Thu. Dec 5th, 2024

Tulisan ini merupakan mengurai berbagai kisah di tahun 2020 baru dilewati. Beragam kisah itu, bukan jalan yang muluk-muluk dan mudah di lalui. Kita perlu behenti sejenak untuk melihat kembali pengalaman apa yang berkesan dan menyentuh hati.

Pengalaman PKP

Awal tahun 2020, bagiku bukan kisah yang romatis, tetapi kisah yang menantang sekaligus mengugah hati. Pada awal tahun 2020, saya baru saja menyelesaikan Pelayanan Karya Paroki [PKP] di Paroki St. Kristoforus Banyutemumpang, Magelang, Jawa Tengah. Pelayanan Karya Paroki kujalani selama satu bulan. Saya mendapat tempat di Stasi St. Fransiskus Xaverius Gantang, bertepatan di Gua Maria Ketenteraman.

Di Stasi St. Fransiskus Xaverius Gantang terdapat delapan [8] lingkungan. Yang bisa kami layani tujuh [7] lingkungan. Setiap dua atau tiga malam berpindah ke lingkungan lain. Lagi pula yang melayani PKP, dua orang, saya dan salah satu teman. Tentu kami berdua mengalami keterbatasan untuk melayani semua lingkungan. Sementara situasi umat setempat sangat sibuk. Mayoritas umat di Stasi St. Fransiskus Xaverius Gantang adalah petani sayur. Setiap hari mereka sibuk di kebun, sehingga sulit dijumpai setiap hari. Kami bisa bertemu pada malam hari.

Selama menjalani masa PKP, saya dan teman mengalami kesulitan dalam mengembangkan karya pastoral keluarga karena waktu yang terbatas. Kami menyadari bahwa kehadiran kami, pertama-tama untuk belajar perjuangan hidup bersama umat secara konkret, ikut bergulat bersama mereka. Kami menyesuaikan dengan waktu kerja umat setempat. Satu hal yang kami upayakan adalah kalau tinggal diam di rumah, tentu tidak menghasilkan apa-apa, “Kita harus keluar ikut bekerja bersama umat di kebun.

Katekese Kontekstual

Selama melakasanakan PKP kami mengupayakan untuk terlibat ke kebun bersama keluarga. Selama di kebun, kami ikut bekerja bersama, sambal sharing pengalaman. Ada satu pengalaman luar biasa, bagiku ketika mendengarkan pengalaman yang diceritakan oleh umat, dikatakan bahwa:

Kami harus berjuang bruder. Meski hasil kebun kami baik, kadang harganya semakin turun. Apalagi kalau hasil kebun kami kurang baik, rasanya tak bisa buat apa-apa, sementara penghasilan pokok kami dari hasil jualan sayur. Saat kami menghadapi kesulitan, kami tidak putus asa. Lanjutnya, kalau kami putus asa, mau buat apalagi. Kami belajar untuk sabar, tidak boleh putusasa, apapun yang terjadi. Tapi kami juga perlu belajar, kira-kira situasi pasar membutuhkan apa. Sekurang-kurangnya, kami bisa memenuhi kebutuhan pasar sehingga harganya bisa naik sendikit.

Apa yang bisa kubuat dalam menanggapi konteks sosial dan iman yang di alami oleh umat di stasi St. Fransiskus Gantang? Belajar dari kehidupan nyata [riil] yang dialami oleh umat. Keterbukaan umat mendapat perhatian dari tenaga pastoral, siapapun mereka [tenaga pastoral] harus mampu menyentuh karya nyata yang dilakukan oleh umat. Untuk apa? Ikut ambil bagian dalam kehidupan nyata bersama umat. Keprihatinan dunia adalah keprihatinan Gereja juga [GS 1], umat manusia maupun Gereja mengalami situasi dunia yang sama [GS 40], sejarah ilmu pengetahuan dan kebudayaan mewahyukan hakikat yang benar tentang pribadi manusia, oleh karenanya Gereja membantu dunia, sebaliknya menerima banyak dari dunia. Gereja menjadi sakramen bagi dunia [GS 45] Di mana ada ketidakadilan, di situ Gereja harus hadir [GS 89] demi kesejahteraan sosial [PP 82].

Belajar untuk menerima kenyataan dengan hati yang tulus. Dengan hati kita dapat melakukan dengan tulus, tanpa putusasa, mengeluh, khwatir, cemas dan lain sebagainya. Hatilah yang menentukan jiwa kita memiliki sikap pengorbanan bagi orang lain. Pengorbanan menuju kesejahteraan manusia sebagai ciptaan Allah yang istimewa. Oleh karenanya, kita tidak boleh memandang sebelah mata tentang usaha orang lain untuk bertahan hidup. Kita  ikut ambil bagian untuk ‘mencicipi’ [merasakan] apa yang dikerjakan oleh-orang yang berjuang untuk bertahan hidup.

Katekese kontekstual berangkat dari kenyataan hidup yang riil [pengalaman nyata] dalam hidup sehari-hari. Pengalaman itu perlu direfleksikan sebagai bagian dari pengalaman iman. Maka, sangatlah penting cara melihat, merefleksikan pengalaman itu sebagai pengalaman hidup rohani.

 Refleksi Akhir Kuliah

Masa kuliah menjadi bagian dari beragam kisah karena bertemu dengan teman-teman yang berlatar belakang yang berbeda-beda. Pengalaman perbedaan itu menjadi indah kalau dimaknai secara plural. Saya tidak mengisahkan secara konkret mengenai perjalanan kuliah, tetapi ada baik kalau point-point penting akan saya refleksikan dalam untaian refleksi ini.

Pertama, tak beda, maka tak indah. Perbedaan membantu diriku untuk memahami masing-masing pribadi teman-teman. Perbedaan semakin memperkaya pengalaman belajarku. Apakah perbedaan selalu menyatu? Tentu tidak juga. Selalu ada conflic. Konflik bukan secara fisik, tetapi lebih pada pemahaman akademik [proses belajar] dan social team. Meskipun perbedaan pemahaman, kami tetapi menyatu sebagai satu angkatan, tahun 2016. Prodi Pendidikan Keagamaan Katolik [Pendikkat] Universitas Sanata Dharma.

Kedua, proses belajar tidak berhenti. Belajar secara terus-menerus merupakan perjuangan masing-masing mahasiswa-mahasiswi. Kalau sudah masuk kuliah, dinamika belajar selalu menjadi usaha pertama. Belajar kutempuh dengan cara membaca buku, belajar dari teman-teman seangkatan atau dari teman-teman lain, belajar dari dosen. Belajar selalu kuperoleh ketika menghadapi kesulitan. Banyak teman-teman yang memberikan bantuan ketika saya mengalami kesulitan. Yang penting adalah terbuka dan rendah hati untuk bertanya serta menerima masukkan. Ini sangat penting kalau kita ingin menambah pengetahuan dan pengalaman.

Ketiga, tidak perlu merasa minder. Kebersamaan dengan teman-teman seperjuangan merupakan bangian yang sangat penting untuk berdinamika bersama. Setiap teman-teman memiliki kemampuan yang berbeda. Satu pengalaman kebanggan bagi saya adalah saling membantu [menolong] satu sama lain. Ini satu pengalaman kasih yang tanpa putus. Monolong adalah bagian dari cara kita memberi diri kepada orang lain.

Salah satu pengalaman yang mengesankan bagi saya adalah kami belajar bersama di biara Bruderan Alverna MTB Kotabaru untuk berdiskusi, hingga tengah malam. Teman-teman memiliki kesan tersendiri pada saat berdiskusi di komunitas Bruderan. Meski tidak setiap malam, tetapi kami bisa saling berdiskusi mengenai pokok materi kuliah hingga kisah-kisah romatis di tengah malam. Tapi nga apa-apa, sekedar pengetahuan saja.

Terus-terang saja, saya sangat bangga belajar bersama dengan teman-teman selama masih kuliah. Di saat saya sedang sibuk di komunitas, teman-teman sangat paham dengan situasi yang kualami. “Bruder pulang saja, nga apa-apa, biar kami kerjakan.” Kalimat ini memang sederhana, tetapi ungkapannya begitu tulus. Saya tahu bahwa teman-teman sangat mendukung dengan perjalanan panggilanku.

Keempat, menghidupi semangat doa. Selama kuliah, doa menjadi kebutuhan utama bagi kami, apalagi katekis. Doa perlu melekat dalam diri masing-masing mahasiswa-mahasiswi. Setiap pagi, sebelum dan sesudah pelajaran selalu diawali dengan doa. Setiap pagi diisi dengan bacaan dan renungan Kitab Suci.

Kelima, relasi yang terbuka. Pentingnya relasi terbuka, kepada siapa saja. Yang menyadarkan saya adalah indentitas panggilan yang melekat dalam diriku. Sebagai seorang religius [Bruder MTB], saya diutus untuk studi [belajar] agar dapat mengenmbangkan diri. Secara ideal terbersit dalam benakku, aku di utus oleh Kongregasi Bruder MTB untuk studi, maka aku harus berjuang memberikan kesaksian hidup sebagai Bruder MTB. Memang bukanlah hal mudah, namun saya yakin bahwa Tuhan tidak pernah memberikan diriku untuk berjalan sendirian.

Keenam, masa kuliah kujalani selama empat tahun [8 semester] sejak tahun 2016-2020. Sejak awal saya selalu mengatakan bahwa saya diutus oleh Kongregasi Bruder MTB untuk studi dan saya harus mempertanggungjawabkan tugas ini. Maka prioritas yang pertama dan utama bagi saya selama studi adalah belajar. Tidak berarti mengabaikan hal lain, misalkan hidup berkomunitas, hidup doa, persaudaraan. Saya rasa semuanya penting. Namun ada hal tertentu yang perlu secara bijak menentukan prioritas yang penting dan mendesak. Tentu belajar juga harus ‘melihat keberadaan dan identitas diri’ dalam hal ini tugas pokok sebagai religius. Prioritas perlu mengambil langkah strategis dalam menanggapi berbagai macam situasi. Pilihan mana yang perlu untuk ditentukan sehingga tidak banyak menimbulkan konsekuensi yang lain?

Memiliki spirit MTB

Ini menjadi catatan akhir dalam refleksi ini. Spirit kuperoleh sejak dalam masa pembinaan calon Bruder MTB. Ini tidak bisa hilang. Dalam arti apa yang menjadi semangat Kongregasi Bruder MTB yang diatur [dibentuk] dalam aturan hidup tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Kalau boleh saya katakan dijiwai oleh semangat dan cita-cita kongregasi berdasarkan semangat Maria sebagai Hamba dan spiritualitas St. Fransiskus Assisi.

Kepribadiaan yang dibentuk dengan spirit dapat membantu saya agar ‘tidak saja sekededar dipengaruhi’ oleh zaman, tetapi semangat karya cinta kasih. Maka, setiap pribadi para Bruder MTB berusaha menghidupi semangat karya pelayanan kasih. Pengalaman di atas mengingatkan saya pada pengalaman Bapa Santo Fransisksus Assisi dalam Nico Syukur [2000:39] yang mengatakan bahwa:

Ketika aku masih di dalam dosa, amat pahit rasanya bagiku melihat orang kusta. Dan Tuhan sendiri mengantar aku ke tengah-tengah mereka, dan aku telah menunjukkan belas kasihan kepada mereka. Dan ketika aku meninggalkan mereka maka apa yang dahulu pahit bagiku telah berubah bagiku menjadi kemanisan jiwa raganya [Wasiat 1-3]

Sebagai Bruder MTB, saya pun berjuang dalam melaksanakan tugas perutusan. Apakah semuanya berjalan dengan baik? Tentu saja tidak! Yang perlu dihidupi dan disemangati terus-menerus adalah sikap penyerahan diri pada penyelenggaran Tuhan. Berjalan bersama-Nya sebab Dia sesungguhnya lebih setia dalam melaksanakan karya pelayanan. Karya pelayanan yang menuntut pengorbanan; penderitaan hingga wafat di kayu salib. Itulah yang semesti menjadi teladan terus-menurus dalam perjalanan panggilan kita sebagai bruder MTB. Jiwa dan hati yang berpasrah pada kehendak-Nya.