memberikan kekuatan pada bagian-bagian yang lain, seperti mata, kening, dan otot-otot lainnya pada bagian wajah. Kedua, memperkuat ekspresi body laguage. Tangan lebih kita intensifkan untuk mendukung maksud yang ingin disampaikan. Ketiga, memperjelas artikulasi kata-kata, bicara lebih keras, perlahan dan memastikan bahwa lawan bicara mengangkap kata-kata kita dengan baik.
Saling Menjaga Keselamatan
Keselamatan adalah rencana Allah yang ingin menyembuhkan manusia melalui Yesus Kristus. Yesus menjadi sumber keselamatan itu. Yesus-lah jalan hidup, kebenanran dan keseamatan itu. Akulah jalan kebenaran dan hidup [bdk Yoh 14:6]. Dalam diri Kristus kita memperoleh hidup. Kristus datang ke dunia untuk menyembuhkan yang sakit, yang buta melihat, yang lumpuh berjalan, yang mati dibangkitkan, orang kusata menjadi tahir, orang tuli mendengar dan kepada orang miskin diberitakan kabar baik [bdk Mat 11:5].
Dalam situasi pandemi covid 19, menjadi pewarta kabar baik tidak mesti harus berpelukkan, bersalaman dan selfi tanpa memperhatikan prokes. Bukan itu! Sebab kita harus menjadi pewarta keselamatan bagi orang lain. Kehadiran Yesus membawa keselamatan bagi umat manusia. Kita pun demikian, sebagai umat Kristiani, kita melakukan sama seperti yang di lakukan oleh Kristus sendiri. “Menjadi pembawa keselamatan.”
Saya terkesan dengan salah seorang Bruder MTB yang diberi kesempatan untuk mengunjungi keluarga, sudah tiba di Yogyakarta, beliau memikirkan tentang keselamatan bagi keluarga di rumah, meskipun hasil PCR negatif, tetapi tetap mempertimbangkan dan memutuskan dengan bijak. “Nga usah pulang ke rumah. Dari sini saya sehat, tapi saya tidak tahu selama dalam perjalanan pulang. Mending nga usah pulang, dari pada membawa penyakit baru [klasfer covid] bagi keluarga. Biarkan kondisi aman, baru saatnya bisa bertemu dengan keluarga.”
Pengalaman di atas mengingatkan kita, “janganlah tergesa-gesa untuk berjumpa dengan keluarga. Pikirkan dahulu keselamatan bagi diri sendiri dan bagi orang lain. Utamakan keselamatan jiwa [helping souls]. Sebab hukum yang tertinggi dari semua hukum adaah keselamatan manusia. Demikian juga dalam KHK Kan 1752 mengindahkan kewajaran kanonik dan memperhatikan keselamatan jiwa-jiwa, yang dalam Gereja harus selalu menjadi hukum yang tertinggi.