Memandang “Salib San Damiano”yang “Berbicara” kepada Fransiskus muda, pikiran, perasaan terbawa ke masa ratusan tahun lalu. “Delapan ratus tahun yang lalu”. Mudah diucapkan namun tidak tahu bagaimana gambaran, bayangan dan angan-angan diposisikan. Salib yang tergantung pada altar bagian depan di Kapel Basilika Sta. Clara (Basilica di Santa Chiara dalam bahasa Italia) itu menantang setiap peziarah yang datang ke tempat makam pendiri Ordo Putri Miskin atau Ordo Santa Klara itu, seolah mengatakan: “Adakah engkau juga mendengar suara-KU” .
Pada tahun 1257 Salib berukuran tinggi 190 cm, lebar 120 cm dan tebal 12 cm itu di bawa para Suster Klaris dari biara di San Damiano (Biara pertama Suster Klaris) ke gereja San Giorgio (Basilika Sta. Klara sekarang) dan dengan cermat merawatnya selama tujuh ratus tahun sebelum dipertunjukkan untuk umum pada Minggu Suci tahun 1957. Dari “Salib” ini yang waktu itu terpasang di gereja San Damiano, Fransiskus memperoleh “inspirasi”, Rahmat dan kekuatan untuk “memperbaiki” Gereja.
Beruntung bahwa disekitar kita, selalu ada saudara/ sesama yang kepeduliaannya terhadap lingkungan sungguh memadai; menyelamatkan benda-benda atau coretan dengan melestarikan, memelihara, merawat dan menjaga. Mereka membebaskan diri dari nafsu untuk menggusur, merombak, menebang, membuang, mengganti atau menyingkirkan. Mereka memiliki dan mengembangkan “Roh pemelihara”. Ditangan mereka segala sesuatu menjadi semakin indah dan bermakna. Indah sebab memiliki perimbangan dan keselarasan; memberikan rasa senang bagi yang memandang dan terdorong untuk lebih mengetahui hal-hal yang tersimpan di dalamnya (merangsang syaraf rasa keingin tahuan). Bermakna karena mampu memberi rahmat dan berkah bagi diri sendiri dan orang lain/sesama; mulai dengan manfaat ekonomi / jasmani sampai pada manfaat rohani.
Demikian yang terjadi di Assisi, kota kecil di propinsi Perugia, wilayah Umbria, Italia, setiap hari kota itu dikunjungi banyak orang dari berbagai wilayah dunia, dari warna kulit atau tanda fisik dapat diperkirakan dari mana mereka datang; kuning langsat, hitam, putih, kemerah-merahan, mata sipit, rambut pirang, hidung mancung.
Dengan kereta api regional, kota berpenduduk sekitar dua puluh tujuh ribu jiwa itu dapat ditempuh dalam waktu kurang lebih dua jam tiga puluh menit dari Stasion Termini, Roma. Kereta api melaju menyusuri lembah diantara perbukitan dan berhenti sebentar di setiap stasion kecil; seperti Orte, Nera Montoro, suatu daerah pertanian dengan tanaman jagung dan berbagai jenis sayuran. (Tanaman jagung, sayuran seperti bit, kentang, bawang, sejenis wortel juga banyak ditemukan di daerah pertanian luas antara Schiphol dan Huijbergen Belanda); kemudian Narni, Terni yang letaknya berdekatan; dengan rumah-rumah penduduk di perbukitan. Sebagian wilayah ini mirip-mirip pegunungan di Nagekeo daerah Flores. Stasion selanjutnya Giuncano (baca:”Gianco”), Spoleto, Spello, Tervi kemudian Foligno. Beberapa kali terlihat dari jendela kereta, tanaman anggur di wilayah antara Spoleto dan Spello. Itu beberapa tempat yang sempat terlihat dan tercatat dari tempat duduk dalam kereta api yang melaju, beberapa kali diluar terlihat gelap karena melalui terowongan bawah tanah; kota-kota lain terlepas dari pengamatan atau tak terpantau. Sebelum terminal akhir dari rute perjalanan hari itu jum’at, 23 September 2011; tampak di arah sebelah kanan deretan bangunan, rapi tertata di lereng sebuah bukit, dengan beberapa menara menjulang melebihi rata-rata ketinggian bangunan. “Itu kota Assisi”, begitu teman seperjalanan, memberitahu. Tidak lama kemudian dari balik jendela kereta; terbaca kata Assisi. Stazione Assisi. Sebagian penumpang; laki-laki, perempuan, remaja, paruh baya; dengan ransel di punggung turun di stasiun ini.
Kereta melanjutkan perjalanan.
Kami melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki. Burung-burung kecil, sebesar burung pipit, riuh menyambut kami dari rerimbunan daun pohon-pohon pelindung jalan di sisi kiri dan kanan jalan.Beberapa menit berjalan kaki kami tiba di gereja “Maria Dei Angeli”, menunggu bus arah kota Assisi. Pukul 15.00 waktu Italia, atau pukul 10.00 pagi waktu Indonesia saat kami menunggu. (Kami berangkat dari penginapan “Casa La Salle” Roma pukul 09.00. Dari penginapan itu berjalan kaki cepat-cepat melalui lorong bawah tanah, naik turun eskalator panjang atau naik/turun tangga panjang juga; sebanyak tiga kali selama kurang lebih 20 menit – sangat padat; masing-masing diam dan bergegas – menuju terminal Cornelia yang juga terletak di bawah tanah, untuk selanjutnya dengan kereta menuju terminal induk Termini. Dari terminal Carnelia ke Termini melewati stasiun berturut – turut: Baldo D. Ubaldi, Valle Aurelia, Cipro, Ottaviano, Lepanto, Flamino, Spagna, Barnerini, Repubblica kemudian Termini. Diperlukan waktu kurang lebih tiga puluh menit saja untuk melewati stasion-stasion tersebut; beberapa menit tiba di stasion berikutnya, berhenti sebentar, penumpang turun, berangkat lagi; padat penumpang dan sebagian besar berdiri dan berpegangan pada tiang-tiang atau sabuk pegangan).
Bus menuju terminal “Piazza Unita D’Italia” dekat pintu gerbang “Porta S. Francesco” dan “Porta S. Pietro” salah satu sisi luar pusat kota Assisi. Kota Assisi dikelilingi oleh tembok dengan delapan Porta/Pintu. Sebelah selatan “Porta S. Francisco, Porta S. Pietro, Porta Del Sementone, Porta Moiano; sebelah timur Porta Nuova, Porta Cappuccini; sebelah utara Porta Peruci dan Porta S. Giacomo.Kami masuk melalui pintu S. Francisco menuju biara “Suore Francescane Dei Sacri Cuori Oasi di Preghiera “P. Simpliciano”, jl. Borgo Aretino, 12 06081 Assisi, tempat menumpang beberapa hari selama di kota Assisi.
Dari teriminal itu kami berjalan kaki menuju penginapan.
Jalan mendaki, beberapa saudara tertinggal di belakang, melepas tas gendong sebentar sambil mengatur nafas. “Wisatawan” (baca: peziarah) ditemui di sepanjang perjalanan, mereka juga berjalan kaki searah atau berlawanan arah, bertemu disetiap persimpangan, dalam kelompok besar, kelompok kecil, beberapa orang atau ada juga yang sendirian. Seluruh bukit Assisi penuh dengan bangunan dan lorong-lorong di sisi-sisinya. Lorong-lorong jalan itu menuju ke kedai asesoris atau menuju ke kedai minum. Tertata rapi dan bersih. Bagian yang kosong terisi tanaman pelindung atau tanaman hias. Indah Bagian tertentu yang tidak ada bangunannya atau tidak dilalui jalan menjadi kebun tananam “olive” (Olea europaea), tanaman berkayu keras, rendah, berdaun kecil warna kebiru-biruan. Buahnya kecil (sebesar buah mlinjo). Buah mentah berwarna hijau terang dan berubah menjadi ungu kehitaman setelah masak. Tanaman ini telah ada tiga ribu tahun sebelum Masehi. Oleh karena itu terkenal juga dengan sebutan buah purba. Berbunga pada musim semi, panen pada musin gugur sampai musim dingin, dipanen dengan menggoyang-goyangkan batang pohon, buah yang masak akan jatuh pada tikar yang telah dihampar sebelum batang pohon digoyang.Buah diolah menjadi minyak Olive yang kaya manfaat. Di Indonesia terkenal dengan nama minyak zaitun. Harganya mahal. Tanaman olive tumbuh baik di negara-negara Mediterania seperti Italia, Perancis, Spanyol, Maroko dll.
Matahari sudah merah, awan lembayung menyapu langit cerah di atas menara-menara bangunan ketika kami tiba di kota yang didirikan sekitar tahun 300 sebelum masehi itu. Kota tua, terkenal di seluruh dunia, kota kebanggaan orang Italia, kota istimewa karena telah melahirkan enam orang suci (Santo dan Santa), dengan Sto. Fransiskus Assisi dan Sta. Clara yang paling populer.
Dengan berjalan kaki kami mengunjungi beberapa peninggalan “Para Suci”; orang-orang yang memberi contoh dan teladan bagaimana seharusnya merawat “Hidup berahmat” dan memperlakukan “Peninggalan berahmat” yang tersebar di kota Assisi. Basilica Di S. Francesco, Rumah Bapak Pietro Bernardone dan Dona Pica; orang tua Fransiskus (tempat Fransiskus dilahirkan), Basilica Di S. Chiara, Basilica Di S. Maria Degli Angeli, Biara awal Suster Klaris San Damiano dan Santuario Di Rivotorto. Tempat-tempat lain kami pandangi dari halaman Basilika Sta. Clara seperti Rocca Maggiore, Cattedrale S. Rufino, Rocca Minore. Bangunan – bangunan bersejarah itu terlihat jelas karena letaknya di atas perbukitan atau di lembah sebelah sana; jauh. “Indah seperti dalam lukisan”. Di sebelah kiri Basilika Sta. Clara ini pula pandangan hinggap di pucuk-pucuk olive, terbang bersama burung-burung merpati melayang mengitari menara-menara gereja, kemudian mendarat di hamparan lembah Umbria.
Halaman Basilika Santo Fransiskus Assisi penuh dengan pengunjung, pada papan peringatan di sebelah kanan pintu masuk terpasang rambu-rambu bagi pengunjung untuk tenang, tidak boleh menghidupkan hp, tidak boleh mengambil foto, pakaian sopan. Antri masuk. Di dalam sudah penuh. Di salah satu sisi ruangan sedang ada persiapan Ekaristi, beberapa rombongan duduk tenang, kelompok lain mengamati lukisan dinding dengan alat pendengar tersambung di lubang telinga (dapat mendengarkan arahan pemandu tanpa menimbulkan suara berisik), kelompok lain menuju ruang bawah, kelompok lain lagi atau beberapa peziarah kelihatan seperti berdoa, berlutut pada bangku-bangku yang mengahadap sebuah altar, menutup wajah dengan kedua tangan, khusuk. (Situasi ini berlaku atau terlihat di seluruh tempat peziarahan; Gereja, Basilika, Kapel). Monumen ini terletak di atas bukit, mulai dibangun pada tahun 1228, arsiteknya bruder Elia Bombardone, salah seorang pengikut pertama Fransiskus. Oleh para Fransiskan, Basilika ini disebut “Bunda Gereja”. Di bagian bawah disemayamkan jenazah St. Fransiskus yang dipindahkan dari Basilika Sta. Clara pada tanggal 25 Mei 1230 bertepatan dengan pesta Pantekosta. Makam itu terletak di salah satu ujung dari sebuah ruangan memanjang seperti kapel pada posisi altar, pengunjung dengan tenang dapat berjalan mengelilinginya, di kiri dan kanan makam Sto. Fransiskus terdapat makam sdr. Rufino, sdr. Angelo, sdr. Maseo dan sdr. Leo. Pengunjung berdesakan, tidak berbisik, bergantian masuk berlutut menundukkan kepala seperti sedang berdoa. Para peziarah itu dapat membawa pulang lilin yang sebelumnya dinyalakan di altar yang terletak di bagian depan makam Sto. Fransiskus. Lilin-lilin itu dibeli pada pintu masuk makam, ditaruh di altar, petugas akan menyalakan lilin kurang lebih lima menit, kemudian di ganti dengan lilin berikutnya, sementara lilin menyala, pemiliknya berdoa.
Basilika bagian atas di bangun tahun 1239 dan selesai 1253.
Seniman termasyhur; Cimabue dan Giotto memenuhi dinding bagian dalam dan langit-langit bangunan gaya gothik Italia dengan lukisan – lukisan indah tentang Fransiskus. Setiap kali terdengar suara “sssssst, calma, non importa affatto” dari pengeras suara polisi penjaga ruang, kalau pengunjung sudah mulai ribut. Atau kata “jangan membuat foto” Basilika Sta. Clara terletak dekat dengan penginapan kami. Di Basilika ini disemayamkan jenazah Sta. Clara, pendiri Ordo Putri Miskin yang sekarang disebut Ordo Santa Clara. Jenazah Sta. Clara itu ditemukan pada 23 September 1850, setelah enam abad dalam pencarian. Makam terletak di bagian bawah tanah, selain makam tersimpan pula pakaian – pakaian awal Suster – suster Sta. Clara, buku Brevir Sta. Clara.
Para peziarah tertegun memandangi makam Sta. Clara, membuat tanda Salib, memejamkan mata dan menunduk pada “Wanita pemberani” ini. Tidak dapat berlama-lama di tempat ini karena lorongnya sempit dan pengunjungnya berjubel.Salib San Damiano asli yang bikin dunia heboh itu, dan berusia delapan ratus tahun lebih itu diletakkan di atas altar Kapel; menantang. Salib ini terletak di bagian atas, di bagian kanan setelah kita masuk dari pintu utama Basilika ini. Para peziarah dapat mengikuti Ekaristi di tempat ini dengan para Suster Klaris (di sisi lain dan tidak terlihat).Gereja Porziuncola itu kecil, untuk belasan orang sudah penuh, terletak di dalam dan di bagian tengah dari sebuah Gereja besar. Gereja Santa Maria Degli Angeli (kl. 4 km dari Basilika Sto. Fransiskus) yang dibangun pada tahun 1568 oleh Paus Pius V dan baru selesai pada tahun 1684; dengan tujuan melindungi dan sebagai tempat bagi peziarah yang akan berdoa di gereja kecil itu. Disamping gereja kecil itu, arah kanan ke depan, Kapel Transito/Transitus (tempat Fransiskus wafat); lebih kecil dari Porziuncola; berbentuk kotak persegi yang besar, menempel di dinding. Di antara kedua gereja kecil itu sebuah altar besar dari gereja besar, dan di tempat itu setiap jam diadakan peryaan Ekaristi Kudus.dihadiri oleh umat dari berbagai negara, selalu penuh. Pada awalnya Porziuncola adalah sebuah kapel milik Benedictin yang telah lama ditinggalkan, Fransiskus memperbaiki dan merawat, dan di tempat itu diperolehnya “rahmat”.Melalui sisi sebelah kanan kami menelusuri lorong kecil, melalui Sakristi, ruang/kamar permohonan (di dalamnya terserak kertas-kertas yang bertuliskan permohonan/doa yang dilemparkan oleh peziarah, juga terlihat kepingan-kepingan mata uang euro di antara kertas-kertas itu).
Di ujung perjalanan terdapat toko assesoris, Salib Tau, Gambar, patung dan buku-buku tentang Sto. Franiskus, skapulir dll.( Kepingan mata uang euro ini paling banyak dapat di temukan di kolam Trevi Fountain /air mancur Trevi di Roma. Sebuah air mancur yang airnya bersumber dari air Acqua Vergine / Perawan, dengan patung-patung indah dan di bagian tengah dari patung-patung itu terdapat Patung Neptunus /Dewa Samudra yang sedang menunggang kuda sembrani. Di tempat ini ada kepercayaan siapa yang melempar koin uang ke kolam itu pada suatu ketika akan kembali ke Roma).Jalan-jalan di Assisi dibangun menggunakan potongan-potongan batu keras dengan meminimalkan penggunaan aspal. Kuat dan rapi. Demikian pula tembok dari gedung-gedungnya; disusun dari potongan-potongan batu dengan perpaduan warna tenang/kalem. Nampak megah artistik. Bangunan-bangunan bersejarah seperti San Damiano (Kl. 1,5 Km dari Assisi). Tempat ini merupakan biara Suster Klaris awal; masih dapat disaksikan kapel, refter, tempat doa para suster klaris tempo awal. Demikian pula Gereja RivoTorto, Sungai Torto; sungainya masih ada sampai sekarang, tanpa air, dan dua buah pondok kecil dari batu ( terletak di dalam bangunan Gereja). Salah satudari pondok itu tempo dulu digunakan sebagai tempat tidur Fransiskus.
Perjalanan “bermakna” Fransiskus dimulai dari “Suara Salib San Damiano”, benda mati buatan seniman asal Umbria pada abad ke dua belas; benda itu mampu menggugah hati Fransiskus yang sampai saat ini masih terus dicari maknanya oleh jutaan orang. Dalam perjalanan ziarah hidupnya Sto. Fransiskus kemudian menemukan suara Tuhan dari matahari, bulan, api, ranting,tumbuh-tumbuhan dan batu. Juga dari makhluk seperti burung, anjing galak atau dari manusia terbuang/kusta.Fransiskus menemukan suara Tuhan dari benda dan makhluk yang langsung bersentuhan dengan hidupnya. Fransiskus memiliki kemampuan “mengolah rasa” dan “mengasah kepekaan” hingga mampu mendengarkan maksud Allah melalui benda serta makhluk yang dikirim atau datang kepadanya. (Bahan dari berbagai sumber dan pengalaman langsung perjalanan ke kota Assisi) oleh: Br. B. Sukasta,MTB