Di tengah badai pandemi covid 19 yang melandai secara menggelobal, para bruder MTB tetap menjalankan rekoleksi akhir tahun dengan mengikuti protokokol kesehatan. Rekoleksi ini merupakan agenda tahunan khusus bagi para pimpinan komunitas (Piko). Seusai rekoleksi pimpinan umum Bruder Rafael MTB, membuka termin khusus bagi para piko untuk mengevaluasi hidup berkomunitas, doa dan karya serta membahas anggaran hidup bersama. Kegiatan tersebut, berlangsung di Wisma Immaculata dari tanggal 6 -7 Desember 2020.
Tantangan Piko di Zaman Milenial
Pastor Elent SVD, sebagai pendamping rekoleksi menegaskan bahwa tema tentang diskursus pelayan dan melayani kaum religius sudah usang di zaman milenial ini. Akan tetapi, tetap seksi, eksis, dan dinamis. Dimana disaat semua orang berlomba-lomba menjadi pemimpin hanya untuk mencari status, relasi kuasa dan prestise, tetapi para religius tetap berkomitmen sebagai pelayan Tuhan. Lanjut imam asal Manggarai ini menegaskan bahwa para bruder MTB dalam wacana pelayan bukan hanya sampai pada soal merenung dan merefleksikanya saja, akan tetapi sudah diwujudnyatakan dalam karya kerasulan mereka tiap hari, baik para bruder yang melayani di karya pendidikan, sosial, pastoral maupun di bidang karitatif lainnya”. Ujar penyuka lagu rohani ini dengan mantap.
Ditegaskan lagi bahwa seturut cita-cita serta meneruskan warisan semangat pendiri maupun bruder pioner dengan bernafas spiritualitas fransiskan, menawarkan salah satu cara yang nyata sebagai pelayan adalah melalui karya kerasulan nyata dalam bidang pendidikan (formal &nonformal), asrama, sosial dan lain sebagainya. Melayani para murid, guru, karyawan dan patner karya MTB sudah nyata dijalankan untuk membantu mencerdaskan martabat manusia’. Kata pastor kelahiran Wetik Manggarai- Flores ini dengan lantang. Lanjut pastor Elent, meskipun diberbagai kegiatan ret-ret ataupun rekoleksi seperti ini, terkadang begitu statis dan mendayu kedengaranya, namun kita diajak oleh narasi klasik Ilahi bahwa sudah sejak dipanggil dalam hidup membiara kedua kata ini (baca: ‘pelayan’ dan ‘melayani) merupakan sikap dasariah untuk menjadi pengikut Kristus secara utuh dan totalitas dengan hati gembira. Tantangan di zaman ini adalah apakah kita tetap setia menjalani hidup sebagai bruder MTB dengan tulus melayani sesama di komunitas sekaligus disemat secara utuh sebagai pelayani sejati?
Trilogi kekhasan dalam diri seorang Pelayan
Panggilan menjadi religius (bac;biarawan/i) merupakan panggilan ‘spesial’. Mengapa? Karena kita dipanggil secara khusus oleh Alllah untuk menaruh perhatian pada pelayanan kepada sesama dengan meninggalkan segala-galanya. Letak panggilan khusus ini menjadi spesial yaitu “hidup enjoy” suka cita penuh sebagai pantulan mengikuti Kristus dengan bebas dan bahagia tanpa steress apa lagi bergelisah tanpa arah.
Dalam waktu yang sama, Pastor Elent mendeskripsikan bahwa untuk memompa semangat identitas kita dengan panggilan lain adalah mempunyai wilayah khusus. Pastor yang yang ditahbis 1992 ini membahaskannya dalam tiga ruang yang disebut dengan ‘Trilogi kekhasan dalam diri seoarang pelayan’. Yakni: pertama, mengikuti Yesus yang “spesial”. Artinya menghidup panggilan tersebut, dengan diikat oleh sebuah janji/nazar diri melalui ketiga kaul (Kemiskinan, Kemurnian dan Ketataan). Kemiskinan dihayati sebagai cara hidup kosong ,tidak memiliki apa-apa dan tidak terikat serta tidak merasa memiliki. Selain itu dalam penghayatan kaul kemurnian, selain tidak kawin dan nikah dengan lepas bebas dan hati murni serta tulus dalam melayani sesama. Tidak membuat tempat kelas-kelas sosial yang mengganggu kemurnian hati dalam melayani. Sedangkan kaul ketaatan diwjudnyatakan taat pada Allah yang direpresentasikan pada pemimpin kongregasi, piko, koordinator unit karya dalam hidup berkomunitas dengan tidak menciptakan budaya resistensi dalam setiap perutusan karya.
Kedua, sebagai Piko (baca: pelayan) wajib membasuh kaki. Dalam Injil Yohanes 13:1-20 mengisahkan bagaimana Yesus membasuh kaki kedua belas muridNya dengan penuh wibawa, khidmat, dan lepas bebas. Pembahasuhan kaki ini sebagai simbol seorang pelayan yang rendah hati. Sebagai Piko diharapkan melayani para anggota komunitasnya untuk membersihkan kelemahan dan kerapuhan yang merusak nilai-nilai persaudaraan atau persekutuan. “Banyak piko merasa kecewa ketika anggotanya hidup diluar dari koridor aturan komunitas. Sebaliknya banyak anggota muda mundur dari persaudaraan karena selalu berkontrakdisi dalam perbedaan gagasan/wacana didalam melayani persaudaraan”. Sharing salah satu piko dari salah satu komunitas MTB dengan nada kecewa.
Ketiga, ‘Kasih’ sebagai dasar dalam pelayanan. Piko juga manusia biasa. Tidak pernah luput dari segala kekurangan sebagai manusia yang rapuh dan tak berdaya. Maka kata’kasih’ sebagai dasar untuk menguatkan dan kompas untuk melayani sesama saudara komunitas. Pastor Elent mengharapkan agar para piko MTB senantiasa melayani para anggota komunitasnya dengan penuh kasih. Seperti Yesus sendiri Ia senantiasa mengasihi murid-muridNya dengan penuh tulus dan totalitas. Ia melepas jubah kebesaranNya. Dengan penuh kasih Ia masuk ke titik terendah dalam melayani hingga mencium kaki para murid yang sangat tersentuh bagi siapa saja yang memahami narasi kisah dalam Injil Yohanes 13:4-5 tersebut. Memahami pelayanan dengan penuh ‘Kasih’ diharapkan semua yang mempunyai peran dalam hidup berkomunitas ia rela “membasuh kaki” para saudara sekomunitas. Jabatan, relasi kuasa, kelas sosial, dan politik identitas seringkali menjadi penghambat bagi piko untuk mau melayani para anggotanya. Piko menjadi tantangan tersendiri bila hal ini sulit dilaksanakan karena ‘kasih’ seringkali didahului niali-nilai kemanusiaannya yang masih melekat dalam dirinya. Misalnya: keegoisan, dendam, tidak rendah hati, dan meremehkan nilai persaudaraan.
Diakhir rekoleksi ini para piko diberi beberapa pertanyaan untuk direfleksikan secara mendalam dalam menghayati sebagai pelayan dalam komunitas, yakni: (1)seperti apa kekuatan hatiku setia pada Yesus? (2) Apa yang mendasari tindakanku dalam membasuhi kaki atau dalam melayani sesama saudara di komunitas selama ini? (3) Seperti apa pelayananku kepada kongregasi selama ini? Tiga rangkai pertanyaan tersebut, oleh pemateri rekoleksi menyimpulkan dalam refleksi buku harian St.Faustina dan Mother Teresa Kalkuta dengan mengedapankan nilai-nilai refletif kesaksian hidup yang nyata. Kisah kedua tokoh ini juga didukung oleh semangat nilai-nilai dalam konstitus MTB dan semangat spiritualitas Fransiskus Assisi. ***