I. PENDAHULUAN
Kisah sejarah Indonesia sejak kolonial sampai pada pascakolonial, sangat menarik bagi para sejarawan, wartawan, budayawan hingga para turis manca negara untuk mengkaji sejarah Indonesia. Mereka mendeskripsikan Pulau Indonesia menurut perspektif dan keilmuan mereka baik dalam bidang politik, ekonomi maupun budaya. Demikian juga Jones menulis tentang Indonesia sesuai dengan latar belakang kehidupannya. Ia sebagai jurnalis dan pendidik mempunyai narasi yang khas tentang Indonesia. Hal ini juga diakui oleh Taylor:
“I believe that the past consists of facts about people and processes that are knowable and verifiable and that interpretations select and suppress facts according to the personality and moral judgments of each historian. Every writer has an agenda that emphasizes one class or one gender or one region. Individual authors may have an aptitude for economic or technological history, or a fascination with individuals in their settings. My approach to Indonesian histories grew out of an early interest in the meeting of Indonesian and Dutch in Asian settings. That interest led into other pasts and times before and since those encounters.”
(Saya percaya bahwa masa lalu terdiri dari fakta-fakta tentang orang-orang dan proses yang dapat diketahui dan dapat diverifikasi, dan bahwa interpretasi memilih dan menekan fakta sesuai dengan kepribadian dan penilaian moral dari masing-masing sejarawan. Setiap penulis memiliki agenda yang menekankan satu kelas atau satu jenis kelamin atau satu wilayah. Penulis individu mungkin memiliki bakat untuk sejarah ekonomi atau teknologi, atau daya tarik dengan individu dalam pengaturan mereka. Pendekatan saya untuk sejarah Indonesia tumbuh dari minat awal di pertemuan Belanda dan Indonesia dalam konteks Asia. Ketertarikan itu membawa ke masa lalu yang lain, dan yang lain-lain lagi sebelumnya, dan sejak pertemuan itu)
Jadi Taylor percaya bahwa setiap penulis dapat menginterpretasi fakta tentang peristiwa yang terjadi di Indonesia sesuai dengan kepribadian dan penilaian moral dari masing-masing sejarawan. Maka setiap penulis mempunyai agenda tersendiri dengan gaya bahasa maskulin maupun feminim sesuai daya tarik dan bakat mereka dalam merekam peristiwa sejarah Indonesia di era paskolonial sekaligus nilai yang terselubung (Hegemoni).
Dalam tulisan ini secara khusus penulis menyoroti tulisan Howard Parfrey Jones dalam buku yang berjudul “Indonesia: The Possible Dream.” (Indonesia: Mimpi Yang Memungkinkan).” Kisah yang ditulis oleh Jones bergaya “Naratif Expriencial yakni: melaporkan pengalaman aktual yang dia rasakan dan alami selama menjadi duta di Indonesia pada periode 1958-1965 dalam bentuk kronik. Tentu saja tulisan Jones ini menurut hemat penulis, bukan sekedar laporan semata bahwa Jones sebagai seorang dutawan, tetapi juga sebagai bentuk pertanggungjawabannya di hadapan pemimpin negara dan rakyat Amerika. Salah satu laporannya adalah kejadian-kejadian yang nyata tentang apa yang terjadi di Indonesia semasa dia bertugas sebagai delegatus yang sangat berpengaruh dalam “relasi kuasa” antara Indonesia dan Amerika saat itu.
Selain itu dalam buku tersebut, penulis ingin meninjau lebih dalam lagi dan membahas lebih lanjut atas buku yang telah menjadi bahan presentasi penulis dalam perkuliahan yang sudah berlangsung saat itu. Adapun tujuannya adalah agar penulis dapat mengisi ruang kosong dari tulisan Jones tentang Indonesia pada masa dia sebagai Duta yang cukup bergensi dan berharga bagi bangsa Indonesia dan Amerika. Maka muncul pertanyaan yang menggelitik bagi penulis yaitu: tentang sikap pemihakan Jones untuk kepentingan laporanya sebagai Duta AS untuk Indonesia, yang dapat mempengaruhi orang Amerika agar percaya kepadanya tentang perkembangan Demokrasi di Indonesia.
Di sisi lain kekaguman terhadap alam, geografis dan kebudayaan Indonesia menjadi sumber promosi dan memancing hasrat kepentingan negaranya dengan muncul politik hegemoni yang dapat disebut sebagai neokolonisme ketiga bagi Indonesia. Hal ini dapat dilihat awal tulisannya pada bagian pertama bab 1, 2 dan 3 melukiskan pesona Indonesia yang begitu indah di matanya dengan gaya kosmis-ekologis dengan kekuatan bahasa spiritual sang pendidik. Namun, jika dibaca lebih mendalam Jones hanya memberi asumsi yang berlebihan dan kecendrungan untuk mendekatkan keberhasilan dia sebagai duta demi taat pada penguasa atau yang paling berpengaruh saat itu. Inilah alasan penulis memberi judul dalam paper ini: “PERJALANAN INDONESIA BELUM BERAKHIR PADA SEBUAH MIMPI”
Bagi penulis, Jones tidak hanya membuat narasi pengalaman pribadi tentang Indonesia, tetapi lebih kepada titik yang paling penting, yaitu hubungan AS dan Indonesia yang dibungkus dengan agenda lainnya. Maksud agenda lainnya, yaitu kisah-kisah Indonesia mulai sejarah kuno, zaman penjajahan, dan naik turunnya karier pejabat Indonesia semenjak kemerdekaan Indonesia. Agenda tersebut tentu saja membuat Amerika mempunyai nilai terselubung. Namun, tampak dalam cara mereka memguasai alam pikiran pemerintah Indonesia.
Berdasarkan uraian dan penuturan dari peristiwa yang ditulis oleh Jones, menurut penulis kisah yang ditawarkan oleh Jones sangat menarik dan bernas untuk diwacanakan dari perspektif penulis sebagai pembaca di era paskakolonial. Mengapa demikian? Karena apa yang dituangkan oleh isi hati seorang duta merupakan catatan penting bagaimana sebuah bangsa merangkak dari jurang kekacauan dan ditulis oleh sebagian besar para ahli sebagai kekalahan komunisme, berhasil menakluk pemimpin Indonesia. Kisah ini paling dramatis dalam sejarah, yaitu menolak sebuah aliran asing dan menyangkal seorang pemimpin yang berkharisma dan memperbaharui komitmennya untuk kebebasan dalam membangun kembali negara yang hancur.
Maka tidak heran berulang kali, orang Amerika bertanya kepada Jones apa mungkin Indonesia mengklaim dirinya menjadi sebuah bangsa? Negara yang memiliki ribuan pulau sudah dijajah oleh Belanda selama 350 tahun namun tidak merasakan apa arti kebebasan dan kemerdekaan dalam hidup. Kata “bangsa” begitu mudah disebut, tetapi mahal dan butuh perjuangan. Benarlah apa yang dikatakan oleh Anderson dalam bukunya bertajuk “Imagined Communities” artinya tidak beralasan kalau bangsa Indonesia masih disebut sebagai komunitas-komunitas terbayang. Indonesia seolah diberi pemaksaan kata: “Bangsa” (Nation) sebagai hadiah dari negara AS dan sekaligus untuk bisa diakui oleh Internasional dan memukul perasaan bagi Belanda yang merasa terhina oleh Amerika karena wacana dan ideologinya mampu menunduk alam pikiran pemimpin Indonesia. Untunglah Soekarno tidak terjebak dalam pemikiran tersebut.
Melihat pernyataan tersebut dapat dikatakan bahwa kesulitan orang Amerika dalam menghadapi pemahaman tentang suatu bangsa seperti Indonesia adalah sebagian hasil dari fakta bahwa mereka tidak pernah menggali secara mendalam warisan budaya. Sejujurnya dapat dikatakan bahwa Amerika dan Indonesia mempunyai kekayaan budaya. Indonesia dan Amerika mencoba menampilkan secara padu, saling meminjam dan saling menyempurnakan dalam hal beragama dan berbudaya yang umurnya lebih tua dari negara lain. Kekuatan aspek budaya dan agama ini masing-masing memiliki dasar yang sungguh berbeda dalam sejarah perjalanannya. Kedua aspek inilah menjadi menjadi kekuatan dalam relasi yang lebih manusiawi bukan karena kepentingan ekonomi dan politik yang semu.
Berdasarkan fakta-fakta di atas, bagi penulis, Amerika sebenarnya jangan melihat kebudayaan Indonesia hanya sekedar bayangan saja, tetapi budaya Indonesia harus dapat dilihat dari sistem politik dan warisan kehidupan sosial masyarakat. Kebudayaan ini sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat Indonesia meskipun dari sumber yang berbeda, yaitu dari peradaban Jawa kuno, Budha dari India dan Asoka, dan juga dari hukum manusia sejak pada kerajaan besar Sriwijaya, Majapahit, dan juga dari ajaran nabi Muhammad.
Amerika harus menyadari bahwa hal yang paling mencolok berkaitan dengan evolusi ideologi kedua negara ternyata sudah berlangsung dalam 200 tahun terakhir yakni sejak tahun 1776. Maka, dapat dikatakan bahwa sebenarnya Amerika telah menjadi tuan rumah untuk mengatur nasib mereka sendiri, bebas untuk mengatur warisan budaya mereka dalam membentuk masyarakat dan hampir tidak ada intervensi dari belahan dunia manapun. Namun, selama 200 tahun yang sama, Negara Indonesia secara keseluruhan berada di bawah budaya asing .
Peristiwa sejarah Indonesia perlu diingat bagi generasi penerus bangsa. Dalam jangka waktu yang pendek sekitar 20 tahun sejak Indonesia memperjuangkan kemerdekaannya dan menemukan kesuksesan pada tahun 1949, masyarakat Indonesia telah mampu mengarahkan dirinya pada tugas yang besar. Tugas ini salah satunya adalah mengerahkan energi AS sendiri untuk 200 tahun terakhir, menempa kembali politik, ideologi dan budaya ke dalam identitas nasional yang unik. Akankah perjalanan nasib Indonesia selanjutnya hanya berorientasi pada wacana dari negara power yang penuh dengan fantasi dalam memandang Indonesia saat itu?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, selanjutnya penulis, memaparkan pembahasan tentang pokok pemikiran tulisan Jones sebagai akariah dari persoalan yang terjadi di masa itu dari wacana pembaca lokal (Indonesia).
II: POKOK PERMASALAHAN
Pada bagian pendahuluan, penulis telah mendeskripsikan tentang berbagai wacana persoalan yang terjadi di Indonesia hingga sampai pada “Politik hegemoni.” Menurut penulis, Negara Amerika dapat dikatakan mempunyai “agenda terselubung” dalam menterjemahkan tentang tulisan Jones yang sudah didokumentasi selama beliau menjadi duta di Indonesia. Agenda tersebut, justru menjadi beban moral bagi Jones dalam menyampaikan ideologinya tentang Indonesia. Sebagai wartawan dia berdiri pada posisi netral dan membiarkan publik untuk menterjemahkan tulisannya. Saat membicarakan masalah ini di historiografi pascakolonial, penulis merasa bahwa ada keresahan dan kegelisahan untuk membongkar tulisan tersebut, berdasarkan penelusuran sejarah dari kolonialisme.
Dari gagasan tersebut, muncul pertanyaan bagi penulis sendiri, apakah valid dalam mengkritisi sebuah peristiwa yang aktual dalam buku tersebut? Sebab dalam tulisan Jones sendiri tidak melampirkan daftar pustaka sebagai pendukung tulisan ilmiah. Namun, bagi penulis data-data selama 8 tahun di Indonesia yang sudah dirangkum oleh Jones dengan jelas dan akurat, tentu saja merupakan informasi yang sangat aktual dari seorang sejarawan dan antropolog lain, yang sudah mencatat dalam bentuk kronik tentang Indonesia. Data-data inilah sebagai pendukung tulisan Jones.
Dari gambaran di atas maka penulis menggarisbawahi persoalan dalam tulisan Jones yaitu:
Amerika Serikat pada masa pemerintahan Presiden Eisenhower mulai gusar dengan kondisi politik di Indonesia yang menunjukkan pergerakan komunis. Hal ini ditandai dengan PKI yang berhasil meraih suara keempat terbesar pada Pemilu pertama tahun 1955.
Pemerintah AS yang saat itu masih dalam pengaruh suasana perang dingin, tetap mengkonstruksi arah pandang mereka pada blok barat dan timur. AS menganggap Indonesia berada pada posisi yang penting, secara geografis dan politis, akan menguntungkan negara-negara blok barat secara ekonomis. Berbagai kepentingan yang mendukung AS secara ekonomis, diantaranya minyak, gas, timah, kina, berada di Indonesia. Oleh karena itu, sangat penting bagi AS agar Indonesia tetap berada di bawah kepemimpinan negara-negara barat yang dekat dengan AS. Maka, penting bagi AS menggiring dan memastikan agar Indonesia tidak condong pada kekuatan komunis.
Maka dari pola pemaparan di atas, penulis melihat, Jones mendeskripkannya secara struktural, apa yang terjadi di lapangan bahwa setelah percobaan kudeta kelompok komunis Muso 1948 di Madiun berhasil digagalkan. AS begitu senang dan merasa bahwa anggapannya selama ini hanya sebuah ketakutan semata jika Indonesia dan para pemimpinnya adalah komunis. Apakah dugaan itu hanya semata-mata menjadi tameng Amerika karena ketakutan apabila Soekarno tidak mau menjadi mitra yang solid dalam membangun sebuah bangsa?
Akan tetapi, ketakutan itu muncul kembali setelah hasil Pemilu 1955, PKI mendapatkan suara keempat terbesar. Animo masyarakat yang memberikan kepercayaan suara pada PKI dianggap suatu perkembangan yang membahayakan. Kecenderungan Soekarno lebih percaya dan simpatik kepada negara Soviet dan Cina, Menurut AS adalah petunjuk bahwa Soekarno makin condong ke arah komunis. Beberapa pemberontakan mulai muncul di Sumatera ketika berkembangnya perjuangan komunis di Indonesia di era Soekarno saat melawan AS dalam politik kekuasaan saat itu. Dari peristiwa ini penulis melihat bahwa konsistensi Soekarno tetap berjalan dalam pemikiran orang Indonesia dan tidak terjatuh dalam jebakan negara yang yang peradabanya sudah maju dari Indonesia.
Beberapa catatan tersebut semakin menguatkan penulis dalam memahami gaya penulisan Jones yang begitu terperinci dan detail tentang peristiwa di saat itu. Narasi ini pun merupakan sebuah kronik dan menjadi sebuah dokumen bersejarah ketika digali dari historio pascakolonial dan tentu saja membantu melihat kejadian-kejadian serupa yang di kembangkan oleh Jones tentang catatan kelamnya pada masa Soekarno dalam memimpin Bangsa Indonesia setelah lepas dari Belanda dan kekaguman spiritualitas pemimpin yang heroik dan transfomatif.
III. PEMBAHASAN
Pada bagian pendahuluan telah dibahas secara singkat tentang persoalan Jones dalam menulis tentang Indonesia. Sedangkan pada bagian pokok permasalahan, dipaparkan oleh penulis dengan mendeskripsikan dua pertanyaan yang mendasar dari tulisan Jones. Selanjutnya pada bagian ini, penulis secara khusus akan membahas tiga (3) hal pokok sebagai salah satu kekuatan dan keutamaan tentang Indonesia di hadapan rakyat Amerika sekaligus mendukung pengalaman Jones sebagai duta Besar Indonesia pada era Presiden Soekarno di antaranya: (A) Situasi Pasca Kemerdekaan Indonesia. (B) Negoisasi ke Negara Komunis dan (C) Ketidakharmonisan Relasi Indonesia Antara Amerika dan Malaysia. Berikut ini penulis akan membahas dengan model deskriptif –analistis.
Keadaan Indonesia Pasca Kemerdekaan
Penulis melihat, bahwa Indonesia menjadi contoh yang utama dalam interaksi kekuatan sejarah, budaya, politik dan ekonomi yang kompleks, baik secara internal maupun eksternal pascakolonial. Ketidakpedulian dengan hal tersebut, akan membawa negara Indonesia pada pengambilan keputusan yang fatal. Maka dalam situasi bagaimanapun peran pemimpin sebuah bangsa menjadi ruang untuk mengambil setiap keputusan dengan mempertimbangkan dari berbagai aspek yang mendukung dalam membangun sebuah negeri.
Namun, dalam praktiknya ternyata Soekarno dengan segala kemampuan dan ambisinya sebagai Presiden pertama RI, menentukan sebuah alternatif untuk menerima konflik internal di negeri Indonesia. Masalah ini, tidak hanya dari segi politik untuk mengeksplorasi dan memahami tekanan sosial – ekonomi yang menjadi sumber konflik, tetapi dapat menjadi akar yang kontras dalam budaya masyarakat. Rakyat Indonesia pun mendambakan sebuah negara yang berdemokrasi terpimpin. Andaikan penulis berada pada Soekarno akan menjadi dilematis dalam tekanan politik yang berbahaya baginya.
Maka penulis, merasa senang akan kejujuran Jones dalam mengungkapkan: “sangat menarik berbicara tentang Indonesia.” Menarik, maksudnya karena banyak sekali persoalan yang dihadapi Indonesia ketika kolonial angkat kaki dari tanah Indonesia. Kisah sejarah Indonesia ini menunjukkan perlunya definisi tentang tujuan dalam menangani sebuah negara di Asia, dan perlu kekuatan dalam mengejar tujuan-tujuan tersebut. Demikian juga sebaliknya perlu mempercayai dengan akal sehat. Mereka yang tergolong rakyat biasa yang disesatkan oleh pemimpin mereka, pada akhirnya hanya mempertahankan nilai-nilai yang paling dihargai oleh diri mereka sendiri. Pendapat inipun sangat positif untuk Indonesia dalam penuturan Jones.
Berangkat dari pernyataan tersebut, penulis melihat bahwa Indonesia menampilkan sebuah gambaran totalitas yang berbeda dengan Negara-negara di Asia Tenggara, dengan sendirinya mempunyai potensi menjadi kekuatan utama di Asia. Kita tahu bahwa Indonesia adalah negara keenam paling padat setelah Pakistan. Indonesia wilayah yang strategis dan kaya akan sumber daya alam yang belum tereksplorasi. Sumber daya alam yang masih dalam konflik adalah masalah minyak. Masalah ini menjadi poros perputaran masa depan bangsa-bangsa Asia tenggara. Maka, Amerika memiliki peran untuk bermain di Asia. Bagi Jones perdamaian tergantung, apakah kita berperan dengan baik atau buruk. Maka pelajaran bagi bangsa Indonesia adalah harus memiliki kualitas yang berbeda untuk menghadapi berbagai persoalan yang terjadi di benua yang bermasalah dalam era pascakolonial.
Dari ungkapan tersebut, dapat dikatakan bahwa itulah harapan Jones untuk membagi pengalamannya kepada publik secara khusus kepada orang-orang Amerika, terutama bagi mereka yang pernah berkorban dengan pertumpahan darah dan hartanya yang telah hilang di Asia umumnya dan khususnya juga bagi Indonesia sendiri.
Negoisasi ke Negara Komunis
Pada bagian ini, dalam tulisan Jones, penulis menggambarkan hubungan antara Indonesia dan negara lain di Asia dan Amerika berawal dari Soekarno diundang untuk berpidato di Amerika. Adapun situasinya sebagai berikut: Soekarno merendah diri di hadapan publik Amerika. Dia begitu kagum atas situasi demokrasi di Amerika yang sungguh nyata beliau rasakan saat itu. Soekarno menceritakan bagaimana perjuangan Indonesia selama 350 tahun dijajah oleh bangsa kolonial. Soekarno memuji demokrasi di Amerika yang sangat nyata melihat kekompakan rakyat Amerika.
Salah satu pendengar memuji pidato Soekarno. Pidatonya salah satu yang terbaik yang pernah dibuat oleh politikus yang berkunjung di Amerika. Pada saat Soekarno pidato ada juga yang sinis terutama mahasiswa dari Indonesia yang belajar di Amerika. Mereka bingung dengan kata “Demokrasi Terpimpin”. Pidato Soekarno terdengar begitu dramatik bahkan menjadi berita utama dari semua berita di seluruh dunia karena kata-kata “demokrasi terpimpin”. Menurut Jones alasannya sederhana Soekarno pandai mencuri perhatian banyak Negara.
Dalam catatan Jones, setelah Soekarno dari USA, pergi ke Cina sebelum kembali ke Indonesia, beliau selalu disambut dengan antusiame terutama oleh Soviet dan Cina bahkan Washington yang sangat mengharapkan kedatangan Soekarno ke negara mereka. Julukan Soekarno adalah pemimpin Asia yang berwarna. Pada tanggal 28 oktober 1956, Soekarno mengumumkan bahwa akan memutuskan hubungan terhadap semua partai politik. Empat bulan kemudian Soekarno membuat saran baru untuk membuat kabinet gotong royong sebagai representatif semua partai diparlemen dan tidak ada partai selain hanya kabinet Gotong Royong .
Dari kisah di atas, Jones memperlihatkan beberapa persoalan yang akan dihadapi oleh Soekarno setelah berkunjung ke negara Unisoviet dan Cina. Menurut Jones, permasalahan akan terjadi ketika Indonesia mulai kehilangan arah menjadi figur pemimpin. Soekarno menghadapi tantangan baru dalam membangun Indonesia ke demokrasi terpimpin. Adapun persoalan yang mucul di antaranya: Ideologi Soekarno dilawan oleh masyarakat, menyerbu Malaysia, survey dari United Nation meleset, ketidakharmonisan hubungan Amerika dan Indonesia, dan Soekarno berkeinginan untuk diakui oleh dunia. Dan hemat penulis ,sikap pemetaan bathin Soekarno tertanggu oleh relasi yang dicuriga AS secara berlebihan. Seolah-olah Soekarno tidak boleh bergaul dengan negara lain. Inilah salah satu kesombongan AS. Jones tidak menulis secara terang-terangan akan ambivalen As dalam bersikap. Bagi penulis, hal ini tetap tetap menjaga kewibawaanya sebagai duta yang cukup professional dalam menulis peristiwa Indonesia saat itu.
Ketidakharmonisan Relasi Antara Amerika dan Malaysia
Pada bagian ini, penulis melihat, Jones dalam membahas tulisannya nampak sangat membanggakan Kennedy. Presiden Kennedy mau membantu Indonesia (Soekarno) dengan cara apapun agar lari ke arah yang mereka inginkan. Indonesia menuduh kegagalan ekonomi Indonesia disebabkan US yang tidak memenuhi perjanjian tentang mengimbangi bantuan pembayaran. Akhirnya, di tahun 1963 menjadi tahun yang paling buruk untuk hubungan Indonesia dan US. Dan penulis sepakat akan pendirian teguh dari Soerkarno dari neokolonialisme As untuk Indonesia.
Soekarno merasa negara yang kaya dengan sumber daya alam seperti Indonesia tidak akan jatuh dalam hal ekonomi. Soekarno mengatakan “Kami tidak menerima bantuan dengan ikatan terselubung jikapun ada kami akan bilang, persetan dengan bantuanmu.” Pernyataan ini menuai kontroversi di seluruh USA. Akibatnya, PKI mulai digerakkan dengan menyerang Manifesto, sesuai perjanjian yang sudah ditanda tangani oleh lebih dari 500 orang. Maka mulai saat itu, terbentuklah aksi-aksi Anti-American dan memblokir majalah-majalah US, dan lain sebagainya. Indosia menjadi asing bagi As saat itu.
Komunitas-komunitas diplomatis dibentuk grup kecil pejabat-pejabat asing, untuk membahas tentang rumor-rumor, informasi, isu yang tidak benar dan menyesatkan, bertujuan untuk meluruskannya ke publik. Muncullah sebuah pertanyaan bagaimana Jones bisa mempertahankan hubungan baik dengan Soekarno? Di sini Jones mengungkapkan dan menjawab pertanyaan tersebut dengan baik karena dia mempercayai Soekarno. Jadi kepercayaan itu menjadi mahal karena dirundung suasana yang tidak kondusif saat itu.
Dari peristiwa tersebut, menurut penulis semua tindakan yang dilakukan Soekarno mempunyai visi dan misi yang jelas untuk bangsa Indonesia walaupun ada sekelompok masyarakat yang memandang bahwa “Ideologi” Soekarno mengarahkan ke komunisme. Namun, tersirat bahwa Soekarno melakukan demikian karena cintanya yang begitu besar pada negara dan rakyatnya. Semua usaha dilakukan oleh komunitas ini untuk memberi pencerahan pada dunia tentang keadaan Indonesia dan tentang Soekarno sesungguhnya .
Setelah kemerdekaan, Soekarno bingung. Pemimpin yang berkharisma ini meminta dukungan dari Cina dan US untuk memberi kemungkinan Indonesia berideologi pola komunis. Secara tersirat dia adalah Marxisme Indonesia. Masalah begitu kompleks dan reaksi antara bangsa-bangsa dan unsur-unsur masyarakat. Sejak 1963 sampai akhir Agustus 1964, selalu menjadi ilustrasi yang menarik. Jones menulis bahwa keingianan Soekarno meruntuhkan Malaysia secara berlahan-lahan untuk memperoleh pengakuan dari dunia dan Asia Afrika.
Menurut pernyataan Jones, bahwa Jones sendiri melihat tidak membedakan bahwa Soekarno selalu komunis dan tidak ada keinginan membuat negara Komunis. Lanjut Jones, mensharingkan bahwa Soekarno itu orang “Pragmatik” dan dia hanyalah menjadi korban dari prasangka emosionalnya. Saat itu, Soekarno keluar dari anggota PBB, Soekarno dihakimi oleh Malaysia dan PBB. Keputusannya meresahkan tokoh dunia lebih-lebih para pemimpin Asia dan juga masyarakat Indonesia. Selain itu, dalam situasi lain Soekarno menyatakan bahwa selama demokrasi terpimpin dapat menyimpulkan PKI hanyalah partai Politik untuk mendukung ambisinya dalam mempersatukan Rakyat Indonesia. Jones membahas masalah ini dengan penuh cermat, yaitu sebenarnya Soekarno mempunyai keyakinan hanya satu “Partai Nasionalis” yang muncul di Indonesia. Dari waktu ke waktu Soekarno berada dijalur lemah dalam kepemimpinannya untuk RI dan kurang menyemangati “Partai Nasionalis”
Akan tetapi dalam pidatonya menyerang AS dan mengidentifikasikan dirinya dalam ideologi Komunis khususnya dengan Cina. Soekarno menuduh Amerika dan CIA-nya yang menginstruksi BPS untuk membunuh Soekarno karena Amerika takut pada komunis. Tekanan yang melawan Amerika memuncak dengan adanya demonstrasi di Jakarta dengan slogan Take..over: serahkan! Ambil alih kepemilikan karet di Sumatera, ambil alih gedung Konsulat di Surabaya, stop penjualan gas dan listrik kepada AS. Dalam situasi yang sama di awal 1965, ada konflik antara kelompok komunis dengan Muslim Jawa Timur di bagian Sumatra. Sebelum Jones meninggalkan Jakarta, Jones berusaha lagi untuk melihat perselisihan Malaysia yang melibatkan Soekarno dan Tunku Abdul Rahman. Jones melihat tujuan potensi dari beberapa saran yang berisi tentang penarikan pasukan Inggris dari Serawak dan Sabah. Bagi Malaysia akan mengalami kesukaran apabila penduduk di Malaysia Timur memisahkan diri dari Malaysia dan itu akan membawa Soekarno berhasil menguasai karena berkaitan dengan Kalimantan Timur.
Selain itu, fenomena ambisius yang terjadi di Indonesia semakin memecahkan pandangan para pemimpin dalam menyatukan bangsa. Perubahan itu terlambat. Dualisme dalam kepemimpinan pemerintah terjadi. Soeharto, tentara yang ditunjang oleh angkatan laut dan politik moderat. Sedangkan Soekarno, Soebandrio, dan PKI didukung oleh pimpinan angkatan udara. Mengamati situasi ini, perlunya tindakan terkoordinasi secara efektif dan dengan dorongan tentara muda Indonesia mengorganisir diri dalam dua kelompok besar, Kesatuan AKSI MAHASISWA INDONESIA dan Kesatuan AKSI Perhimpunan-Perhimpunan INDONESIA. Organisasi ini memainkan peran utama dalam pembersihan besar-besaran dari partai komunis dan membantu menciptakan iklim politik yang dimungkinkan bisa memberi dukungan yang kuat bagi kekuasaan Soekarno.
Pada 18 Oktober 1965, pemerintah mengumumkan larangan PKI di wilayah Jakarta. Anggotanya diperintahkan untuk menyerah di pos polisi atau pos militer terdekat. Pada 24 Oktober 1965 pada hari yang sama, SOBSI dilarang, semua anggota komunis parlemen yang temporal dihentikan atas instruksi dari penguasa militer. Pada bulan November, masyarakat, pemuda-pemuda dan kepala pimpinan tentara mulai mengeluhkan keterlambatan untuk menyingkirkan Soekarno. Jones mengatakan belum pernah ada kesempatan bagi komunisme apapun untuk bertahan hidup di Indonesia.
VI: PENUTUP
Beranjak dari paparan pada pendahuluan, pokok permasalahan dan juga pada bagian pembahasannya, penulis di bagian penutup ini akan menyimpulkan secara umum dari tulisan Jones dengan tidak melepas maksud dari Jones menulis buku ini kepada pemerintah dan rakyat Amerika.
Penulis sekaligus sebagai pembaca, meninjau kembali tulisan Jones. Pada akhirnya, penulis tenggelam dalam sebuah pemikiran strukturalisme bahwa untuk mencatat peristiwa “Historio Pascakolonial” sebenarnya bermuara pada keronik-kronik dan dokumen yang dicatat oleh Jones secara terperinci baik soal waktu maupun tempat. Relasi AS dan Indonesia memiliki pengaruh yang besar dalam kisah tersebut dan tidak kalah menarik juga peristiwa yang tidak terlewatkan begitu saja kekagumanan Jones terhadap Soekarno secara pribadi, yaitu pemimpin yang berspiritual dan humanis.
Menurut Jones, pemberi semangat pada bagian dari seluruh rakyat Indonesia untuk membentuk identitas nasional adalah faktor yang paling penting dalam hubungan Indonesia dengan Amerika. Sebuah bangsa akan menjadi maju dan kuat apabila keduanya saling mendukung dan meneguhkan dalam memecahkan sebuah persoalan kemanusiaan, terlepas dari sikap Amerika yang ambivalensi antara ingin menguasai alam atau mengharapkan pemimpin dan rakyat Indonesia tunduk pada ideologi yang hasratnya terlampau ekstrim bagi budaya Indonesia sendiri. Walaupun motivasi fantasinya ingin membantu Indonesia dari jajahan Belanda dan Jepang, akhirnya terkuak juga pada ide yang menghancurkan Indonesia. Bukan hanya pemimpin yang terasing, tetapi juga rakyat Indonesia merasa mengalami kemunduran jauh dan terasing dari kemajuan peradaban saat itu, oleh karena sikap Amerika yang ambiguitas dengan cara “politik bahasa” AS kepada bangsa Indonesia.
Dari gagasaan di atas, muncul sebuah guagatan hati penulis, apakah Indonesia akan mampu memecahkan masalahnya, memberi makan rakyatnya, dan memainkan peran yang tepat dalam dunia bebas ini, sangat tergantung pada apa yang dilakukan oleh orang Amerika. Dunia tidak bisa tampil setengah miskin dan setengah kaya. Jurang pemisah antara negara berkembang dan tidak berkembang dari tahun ke tahun semakin besar. Jones mengungkapkan bahwa .
“There is an alternative to accepting today’s world conflicts merely on a political level: to explore and to understand the social and economic pressures that are the source of the conflicts and have their roots in a constrasting culture.”
(Ada sebuah alternatif untuk menerima konflik dunia saat ini, hanya dari segi politik; untuk mengeksplorasi dan memahami tekanan sosial ekonomi yang menjadi sumber konflik dan memiliki akar yang kontras dalam budaya).
Jadi bagi Jones mau tidak mau suka tidak suka ada sebuah alternatif untuk menerima konflik dunia saat ini, sebab kita harus menyadari juga bahwa hanya dari segi politik saja untuk dapat mengeksplorasi diri dan dapat memahami tekanan sosial – ekonomi yang menjadi sumber konflik bagi manusia. Hal yang tidak dapat dilupakan adalah manusia memiliki akar yang kontras dalam budaya sebagai pemicu situasi dalam relasi satu sama lain di muka bumi ini.
Akhirnya dalam tulisan ini, Jones menyatakan bahwa ada beberapa alasan dia menulis buku ini dan penulis mengutip dan menyadurnya pada bagian pengantar dari buku tersebut. Menurut penulis inilah sebenarnya intisari dari gaya seorang duta, pendidik, militer, diplomat, dan jurnalis dalam memilih metode merangkum hasil penelitian maupun observasi tentang Indonesia. Berawal dari mengenal pengetahuan semata akhirnya merasakan dan tinggal di dalam pulau impiannya itu pun terjawab baginya (Dream is true).
Inilah alasan yang mendasar Jones menulis buku tersebut yakni : Pertama: Indonesia menjadi contoh yang utama dalam interaksi kekuatan sejarah, budaya, politik dan ekonomi yang kompleks, internal dan eksternal, ketidakpedulian bagi hal di atas akan membawa pada pengambilan keputusan yang fatal. Kedua: Kisah sejarah Indonesia ini menunjukkan perlunya definisi tentang tujuan dalam menangani sebuah negara di Asia, dan perlu kekuatan dalam mengejar tujuan-tujuan tersebut. Demikian juga sebaliknya, perlu mempercayai dengan akal sehat, mereka yang tergolong rakyat biasa yang disesatkan oleh pemimpin mereka, yang pada akhirnya hanya mempertahankan nilai-nilai yang paling dihargai oleh diri mereka sendiri.
Ketiga: Indonesia menampilkan sebuah gambaran totalitas yang berbeda dengan Negara-negara di Asia Tenggara, dengan sendirinya mempunyai potensi menjadi kekuatan utama di Asia. Keenam negara paling padat setelah Pakistan, strategis dan Croesus – kaya dengan sumber daya yang belum tereksplorasi, kecuali masalah minyak, itu adalah poros perputaran masa depan bangsa bangsa Asia tenggara. Keempat:Amerika memiliki peran untuk bermain di Asia. Perdamaian tergantung pada apakah AS berperan dengan baik atau buruk. Pelajaran bagi Indonesia memiliki aplikasi yang berbeda untuk situasi yang lain bagi AS dalam menghadapi di benua yang bermasalah.
Menurut Jones bahwa dua dekade hanyalah kurun waktu yang tidak terlalu lama. Dua dekade terakhir telah menunjukkan perubahan pada tahap yang sungguh signifikan yang belum pernah disaksikan dalam sejarah manusia. Pada saat itu, negara baru telah lahir atau dilahirkan kembali. Pada saat ini, orang-orang hebat, terutama orang-orang Indonesia, mengalami kemuliaan dan berdiri tegak di kebangsaan mereka sendiri. Namun, harus menyadari bahwa ada kesalahan. Indonesia berjuang ketika tidak ada kebutuhan untuk melawan; Indonesia bergemuruh saat persuasi tenang akan lebih mudah mendapatkan mereka tujuan mereka, tetapi Rakyat Indonesia telah banyak menderita.
Rakyat Indonesia telah datang melalui kekacauan, berteriak dan sedang dalam perjalanan. Kesalahan juga dilakukan oleh orang-orang yang menjadi musuh mereka, dan oleh orang-orang yang ingin menjadi teman mereka. Maka Refleksi Jones inilah menjadi pelajaran yang bisa dipetik dari saat ini dan dalam waktu yang akan datang. Maka salah satu alasan yang mendasar bagi penulis di dalam mata kuliah ini adalah kegelisahan dan keresahan ketika sejarah Indonesia diluruskan oleh bangsa asing maka akan terjawab semua opini dari pengetahuan saya selama ini. Apakah mengenal Indonesia dengan goresan sejarah yang tak tersembuhkan? Tidak ada cara lain, mari bangkit dan maju dengan tidak melupakan sejarah sebagai bagian perjalanan Indonesia untuk dikaji lebih komperehensif lagi dan refleksi bagi penulis bahwa masa lalu yang begitu kelam tidak membuat kita larut dalam peristiwa tersebut. Wacana akan pengorbanan untuk kemajuan sebuah bangsa, tetap berjuang tiap hari dengan berbagai cara sebagai orang Indonesia yang mandiri dan kuat. Tunjukan kepada kepada dunia bahwa kita bisa dan hebat sebagai negara yang bermartabat dan terhormat dalam perkembangan zaman yang sedang berjalan. ∎∎∎
DAFTAR PUSTAKA
Katoppo, Aristides. (1981). 80 Tahun Bung Soekarno. Jakarta: Sinar Harapan
Anderson, Benedict. (2004). Imagined Communities. (2004).
Yogyakarta: Insist Press, hal. vii-xiix dan hal.12-54.
Bandel, Katrin. Kajian Pascakolonial (Bahan Bacaan Kuliah), IRB, 2016
Baskara, T. Wardaya. (1963). Cold War Shadow: United States Policy toward Indonesia 1953-1963. Yogyakarta: Galangpress
Gramsci, Antonio. (2003). Negara dan Hegemoni. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Herlambang, Wijaya. (1965). Kekerasan Budaya Pasca. Jakarta: Margin Kiri, hal.205-214
Howard, Palfrey Jones. (1973). INDONESIA: The Possible Dream.
Singapura: Ayu Mas Ltd
Kahin, Mc Turnam Geoger. (1965). Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia.
Solo: UNS Press, hal.83-128
Loomba, Ania. (2016). Kolonialisme, Pascakolonialisme.
Yogyakarta: PT Buku Seru, Hal.1-153
Simpson, Bradley R. (2008). Ecomists With Gun: Authoritarian Development and Us-Indonesian Relation, 1960-1968. Standford: Standford University Press
Sunardi, St. Materi Psikoanalisa (Bahan Bacaan Kuliah IRB 2016) hal 14-47
Zurbuchen, Mary, ed. (2005). Beginning to Remember: The Past in the Indonesian Present. Singapore: Singapore University Press (Bunga Rampai)