Tue. Dec 3rd, 2024

Kata letang dalam bahasa Manggarai berarti jembatan, sedangkan  temba berarti ada di atas. Kata letang temba memiliki arti dan makna simbolik. Letang temba berarti seseorang perantara. Seorang perantara dalam budaya Manggarai bertugas untuk menyampaikan isi hati dari warga kampung kepada orang lain. Tugas ini biasanya dijalankan seorang pemimpin, dalam hal ini tua golo atau orang yang di-tua-kan di suatu kampung. Oleh karena itu seorang perantara berarti juga seorang pemimpin. Seorang pemimpin dalam budaya Manggarai sering disebut siribongkok (tiang utama rumah adat),  landuk (pemimpin), letang temba, laro jaong (penyalur aspirasi), lema emas (penyambung lidah).

Dalam budaya Manggarai seorang yang diangkat menjadi letang temba  harus memiliki kualitas pribadi sebagai berikut : memiliki kemampuan leadership, bijaksana dan sabar (nai ngalis tuka ngengga), memiliki pengetahuan yang luas mengenai budaya Manggarai, sehat jasmani dan rohani, mampu memecahkan masalah (nganceng caca mbolot), memiliki kewibawaan, memiliki hati yang tulus dan murni (wae nggireng de ro’eng), memiliki kemampuan untuk mempersatukan warga kampung (impung agu anggom sanggen roe’eng) dan mampu memberi motivasi kepada warga kampung (racang rak, rai ati de ro’eng)  (Janggur, 2010:11-12).

Tugas dari seorang  letang temba selain sebagai pengantara dan penyalur aspirasi warga kampung, dia juga memiliki tugas utama sebagai berikut : pertama, memberi hukuman kepada warga kampung yang melanggar hukum adat, misalnya jurak (insest), tako (mencuri), dan memiliki rasung  (black magic), menghukum warga kampung yang malas membuat pagar dan merawat kebun. Oleh karena memiliki peran yang strategis ini, seorang letang temba harus memiliki kualitas-kualitas di atas terutama dalam memutuskan perkara di antara warga kampung.

Dalam budaya Manggarai letang temba sering disimbolkan dengan siri bongkok atau teno. Siri bongkok dan teno merupakan simbol perjumpaan antara unsur bawah (tanan wa), yakni dunia dengan unsur atas (awang eta). Siri bongkok merupakan pusat dari rumah adat yang disebut  mbaru gendang (Erb, 1999), dan teno merupakan pusat dari kebun yang disebut lingko. Seluruh upacara dalam budaya Manggarai berpusat di Siri Bongkok dan teno. Oleh karena itu setiap rumah adat memiliki siri bongkok karena simbol pemimpin yang mempersatukan seluruh warga kampung dan  teno  yang mempersatukan warga pemilik ulayat (Mariberth Erb, 2010).

Kajian Kitab Suci

Bila merujuk pada konsep Budaya Manggarai mengenai  letang temba,  maka peran Yesus dianalogikan dengan peran seorang letang temba yakni sebagai perantara antara manusia dan Bapa. Di dalam Perjanjian Lama ada banyak tokoh yang melakukan tugas ini, yakni Abraham, para Nabi dan secara istimewa Musa. Dialah pembawa pesan, pembimbing, ‘perantara’ perjanjian antara Umat Israel dan Allah, seperti yang didefinisikan Perjanjian Baru (Gal 3:19, Kis 7:35, Yoh 1:17). Para Nabi adalah penyambung lidah, letang temba  Tuhan untuk menyampaikan pesan SabdaNya kepada manusia demi keselamatan manusia.

Dalam Perjanjian Baru, Yesus adalah satu-satunya perantara kita dengan Bapa. Sebagai perantara hanya Yesus yang sanggup melihat wajah Allah.Yesus, sungguh Allah sungguh manusia (Konsili Khalsedon 451), bukan hanya satu dari perantara antara Allah dan manusia, tapi “Satu Perantara” dari Perjanjian Baru dan kekal (bdk. Ibr 8:6, 9:15, 12:24),”Karena hanya ada satu Allah, maka hanya ada satu perantara antara Allah dan umat manusia, yakni Kristus Yesus, yang adalah manusia”  dan Tuhan (1 Tim 2:5, Gal 3:19-20). Dalam Yesus kita melihat dan bertemu Bapa, dalam Dia kita memperoleh keselamatan dan kehidupan yang kekal. Sebagai letang  temba,  Yesus Kristus menjadi pusat kehidupan umat Kristen. Dialah tiang utama kehidupan dan menjadi penopang hidup yang utama (siri bongkok). Melalui Yesus orang Kristen sampai kepada Bapa.

Sumber

Erb, Maribeth. 2010. Adat Revivalism in Western Flores, Culture, Religion and Land.  Singapore: National University of Singapore.

Janggur, Petrus. 2010. Butir-butir Adat Manggarai. Ruteng : Yayasan Siri Bongkok.

LAI. 1976. Alkitab Deutrokanonika. Jakarta : LAI