Sun. Nov 10th, 2024

Belajar dari Pohon

Bila kita memandang pohon, yang kita tatap pertama kali adalah keindahannya, bahkan ketika kita memotret foto, yang kita potret adalah bagian terlihat indah dari pohon itu. Yang tampak untuk diambil gambar adalah daun atau pucuk dari pohon itu, untuk dijadikan backgraund  foto yang kita ambil. Tak hanya itu, banjir pula pujian, “Itu fotonya bagus dan latar pohonnya yang bagussss….”

Kita lupa bahwa ada bagian lain yang perlu kita lihat, memang itu tidak tampak kalau dilihat, bahkan di foto pun tidak terpotret dengan kamera. Membutuhkan imajinasi mendalam agar menemukan gambaran terdalam dari pohon itu. Dan yang dimaksud adalah proses tanah dan akar yang tidak terlepas tumbuh kuatnya sebuah pohon.

Ketika mengikuti pertemuan atau workshop, ada pelbagai macam tampilan pohon tunjukkan melalui slide powerpoint, entah itu pohonnya banyak atau sendiri. Gambaran sebuah pohon yang disajikan itu untuk mendukung materi yang disajikan. Bahkan meminta para peserta untuk memaknai pohon yang ditampilkan. Bisa jadi, secara pribadi-ketika kita diminta untuk menulis simbol diri, kita menggambarkan pohon.

Pohon itu terjadi penyatuhan antar satu dengan yang lain. Dia tidak bisa berdiri sendiri. Dia menjadi utuh karena menyatu ke dalam tanah. Tentu saja yang perlu dilihat bagaimana pohon itu bisa menjadi indah dan rindang?

St. Fransiskus mengatakan “Jadilah hidupmu seperti cacing. Cacing bekerja untuk memberikan kesuburan, bekerja tanpa harus diketahui banyak orang. Cacing memberikan pupuk hingga terjadi kesuburan pada tanaman, bahkan pohon sekalipun [Fioretti dan bdk juga Karya-Karya St. Fransiskus]. Maka melihat kedalaman makna, terkadang kita sendiri tidak mengerti dan memahami. Kekuatan St. Fransiskus Assisi memandang ke dalam merupakan anugerah terbesar yang diterimanya dari Tuhan. Melihat ke dalam yang tidak pernah kita ketahui apa yang dibuat oleh cacing itu untuk menyuburkan tanaman itu. Kerapkali lebih mudah untuk melihat yang tampak dari pada yang tersembunyi. Pohon itu akan menjadi subur dan rindang karena tanahnya subur.

Mengenal ke dalaman diri

Untuk mengenal diri sendiri lebih mendalam dibutuhkan kesadaran mendalam tentang diri sendiri dari pada sekedar kata orang. Siapakah aku ini? Atau siapakah dia? Diri sendirilah yang tahu akan kekurangan dan keterbatasan, atau kelebihanku. Bukan sekedar apa kata orang. Boleh saja orang mengatakan apa tentang kita, tetapi kita sendiri yang lebih mendalam mengenal kepribadiaanku: unik, humoris, mudah marah, tersinggung, cekatan, kerasan, dll. Kedalaman mengenal diri sendiri, membuat diri kita menjadi mantap, dewasa, dan matang, baik secara psikis, sosial, spiritual, pengetahuan, kharisma, dll. Kita sendiri bisa mengukurnya dengan cara kita mengenal diri sendiri. Mengenal diri sendiri membantu kita dalam memahami kedalaman diri sendiri.

Kedalaman Cinta Allah

Allah sungguh mencintai hidup manusia. Masing-masing pribadi dikenal dan disapa sesuai dengan namanya, sebagaimana kisah tentang Samuel, “Allah memanggil Samuel” [Bdk 1Sam 3:1-21]. Kisah ini menjadi kisah yang sangat menarik dan menyentuh atas kasih Tuhan yang tidak saja mengenal dari jauh, tetapi dipanggil dan disapa sesuai dengan nama masing-masing. Injil juga mengisahkan tentang ketika Yesus memanggil murid-murid dengan menyebut namanya masing-masing. Kedalaman cinta Yesus selalu menjadi dasar utama tentang kesatuan personal masing-masing pribadi dengan-Nya.

Sebagai orang yang beriman keyakinan hidup kesatuan dengan-Nya menjadi pengalaman yang fundamental [mendalam]. Kita bukan tipe orang farisi yang meminta suatu tanda [Mrk 8:11-13]. Dia yang kita iman itu memberikan suatu tanda yang sangat luar biasa, yakni muzkjizat. Mujizat menjadi tanda yang besar dalam kehidupan manusia. Hanya orang-orang membuka hati menyadari kebaikan dan kasih Tuhan dalam hidupnya. Cinta yang mendalam dengan tidak membiarkan hidupku dan Anda merana karena kepedihan. Ia selalu memberikan jalan keluar disaat kita rasa sakit dan derita.