Thu. Dec 5th, 2024

Prakata

Malam itu secercah cahaya menyinari para pendoa dalam suasana khusuk dan hening. Terpaan cahaya tanpa suara sedikitpun lilin-lilin tetap berkemilau dengan tenang. Indahnya cahaya di malam itu, tetap terpancar dari salib San Damiano, seakan-akan menawarkan sinar kedamaian bagi para peziarah yang sedang mencari mata air kedamaian yaitu Yesus Kristus. Demikian seuntai lukisan pengalaman awal saat mengikuti Doa dan Nyanyian Taize pada tanggal 03 Desesember 2013 bertempat di Aula Bina Remaja Kompleks SMA Santo Paulus Jl. A. R.Hakim 92 Pontianak, yang dipimpin langsung oleh Bruder Andreas Krautsieder dari Perancis. Maka untuk mengajak peserta yang datang doa, Bruder Andreas  berbagi rasa  model  katekese singkat, tentang seklumit sejarah doa dan Nyanyian Taize itu sendiri dalam bahasa Inggris dan Topan guru dari Ketapang sebagai penerjemahnya dengan siap sedia ikut membantu dengan tulus saat itu; sebelum doa dan nyanyian di mulai.

Berawal dari Penghancuran Dunia

Ketika Perang dunia yang melanda negara eropa, banyak jiwa manusia yang tidak tertolong dan mati sia-sia di zaman itu. Usaha untuk membangkitkan kembali rasa cinta terhadap sesama  seakan-akan enggan untuk menghindari permusuhan yang telah merasuki jiwa manusia. Atas dasar inilah Seorang pemuda berusia 24 tahun bernama Roger, lari dari dunia yang begitu mencekam  bengis saat itu, hingga mendapat tempat yang teduh yakni sebuah desa bernama Taize sebagai kediaman awal dari komunitas saat ini yang diami oleh para bruder linta Gereja dan negara dalam hidup kontemplatif. Menurut Bruder Andreas, bahwa dampak dari perang dunia sebenarnya sangat mempengaruhi perpecahan  Gereja di masa itu. Sang delegatus perwakilan Asia pasifik ini menilik bahwa  sebenarnya ada dua sudut pandang akan sebuah kehidupan, walaupun berakhir tragis, yang terus bersinar bagi Gereja dan dunia.

Kardinal Kasper, presiden Dewan Kepausan juga  berusaha sekuat tenaga dan daya untuk “Persatuan Umat Kristiani”, melihat Bruder Roger sebagai simbol dari ekumenisme rohani: melalui doa dan kontemplasi, dia dibimbing untuk menggenapi rekonsiliasi batiniah tanpa harus menimbulkan perpecahan dengan siapapun juga. Selain itu dikatakan juga bahwa Br. Alois, yang melanjutkan pelayanan Bruder Roger sebagai prior komunitas Taizé, menunjukkan bahwa bagi Bruder Roger, kebaikan hati merupakan cerminan dari Kasih Allah dan secara khusus dia menjadi saksi hidup dari kasih tersebut dalam hubungannya dengan para kaum muda.

Sebuah kenyataan yang sangat sederhana”

Br. Andreas selain menceritakan secara singkat selayang pandang pendiri komunitas Taize, dengan model katekese Shared Praxiz Cristian, “Di Taize selain kita menyanyi kita juga ada waktu khusus  membuka Injil, kita dapat berkata, “Kata-kata Yesus ini seakan hanyalah huruf-huruf kuno yang ditulis dalam bahasa yang tak dikenal. Namun oleh karena Injil tersebut ditulis oleh seseorang yang mengasihi aku maka aku akan mencoba untuk memahami maknanya serta menerapkan sesegera mungkin sedikit dari apa yang telah kupahami.” Maka dengan lagu yang berulang-ulang akan terlarut dalam mengecap dari makna sabda Yesus itu sendiri”. Tegas Putra keturunan Jerman ini dengan mantap.

Menurut petualangan hingga pulau Flores dan Dili ini, menberi pandanganya bahwa untuk mencinta sabda Allah secara sederhana dapat dikatakan bahwa pengetahuan yang luas tidaklah penting untuk memulainya. Pada waktunya pengetahuan tersebut akan sangat bernilai. Namun melalui hati, di kedalaman diri-lah, manusia dapat mulai memahami Misteri Iman. Segala sesuatunya tidak diberikan secara serta merta. Kehidupan batin terbangun tahap demi tahap. Hari ini, kita melangkah maju dalam iman saat kita melangkah untuk menapaki tahapan-tahapan terset. Maka seruan hati bagi rekonsiliasi umat Kristiani dalam bentuk doa dan nyanyian di Taize sebenarnya permohonan yang tidak pernah  berhenti merindukan perdamaian dan persaudaraan sejati dalam ziarah hidup ini.

Dalam sejarah komunitas yang didiami oleh para bruder yanga berasal dari  30 negara ini  dikatakan bahwa saat Pendiri meninggalkan Jenewa di tahun 1940 untuk mendirikan Komunitas Taizé, Bruder Roger terdorong oleh suara hati yang berkata: agar umat Kristiani bisa menjadi ragi perdamaian bagi kemanusiaan maka mereka tidak bisa mengabaikan upaya rujuk kembali di antara umat Kristiani dan menundanya begitu saja. Bertahun-tahun kemudian dia mengungkapkan perjalanan pribadinya sebagai berikut: “Tergugah oleh kesaksian dari kehidupan Nenek saya, saya mengikuti jejaknya dan menemukan jati diri Kristiani saya dengan jalan memperdamaikan dalam diri saya tradisi iman dari mana saya berasal dengan Misteri iman Katolik, tanpa harus merusakkan hubungan dengan siapapun juga.” Jalan yang dibuka oleh Bruder Roger ini memerlukan sebuah kebijaksanaan; jalan ini penuh dengan tantangan. Kami belum selesai menjelajahinya. Di dalam Kristus kita menjadi bagian satu sama lain. Ketika umat Kristiani terpisah-pisah, pesan dari Injil menjadi tidak terdengar.

Tangapan Iman Para Peziarah

Bagaimana kita dapat menanggapi tantangan-tantangan baru dalam masyarakat, terutama dalam hal sekularisasi dan upaya untuk saling memahami diantara budaya-budaya yang ada, jika kita tidak menghimpunkan segenap karunia-karunia Roh Kudus yang terletak dalam setiap tradisi Kristiani? Bagaimanakah kita dapat menyampaikan damai Kristus kepada sesama manusia jika kita tetap terpisah-pisah? Janganlah kita menyia-nyiakan tenaga demi pertentangan-pertentangan di antara umat Kristiani atau bahkan pertentangan dalam denominasi kita sendiri! Marilah kita lebih sering berhimpun di hadapan Allah, mendengarkan Sabda-Nya, dalam keheningan dan dalam puji-pujian

Br. Andresa bercerira bahwa sebulan sekali atau tiga bulan sekali kita dapat mengundang orang muda Kristiani yang tinggal di kota, desa atau daerah kita untuk mengikuti “doa bagi rekonsiliasi”. Dan dari Indonesia sudah ada dua bruder yang bergabung yakni dari Tegal Jawa Tengah dan Kota Bandung Jawab Barat. Lanjut Sang Pendoa ini bahwa “untuk mempersiapkan doa seperti ini, para kaum muda dapat pergi berkunjung ke mereka yang berada di paroki atau jemaat yang lain, kelompok atau gerakan yang lain dan mereka juga bisa mengundang kaum muda yang sedang bergumul untuk menemukan iman.

Kemudian akan muncul keinginan untuk melakukan segala sesuatunya secara bersama-sama. Apa yang mempersatukan kita, jauh lebih penting dari apa yang dapat memisahkan kita: kita perlu membiarkan kenyataan ini bersinar melalui kehidupan kita! Saling berbagi karunia diantara tradisi-tradisi Kristiani yang berbeda sudah menjadi sebuah permulaan. Di Taizé kami melihat bahwa melalui doa bersama dan pertemuan antar pribadi, tumbuh rasa saling menghargai dan pertukaran karunia semacam ini dapat berlangsung secara alami.

 Nilai Keheningan Doa Taize:

Nilai Keheningan tiga kali sehari, di bukit Taizé, ketika lonceng berbunyi semua yang sedang bekerja, mempelajari Alkitab dan berberbagi pendapat dalam kelompok kecil menghentikan kegiatan mereka. Ratusan bahkan ribuan orang, yang kebanyakan terdiri dari anak muda yang datang dari segala penjuru dunia, pergi ke gereja untuk berdoa dan bernyanyi bersama dengan komunitas para bruder di Taizé. Bacaan Alkitab di baca dalam beberapa bahasa. Di tengah-tengah doa terdapat “Saat Hening” selama beberapa saat, “Saat Hening” ini menjadi saat yang khusus untuk berjumpa dengan Tuhan. Keheningan dan doa

Jika kita mengambil kitab kumpulan doa tertua, Kitab Mazmur, sebagai acuan maka kita akan melihat dua bentuk doa. Yang pertama adalah ratapan dan tangisan akan pertolongan, yang kedua adalah ucapan syukur dan pujian kepada Allah. Namun sesungguhnya tersembunyi pula bentuk doa yang ketiga, tanpa ungkapan atau permohonan tertentu. Sebagai contoh Mazmur 131 adalah bentuk keheningan dan kepercayaan, yang berbunyi, “Sesungguhnya aku telah menenangkan dan mendiamkan jiwaku … Berharaplah kepada TUHAN, hai Israel, dari sekarang sampai selama-lamanya!.”

Terkadang saat kita berdoa, kita berdiam diri. Persekutuan yang damai dengan Allah dapat terjalin walaupun tanpa kata-kata. “Aku telah menenangkan dan mendiamkan jiwaku.”. Seperti anak yang terpuaskan batinnya berhenti menangis atau anak yang berdiam dalam pelukan ibunya, maka dalam kehadiran Tuhan “jiwaku tenang dalam diriku”. Bagaimana mungkin kita dapat menggapai keheningan batin? Kadang kala kita tampak diam, namun justru sebenarnya kita mengalami sebuah pergumulan dengan teman yang kita bayangkan atau dengan diri kita sendiri. Menenangkan jiwa memerlukan sebuah kesederhanaan, “Aku tidak menyibukkan diriku dengan hal-hal yang terlalu besar dan terlalu hebat untukku.”. Berdiam diri berarti menyadari bahwa kegelisahanku tak dapat berbuat banyak. Berdiam diri berarti meninggalkan perkara yang tak dapat kucapai dan hal-hal yang diluar kemampuanku kepada Tuhan. Waktu berdiam diri, walaupun singkat, adalah seperti perhentian yang kudus, hari raya sabat dimana kita dapat beristirahat, waktu untuk beristirahat dari kekhawatiran.

Kekacauan dalam pikiran kita dapat dibandingkan dengan badai yang menghantam perahu para rasul di danau Galilea ketika Yesus sedang terlelap tidur. Seperti mereka, kita dapat merasa tak berdaya, penuh dengan kegelisahan, dan tak dapat menenangkan diri kita sendiri. Tetapi Kristus dapat datang dan menolong kita. Setelah Ia menghardik angin dan danau, “maka terciptalah ketenangan”, Ia juga dapat menenangkan hati kita ketika diganggu oleh ketakutan dan kekhawatiran (Markus 4). Dalam keheningan kita percaya dan berharap kepada Tuhan. Sebuah mazmur menyarankan keheningan sebagai bentuk dari ibadah pujian. Kita sering membaca bagian awal dari Mazmur 65 yang berbunyi, “Bagi-Mulah pujian-pujian.”. Ayat ini mengacu pada terjemahan dari bahasa Yunani, namun sebenarnya jika mengacu pada bahasa aslinya, bahasa Ibrani, yang dicetak oleh kebanyakan Alkitab berbunyi, “Keheningan adalah pujian bagi-Mu, ya Tuhan.”. Ketika kata-kata dan pikiran tak terlanjutkan lagi, Tuhan dimuliakan di dalam ketakjuban dan kekaguman.

Pengalaman iman Sang Nabi

Bruder yang berusia masih produktif ini menuturkan dengan pertanyaaan reflektif. “Apakah Tuhan berbicara dengan suara yang kencang ataukah berbisik dalam keheningan? Contoh manakah yang harus kita ambil, dari orang-orang yang ada di bukit Sinai atau dari nabi Elia? Pilihan-pilihan ini mungkin saja salah. Gejala alam yang menakutkan berhubungan dengan pemberian Sepuluh Hukum Allah menegaskan betapa Allah bersungguh-sungguh dalam hal ini. Menyimpan atau menolak Sepuluh Hukum Allah adalah pertanyaan hidup atau mati. Melihat anak yang berlari ke depan mobil yang berjalan, adalah benar jika kita meneriakinya sekencang mungkin. Sama seperti para nabi yang menyampaikan Firman Allah dengan suara lantang di telinga kita.

Perkataan yang disampaikan dengan suara lantang tentunya membuatnya terdengar jelas dan menakjubkan. Namun kita juga tahu bahwa perkataan yang disampaikan dengan lantang jarang dapat menyentuh hati. Perkataan-perkataan yang disampaikan semacam itu lebih sering ditolak daripada diterima. Pengalaman nabi Elia menunjukan bahwa Allah tak ingin menakjubkan kita, Ia ingin kita mengerti dan menerima apa yang Ia katakan. Allah memilih “suara keheningan yang lembut” untuk berbicara. Ini adalah sebuah hal yang bertentangan: Allah berdiam diri namun juga berbicara

Keheningan akariah dari cara mendengar suara Allah

Ketika firman Allah menjadi “suara keheningan lembut”, maka akan lebih baik lagi jika kita dapat meperbaharui hati kita. Badai yang datang diatas bukit Sinai membelah bebatuan namun keheningan Sabda Allah dapat membuka hati manusia yang membatu. Untuk nabi Elia sendiri keheningan yang tiba-tiba mungkin terasa lebih menakutkan daripada badai dan petir. Penampakan kekuatan Tuhan dalam wujud suara kencang dan agung tampak sebagai hal yang lumrah baginya. Keheningan Allah membuat Elia bingung karena sangat berbeda dari apa yang ia pernah ketahui sebelumnya.

Keheningan menyiapkan kita untuk sebuah pertemuan yang baru dengan Tuhan. Di dalam keheningan, firman Allah dapat mencapai pojok-pojok yang tersembunyi dalam hati kita. Di dalam keheningan, ayat dari Ibrani 4:12, “lebih tajam dari pedang bermata dua manapun, menusuk amat dalam sampai memisahkan jiwa dan roh” (Ibrani 4:12). Di dalam keheningan, kita berhenti bersembunyi dari Allah dan terang Kristus dapat mencapai kita, menyembuhkan dan memperbaharui hal-hal yang membuat kita malu sekalipun.

Keheningan dan Kasih

Kristus berfirman, “Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu” (Yohanes 15:12). Kita memerlukan keheningan untuk menerima firman itu dan melakukannya secara nyata. Ketika kita gelisah dan resah, kita memiliki begitu banyak bantahan dan alasan-alasan untuk tidak memaafkan dan mengasihi secara sederhana. Namun saat kita “telah menenangkan dan mengheningkan jiwa kita maka alasan-alasan yang kita miliki sebelumnya tampak kecil dan tidak terlalu penting. Mungkin terkadang kita menghindari ketenangan dan keheningan, lebih memilih sesuatu yang ramai dan berisik, seperti kata-kata dan gangguan, karena keheningan batin adalah hal yang beresiko untuk membuat kita kosong dan tak memiliki apa-apa, kepahitan terurai dan memimpin kita untuk mampu menuntun kita pada penyerahan diri.  Dalam keheningan dan kesederhanaan, hati kita dilimpahi oleh Roh Kudus, dipenuhi dengan kasih yang tak menuntut syarat apapun juga. Keheningan adalah cara yang sederhana dan aman untuk mencintai.

Latihan Bersama Sebelum Berdoa Bersama

            Setelah membawa peserta yang hadir dalam bentuk katekese umat tentang makna terdalam dari doa dan Nyanyian Taize, semua peserta yang hadir ikut bernnyanyi dengan khidmat. Setelah itu selama satu jam dengan di iringi musik biola, gitar, flutz, Keyboard membuat umat terlarut di dalam lagu-lagu yang begitu indah dan merdu. Tampak yang hadir begitu khusuk dalam mengikuti doanya dan menjadikan pengalaman yang indah bersama Yesus terlebih di dalam masa Advent pertama menjadi sempurna mana kala lagu-lagu itu menyentuh hati semua umat yang berseru akan perdamaian.

Adapun komunitas yang ikut dalam doa dan nyanyian taize ini di antaranya: KRC, KGA, Asrama Putri Petrina, Postulan- Novis- SMFA dan SFIC, Para suster komunitas kaya & studi SMFA dan SFIC, Komunitas  Religius Rumah Sakit Antonius,  Para perawat dan bidan Antonius, Komunitas Jesus dan lain sebagainya.

Akhir Kata   

Semoga melalui doa ini memampukan umat tetap setia berjalan bersama Dia yang telah rela menaruh cinta  yang besar kepada umat-Nya di muka bumi ini guna mendamaikan kembali jiwa-jiwa yang berserak selama ini akibat dari rasa kebengisan sikap dan kerdilnya hati untuk mencintai sesama dan Allah yang empunya sumber Cinta Sejati. Apakah secercah Cahaya-Nya  mengundang “Romantika Cinta” sepanjang masa?