Prakata
Merawat dan memeluk kesederhanaan adalah sebuah ungkapan spontan penulis sebagai tema saat pertarungan bathin dalam menghayati Trikaul yang makin hari makin bergeser maknanya dari seruan Injili di zaman kekinian. Maka dalam tulisan ini, penulis hanya untuk berbagi rasa tentang apakah sebenarnya hidup bruder itu susah ga sich dalam menghayati kaul kemiskinan, Ketaatan dan Kemurnian? Atau jangan-jangan ini hanya wacana saja para pendahulu. Dengan pertanyaan lebih telisik dan kritis lagi apakah itu hanya sebuah janji di hadapan umat atau sebagai politik identitas diri dari identitas panggilan lain dalam Gereja Katolik? Karena nyatanya justru kaum awam yang lebih menghayati kemiskinan/kesederhanaan bila diteropong secara harafiah dan memang itu nyata dan realistis di zaman ini. Dan ini hanya hipotesis sementara, karena belum ada penelitian yang valid dalam pertanyaan tersebut. Jadi tulisan ini, hanya sekedar refleksi saya sebagai bruder MTB dan tidak lebih dari itu. Jadi bukan melanggar maskud dari seruan Yesus dalam Injil tetapi hanya sebagai protes bathin saat tergiur dengan mengintip godaan-godaan di arus zaman ini yang penuh dengan kejutan. Terima kasih dan syukur kepada Allah kalau ada orang lain yang bisa memberi tanggapan tentang panggilan seorang bruder di mata awam saat ini. Di sini penulis menyoroti kaul kemiskinan dan secara nyata dihayati sebagai pola hidup kesederhanaan.
Dalam rangka mempersiapkan kapitel umum 2017, Kongregasi Bruder Maria Tak Bernoda (MTB) mengadakan rekoleksi dua hari dalam beberapa bulan sesuai jadwal yang ditentukan oleh dewan kongregrasi MTB. Para bruder MTB yang menyebar di wilayah Keuskupan Agung Semarang, Pontianak, Sintang, Sanggau dan Merauke masing-masing menyediakan diri dengan mendalami tema perdana “Penghayatan hidup “Kesederhana/kemiskinan” dalam Identitas Bruder MTB” di zaman kekinian. Sedangkan tema kapitel 2017 “ Dengan Penuh Harapan Menuju Masa Depan Kita” yang akan diselanggarakan di Indonesia pada tanggal 25 Juni -2 Juli 2017 dan di Belanda tanggal 17-23 September 2017.
Para saudara yang berdomisili di Keuskupan Agung Semarang, sudah melaksanakan dan mendalami tema tersebut, pada tanggal 25-26 Februari 2017 yang berlangsung di Novisiat MTB Yogyakarta. Rekoleksi ini dipandu langsung oleh Provinsial Br. Gabriel Tukan, MTB dan Br. Bernad Sukasta, MTB. Berbagai pengalaman yang dialami oleh para saudara dalam menghayati “Hidup Kesederhanaan” ternyata cukup susah untuk mendalami dan menjalaninya secara utuh. Namun dalam identitas diri sebagai Bruder MTB, yang terpanggil dengan menghayati spiritualitas Fransiskus Assisi, setidaknya nampak dalam cara dan gaya hidup sehari-hari baik yang dilihat secara nyata maupun ungkapan /perasaan langsung dari letupan bathin pribadi sebagai jalan untuk menemukan identitas diri Bruder MTB saat ini.
Pertanyaan refleksi dari provinsial sangat menarik untuk memicu pergumulan bathin secara jujur di hadapan Allah dan sesama dalam menjalani panggilan hidup ini. Pertanyaan ini seakan-akan memetakan kedalam diri pribadi saya sebagai seorang bruder, terutama identitas diri yang mungkin seringkali hanya wacana atau imajinasi yang berlebihan tentang kesederhanaan, sehingga dalam menjalaninya hanya bayang-bayang semu. Namun ribuan jendela diluar diri saya, banyak yang meneropongnya dengan mata bathin. Cara menakar dengan takaran penghayatan kesederhanan baik oleh sesama saudara sekomunitas, mitra di tempat karya, para pegawai ataupun umat yang memang mengenal betul siapakah bruder MTB itu sungguh suatu masukan untuk para pengikut Yesus saat ini. Dan secara jujur dan sadar, potret awam saat ini, tidak hanya menelanjangi penghayatan kaul-kaul saya, tetapi justru membebaskan saya dalam menjalaninya tanpa terikat dengan belenggu jiwa yang mematikan saya untuk melayani orang lain sesuai peran dan fungsi saya dalam berkarya. Hal ini tidak menakutkan kritikan dan kepedasan kata-kata yang tajam di telinga, bila mendengar omongan orang yang sangat ekstrim tentang penilian kesederhanaan religius dewasa ini, yang sudah jauh dari esensi kaul-kaulnya. Bagi saya, apabila saya menjalani pada jalan yang benar dan pada koridor yang tepat, saya tetap enjoy saja sebagai bruder MTB.
Interview dan Pemetaan Bathin
Pertanyaan-pertanyaan refeleksi pribadi, setidaknya membantu saya, seorang bruder yang tidak luput dari kerapuhan diri sebagai manusia biasa. Maka pertanyaan sederhana sesekalipun terkadang menyiksa diri untuk bertarung dengan bathin sendiri. Pada hal sebenarnya terjawab, saat merekam jejak pengalaman seputar diri menjadi lawan bicara baik ketika diri memposisi sebagai subjek panggilan maupun obyek bathin saya sendiri. Maka yang tahu keadaan pribadi adalah diri saya sendiri dan justru untuk menilik wilayah yang terdalam ini, membutuhkan metode refleksi dan kontemplasi pribadi. Pertanyaan yang menggugat pribadi: Apakah saya berbahagia, senang optimis di dalam hidup dan tugas perutusanku sehari-hari sebagai bruder MTB? Bagaimana usaha saya untuk membuat hidup panggilan saya sebagai bruder semakin bermakna saat ini dan memberi harapan untuk masa yang akan datang? Apakah masa depan hidup sebagai bruder kiranya akan sangat ditentukan mutu cara hidup dan mutu dalam menjalankan tugas perutusan saya saat ini?
Seputar pertanyaan di atas, penulis akhirnya menyerah dan harus membuat peta garis sejarah panggilan bersama Allah sejak masuk dan bergabung dalam bruder MTB. Saya harus menimbang neraca antara panggilan sebagai bruder atau panggilan lain yang sama-sama melayani untuk kebutuhan Gereja saat ini. “Sangat berat bro” Bathinku saat itu ketika tentang peta sejarah bersama Allah dalam menjalani panggilan hidup ini. Maka musuh saya yang paling kuat adalah diriku sendiri. Aku tenggelam dan galau bersama Dia. Apakah aku menyesal karena tidak bahagia menjadi bruder? Eitt…. jangan dulu bro.. dan jangan terburu-buru memberi pernyataan yang menyesahkan bathin dengan memburu jawaban spontan dengan logika radikal diri. Pastikan dulu dan petakan lagi sejarah bersama Allah dan mau bawa kemana langkah hidupku selanjutnya. Inilah arena demam dan alergi bathin saat diam dan berbicara tentang diri sendiri. Dan mungkin Dia di atas sana, tersenyum dan bertanya balik “ Bertolaklah lebih dalam lagi untuk mencari mutiara yang belum membahagiakanmu?. Sungguh teruji mata bathinku untuk memotret pada fase dimana saya harus mengandalkan seutuhnya pada Dia.
Baper dan Curhat Saudara Kelana
Aku tidak sendirian dan ternyata curahan hati (curhat) dari sesama saudara sepanggilan, meringankan langkahku untuk bersama Dia. Bawa perasaan (baper) justru mengkerdil jiwa dalam melangkah dan berlayar ke samudra panggilan hidup ini. Seperti apa kata mereka, di sini penulis merangkum tentang pengalaman penghayatan pola hidup “kesederhanaan” dalam perspektif bruder Yunior, MTB yang sedang dalam perutusan studi di Kota Yogyakarta.
Bruder Neri, MTB, menungkapkan pengalamanya bagaiman gejolak bathinya saat dia berperang bathin untuk merawat kesederhanaan itu sendiri sejak mengenal MTB. Putra kelahiran Sekadau ini, melihat kesederhanaan itu tidak hanya semata-mata secara lahiriah. Virtualisasi kesederhanaan dalam diri seorang bruder, tidak mencerminkan seorang bruder menghayati dan menjalani kaul kesederhanan. Sebagai mahasiswa yang kuliah bersama awam, tiap hari saya tetap menjaga dan menghayati diri saya dalam pola hidup sederhana. Saya tidak terjebak dengan godaan yang ada di sekitar saya. Itu hanya percikan yang bisa diatasi sendiri. Menurut Mahasiswa IPPAK USD Yogyakarta ini, yang paling nyata dilihat adalah kepekaan dan kepedulian seorang bruder dalam melihat fenomena di sekitar dirinya. Melayani dengan tulus ihklas sesama bruder dan tidak bersungut itu saja sudah berjuang mati-matian. Yang paling konkret sehari-hari adalah tutur kata /penuturan kata dan sikap sebagai ungkapan bathin diri seorang bruder yang real dan nyata dalam dirinya. Neri pun, cukup tertantang ketika menulis skripsi tentang “Relevansi Penghayatan Kaul Kemiskinan Bruder MTB,” dimana topik ini sangat dekat dengan nilai-nilai pola kesederhanaan Bruder MTB saat ini.
Penuturan bathin calon katekis di atas, didukung oleh ungkapan Bruder Mikael. Dengan jujur dia menyatakan bahwa tidak muda menghayati kesederhanaan di zaman ini. Sejak di postulan kita diajarkan untuk hidup sederhana. Kesederhanaan itu harus nanmpak dalam melayani sesama saudara. Menurut Bruder periang ini, kita mempunyai Anggaran dasar, Konstitusi dan Statuta sangat indah untuk kita jalani sebagai pengikut Fransiskan. Kita juga sudah paham dalam peraturan hidup bersama, mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Tetapi sebagai manusia yang rapuh dan lemah terkadang susah dijalaninya. Terkadang kita menuntut berlebihan kepada komunitas dan kongregasi apa saja kebutuhan kita. Apakah hal itu, saya sudah menghayati kesederhanaan? Apakah ini sebuah tuntutan dan menuntut orang lain sederhana untuk bisa seperti saya hayati. Jadi jujur, bahwa terkadang kita menjalani tidak orisinil. Masih kelabu dan semu dalam diri kita. Sharing mahasiswa PGSD USD Yogyakarta ini dengan terbuka.
Merawat dan memeluk Kesederhanaan
Br. Ferdi, MTB menghayati kesederhanaan lewat cara menggunakan dan merawat barang-barang komunitas dengan penuh tanggung jawab. Kita merasa memiliki sarana dan prasarana yang ada di komunitas, dan bukan menjadi milik pribadi. Inilah salah satu bentuk penghayatan saya sembari mencintai pekerjaan yang sederhana demi menjalani dan memaknai hidup itu sendiri. Hal ini secara konkret dapat diwujudnyatakan bagaiman cara kita merawat motor, sepeda, komputer serta perabot lainnya dengan tulus dan gembira, yang mendukung kehidupan bersama. Ideologi ini didukung oleh Br. Anton bahwa kesederhaanan itu masih eksplisit. Menurut pandangan Mahasiswa FKIP Bahasa Indonesia USD ini, kita tidak jangan terjebak dan tidak terlalu muluk menjalaninya, hanya satu kata kunci “peka” akan kebutuhan sesama saudara di sekitar kita. Seringkali hanya sebagai viral belaka saat tema itu, diskusikan bersama dalam hidup berkomunitas. Namun nyatanya, masing-masing tiap pribadi belum bisa menerima dengan pasrah bahwa sesungguhnya Allahlah yang menjadi andalah hidup kita. Bukan nilai-nilai lahiriah yang sifatnya sangat sementara dalam hidup ini. Sebab hidup ini bukan akhir dari sebuah tujuan tetapi sebuah perjalanan. Pungkas pencinta lingkungan hidup ini dengan tegas saat itu.
Pengalaman kesederhanaan tersebut ternyata sangat kompleks, amat kreatif dan variatif dalam memaknai dan menjalaninya. Karena berdasarkan pengalaman dari para saudara kelana di atas, secara peribadi penulis tidak ada ruang yang bisa membantah dan menolak karena itu pengalaman keseharian seorang bruder. Maka Br.Boni juga menganalogkan kesederhanaan itu melalui potret/profil orang lain di sekitarnya. Ada orang hidupnya sederhana dan pakaianya biasa-biasa saja dan tidak menyangka dia orang pintar dan cerdas. Sepertinya penampilan itu, tidak penting bagi dia. Selain itu mahasiwa prodi Akuntasi USD Yogyakatara ini, mengutarakan bahwa tidak bisa membantah bahwa kederhanaan itu jangan terlalu naïf dan lebaylah, dalam menghayatinya. Sebab seringkali terjebak soal penampilan lahiriah dan ini bukan aspek yang utama dalam menjalani kesederhaan itu sendiri. Intinya mengandalkan segalanya kepada Yesus apa yang menjadi visi-misi dan tujuan panggilan hidup kita.
Akhir Kata
Di akhir dari sharing persaudaraan ini, Br. Provinsial menegaskan kembali bahwa jangan lupa kita harus berkiblat ke motto pendiri kita “Simpliciter et Confidenter (Kesederhanaan dan Kepercayaan). Motto ini dapat diwujudnyatakan dalam hidup sederana dan jujur di hadapan Allah dan sesama. Sikap siap sedia sperti Bunda Maria dalam perutusan. Merasa tidak memiliki karena itu barang yang kita pakai dari ujung kaki sampai kepala, semuanya milik Allah yang dijewantahkan lewat kongregasi. Maka mari kita mulai lagi, karena kita belum berbuat apa-apa. Sebaliknya Br. Bernad Sukasta selaku anggota Dewan Kongregasi, mengatakan bahwa selain yang disharingkan oleh teman-teman muda, bahwa saya melihat kita masih pada masalah komunikasi juga mejadi penting dalam hidup bersama. Bagaimana bahasa yang sederhana membuat sesama saudara paham dan tidak teralieanasi satu sama lain atau terasing dalam kehidupan bersama . Bahasa simbolik dan methabahasa yang digunakan harus mudah dipahami oleh teman bicara sebab di situ juga muncul sikap rendah hati dan rethorika berbicara yang dinamis dan saling berintraksi satu sama lain. Selain itu nampaklah bahwa kita tetap mengutamakan adalah menghargai satu sama lain sebagai manusia yang martabat. Kemudian baru disapa sebagai saudara. Ujar ketua YPSB ini dengan mantap disaat itu. Semoga.
Artikel ini pernah dimuat di majalah Rohani edisi/thn 2018