Prakta
Sebelum memahami arti “Konotasi” menurut R.Barthes, pertama-tama penulis mengutip dari berbagai sumber sebagai perbandingan dengan perspektif R. Barthes di antaranya: 1) Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI):
Menurut KBBI, “Konotasi” adalah makna kultural atau emosional yang bersifat subjektif dan melekat pada suatu kata atau frasa. Sementara itu, makna eksplisit dan harafiah dari suatu kata atau frasa disebut denotasi. Konotasi dapat berbentuk positif maupun negatif. 2) Hjelmslev: Sedangkan menurut pandangan Hjelmslev, lebih ke makna sifat dari subjek dari “konotasi” yang terdiri dari 3 komponen menjadi satu kesatuan arti. Hjelmslev di sini, menyebutnya dengan kata “Konotativ” yaitu: terdiri dari ekspresi (E), kemudian relasi (R), dan isi atau content (C). Maka tidak heran oleh Hjelmslev merumuskan demikian: E R C …ERC Dari rumusan tersebut, Hjelmslev menyebutnya dengan sebutan : “Semiotik konotatif”, yaitu sebuah sistem pertama menjadi wilayah ‘denotatif’ dan sistem kedua menjadi wilayah sistem pertama. Jadi bisa dikatakan:a connoted system is a system whose plane of expression is it self constituted by a signifying system. Sistem tanda terdiri dari Ekspresi (E), Relasi (R), Kontent (C) .Dalam semiotika konotatif, sistem pertama (E,R,C) menjadi bagian dari denotasi (Ekspressi) pada sistem kedua. Sistem ini disebut sistem bertingkat. Proses tingkatan ini bisa muncul dalam dua cara tergantung penempatan sistem pertama pada sistem ke dua. Dalam kasus yang umum, konotasi terdiri dari sistem yang rumit dari bahasa yang membentuk sistem pertama. Maka dapat disimpulkan bahwa arti konotasi dari KBBI dan Hjelmslev sangat berbeda. Dalam KBBI, dipahami pada subjek dengan melekat pada satu kata/frasa sedangkan Hjemslev lebih pada mkna sifat dari subjek dengan mengandung 3 komponen.
Lalu bagaimana menurut R. Barthes tentang ‘Konotasi’?
Barthes membahaskan ‘Konotasi’ membicarakan semiotika berganda yang berlapis. Bagi Barthes tesis adalah 90 % metabahasa kerena membicarakan topik yang sedang dibahas. Selain itu konotasi juga diartikan untuk menghadirkan kode-kode yang makna tandanya bersifat implisit, yaitu sistem kode yang tandanya bermuatan makna-makna tersembunyi. Makna tersembunyi ini adalah makna yang menurut Barthes, merupakan kawasan dari ideologi atau mitologi. Untuk memahami lebih mendalam arti ‘konotasi ‘ dari perpektif Barthes, pertama-tama penulis melihat ruumusan berikut ini: S sd………Sr ………Sd………Connotation
Dari rumusan di atas dapat diuraikan demikian. Di sini, ‘konotasi’ mencari apa maksud dari ‘Sd’. Untuk kepentingan analisis struktural, Barthes membedakan dua macam tanda itu karena ia akan mencari batasan antara pesan denotatif atau literer dan pesan konotatif. Maka masuk dalam pandanganya tentang semiotika konotasi gambar. Untuk menciptakan sebuah semiotika konotasi gambar, kedua pesan ini harus dibedakan terlebih dahulu karena seperti yang sudah kita lihat di atas, sistem konotasi sebagai sistem semiotika tingkat dua dibangun di atas sistem denotatif.
Dalam gambar atau foto pesan denotasi adalah pesan yang disampaikan oleh gambar secara keseluruhan dan pesan konotasi adalah pesan yang dihasilkan oleh unsur-unsur gambar dalam foto sejauh kita dapat membedakan unsur-unsur tersebut. Ini, tentu saja sebuah hipotesis yang harus kita periksa argumentasinya dan harus kita uji ketahananya Maka untuk menguatkan paham tersebut di bawah ini penulis mengulang kembali rumusan sistem tanda dengan model lain. Sistem tanda terdiri dari Ekspresi (E), Relasi (R), Kontent (C). Dalam semiotika konotatif, sistem pertama (E,R,C) menjadi bagian dari denotasi (Ekspressi) pada sistem ke dua. . Lihat rumusan berikut ini:
Sistem ini disebut sistem bertingkat proses tingkatan ini bisa muncul dalam dua cara tergantung penempatan sistem pertama pada sistem ke dua. Dalam kasus yang umum, konotasi terdiri dari sistem yang rumit dari bahasa yang membentuk sistem pertama. Penanda dari Konotasi disebut konotator (connotators) yang terdiri dari tanda-tanda (gabungan dari penanda dan petanda) sistem denotatif. Secara alami beberapa tanda denotatif dapat dikelompokkan kedalam satu konotator. Dalam semiotika konotasi petanda bisa disebut sebagai ideologi/fragmen ideologi, dan penanda disebut retorika.
Selanjutnya untuk memahami Konotasi menurut R.Barthes, penulis mengambil contoh:” IKLAN ROKOK A.Mild
Contoh ANALISIS SEMIOTIK WACANA IKLAN ROKOK A MILD EDISI GO AHEAD VERSI GAPAI MIMPI GO AHEAD, SETIA KAWAN GO AHEAD, DAN PIKIR PENDEK GO AHEAD
Untuk mengetahui deskripsi penanda (signifier) dan petanda (signified) serta makna yang terkandung dari iklan rokok A Mild Edisi Go Ahead versi Gapai Mimpi, Setia Kawan, dan Pikir Pendek. Contoh ini, jika berlandaskan pada teori Roland Barthes, yaitu pemaknaan pada penanda, petanda, denotasi, dan konotasi maka: diketahui bahwa iklan rokok A Mild Edisi Go Ahead mempunyai makna denotasi yang sama tetapi, mempunyai makna konotasi yang berbeda. Makna konotasi pada setiap iklan rokok A Mild Edisi Go Ahead mempunyai perbedaan dengan iklan yang lain. Misalnya, iklan rokok A Mild versi Gapai Mimpi Go Ahead mempunyai makna konotasi, yaitu semangat pantang menyerah untuk menggapai cita – cita walaupun penuh kesulitan dan tantangan, iklan rokok A Mild versi Setia Kawan mempunyai makna konotasi, yaitu iklan rokok A Mild versi Setia Kawan Go Ahead mempunyai makna konotasi setia pada janji persahabatan baik dikala susah ataupun senang. Iklan rokok A Mild versi Setia Kawan mencoba mengatakan arti pentingnya setia pada kawan, dan iklan rokok A Mild versi Pikir Pendek mempunyai makna konotasi, yaitu rokok A Mild versi Pikir Pendek Go Ahead mempunyai makna konotasi berani merubah keadaan; mencoba sesuatu yang baru; ingin mencari jati diri; berani mengambil sebuah resiko.
Lebih Jelas konotasi pada kotak berikut ini:
IKLAN ROKOK A MILD EDISI GO AHEAD (Sr) GAPAI MIMPI GO AHEAD, SETIA KAWAN GO AHEAD, DAN PIKIR PENDEK GO AHEAD (Sd)
Kesimpulan:
Fenomena konotasi masih belum dikaji secara sistematis. Dengan menggunakan sistem pertama yang disediakan oleh language manusia, masyarakat terus-menerus mengembangkan sistem makna kedua dan elaborasi ini. Kadang diberitakan luas, kadang disamarkan, kadang dirasionalisasikan, menyentuh suatu antropolog historis yang sangat dekat.
Konotasi adalah suatu sistem, konotasi juga mengandung signifiers, signifeds dan proses menyatukannya (yaitu signification). Pencatatan inventaris dari ketiga elemen itulah yang harus dilakukan pertama-tama untuk mendeskripsikan setiap sistem.
Signifiant konotasi juga disebut dengan connotateur yaitu tersusun oleh signe-signe (signifiers and signifieds uniteds) dari sistem yang berdenotasi. Beberapa signe yang berdenotasi bisa menyatu untuk membentuk satu konotator tunggal- jika konotator itu hanya memiliki satu signifie konotasi.
Penanda dari Konotasi disebut konotator (connotators) yang terdiri dari tanda-tanda (gabungan dari penanda dan petanda) sistem denotatif. Secara alami beberapa tanda denotatif dapat dikelompokkan kedalam satu konotator. Dalam semiotika konotasi petanda bisa disebut sebagai ideologi/fragmen ideologi, dan penanda disebut retorika.
1.b. Metabahasa
Pengertian ‘Metalanguage/metabahasa’ penulis menguraikan demikian . Metabahasa adalah suatu sistem yang dimana bagian Content/isi-nya mengandung sistem tanda. Metabahasa adalah sebuah operasi di mana bahasa biasa (ordinary language) dalam bentuk denotasi, mengambil alih sistem tanda objek.
Penulis mengambil sebagai salah satu contoh: majalah fashion yang ‘berbicara’ makna dari garment sebagaimana seseorang berbicara sebuah bahasa; namun ini hanya berbicara idealnya saja, karena majalah biasanya tidak benar-benar menunjukkan wacana secara denotatif. Dalam prinsipnya, sebuah metabahasa pada gilirannya akan menjadi ‘Bahasa Objek’ dari metabahasa yang baru. Jika seseorang setuju mendefinisikan ilmu sosial sebagai sebuah bahasa yang koheren, menyeluruh dan sederhana, atau sebagai “operasi”, setiap ilmu baru akan muncul sebagai sebuah bahasa baru yang yang memiliki metabahasa yang mendahuluinya sebagai objek.” Dapat dikatakan bahwa masyarakat yang menyangga konotasi berbicara tentang penanda sementara semiologis berbicara petandanya.
Selain itu dalam pengertian lain metabahasa adalah: Bahasa/perangkat lambang yang dipakai untuk menguraikan bahasa yang disebut bahasa objek. Metabahasa adalah bahasa atau perangkat lambang yang dipakai untuk menguraikan bahasa, yang disebut bahasa objek. Metabahasa dapat berupa istilah atau bahasa apa pun yang digunakan untuk membahas tentang bahasa, misalnya tata bahasa tertulis. Jika metabahasa dan bahasa objek sama, maka biasanya untuk membedakan istilah yang digunakan dalam metabahasa dari istilah dalam bahasa objek, maka istilah tersebut menggunakan cetak miring, tanda kutip, atau cara-cara lainnya.
Dalam ‘Semiotika Barthes’ mendeskripsikan demikian. Bahwa semiotika itu tersusun atas tingkatan-tingkatan sistem bahasa. Umumnya Barthes membuatnya dalam dua tingkatan bahasa. Bahasa tingkat pertama adalah bahasa sebagai obyek dan bahasa tingkat kedua yang disebut dengan meta bahasa. Maka bagi Barrhes bahasa di sini, lebih merupakan suatu sistem tanda yang memuat signifier (penanda) dan signified (petanda). Maka sistem tanda kedua terbangun dan menjadi penanda dan penanda tingkat pertama berubah menjadi petanda baru yang kemudian memiliki penanda baru sendiri dalam suatu sistem tanda baru dalam taraf yang lebih tinggi. Sistem tanda pertama kadang disebut sebagai denotasi atau sistem termilogi, sedangkan sistem tanda kedua disebut sebagai konotasi atau sistem retoris atau mitologi. Biasanya beberapa tanda denotasi dapat dikelompokkan bersama untuk membentuk suatu konotasi tunggal; sedangkan petanda konotasi berciri sekaligus umum, global, dan tersebar. Petanda ini dapat pula disebut fragmen ideologi. Petanda ini memiliki komunikasi yang sangat dekat dengan budaya, pengetahuan, dan sejarah. Dan dapat dikatakan bahwa “ideologi” adalah bentuk petanda konotasi dan “retorika” adalah bentuk konotasi (Barthes, 1967;91-92). Konotasi dan metabahasa adalah cerminan yang berlawanan satu sama lainnya. Atau dapat disimpulkan metabahasa adalah operasi-operasi yang membentuk mayoritas bahasa-bahasa ilmiah sebagai petanda, diluar kesatuan petanda-petanda yang asli, dapat dikatakan berada diluar sebuah alam deskriptif. Sedangkan konotasi meliputi bahasa-bahasa yang utama bersifat sosial dalam hal untuk memberikan pesan-pesan literal dan memberikan dukungan bagi makna. Penyatuan konotasi dan metabahasa akan memberikan peluang untuk menghadirkan sebuah sistem atau petanda ketiga yang secara alami dilengkapi oleh sebuah kode ekstra-linguistik yang substansinya adalah obyek atau imaji. Contoh Pada iklan Rokok A Mild:
IKLAN ROKOK A MILD EDISI GO AHEAD
GAPAI MIMPI GO AHEAD, SETIA KAWAN GO AHEAD, DAN PIKIR PENDEK GO AHEAD
2. Sebelum kita memahami pemikiran Lacan dalam membedakan antara ego dan subjek, dan juga mengenai hubungan keduanya baik melalui fase cermin maupun simbolik, pertama-tama terlebih dahulu penulis terdahulu memahami pandangan Freud. Menurut sejarahnya, Freud sudah melangkah lebih jauh dari dunia medis. Sejak SMA dia mengetahui/meneliti psikoanalisa pasien . Hasil penelitianya ternyata dorongan manusia yang lebih kuat/dominan seksual. Dengan kata lain bahwa “Keinginan hidup” adalah karena dari dorongan seksual. Sampai akhirnya dia meneliti tahap-tahap perkembangan seksualitas terhadap anak itu merupakan tahap-tahap kesadaran diri seseorang. Jadi menurut Freud perkembangan diri seseorang/kedirian/aku/subyek/Liyan lahir bersamaan perkembangan seksual anak. Data penelitiannya yaitu lebih pada aspek biologis bukan filosofis. Bagaimana seseorang menemukan dirinya muncul dalam proses perkembangan seksual . Di bawah ini contoh dari Teori Freud dalam sebuah gambar di bawah ini:
Super Ego………..Ego………………..It/Is
Pembahasanya:
Menurut Freud, kita sebagai manusia sangat penting untuk menentukan perkembanagan dan kesadaran diri kita dimana kita menempatkan diri pada saat mana yang dominan Super ego, Ego atau It/is. Tetapi di sini Freud mempunyai tujuan bahwa untuk menganalisa 3 komponen di atas. Di mana bisa memperkuat ego pasien. Ego bisa mengendalikan super ego dan It. Menurut Lacan semuanya ini karena kecelakaan. Maka menurut Lacan, untuk menyembuhkanya: “Ketidaksadaran” itu, keluar tanpa kendali. Lacan mendukung Sprint Freud untuk menghidupkan Ego.
Ego ini selalu muncul di Masyarakat. Lahirnya Ego sekaligus lahir sifat bawaan. Ego sebagaimana di-maunya/diingini masyarakat. Contohnya: Kaum perempuan ingin memakai celana panjang. Ideal ego artinya ego sebagaimana dia mau. Sedangkan ideal ego tidak bebas contohnya: anak kecil sudah diajar teknologi. Maka idealnya harus sesuai kemampuan masyarakat. Contoh yang lain adalah: Jhon Lenon dibunuh Fansnya. Ini terjebak kalau sudah dewasa tiba-tiba masuk ke fase cermin. Maka sikap ‘Narcistik’ (sikap cinta diri yang muncul positif) munculnya ego karena kagum dengan dirinya. Akhirnya dari kedua tokoh ini dapat dikatakan Freud seorang Mitos Yunani sedangkan Lacan sukanya membongkar temuan-temuan itu dengan Kitab Suci dan Freud kembali ke mitos.
Setelah penulis membahas dan menguraikan sekilas tentang Freud makan penulis dibagian ini mencoba untuk masuk ke pemikiran Lacan dengan diawali seperti skema di bawah ini:
Es (S)……………… (a) a’ o’ Ego (a) A
Pembahasan:
Lahirnya Ego ikut-ikutan primodial. Fase oral, anal masih ada/laten/tertidur meskipun kita sudah pada fase genital. Ego akan melahirkan Other. Ego ini juga bisa menjadi I, Is other. Berangkat dari Ego memunculkan Is Other. Aku sebagai Other/Liyan(Lain): subjek yaitu subjek Bahasa, subjek Simbolik dan subjek ketidaksadaran. Bagaimana relasi keduanya? Subjek selalu muncul kesadaran. Jika ketidaksadaran sudah muncul di alam sadar, maka mengapa perlu diteliti? Karena supaya teridentifikasi dari alam ketidaksadaran. Dan mengapa itu diidentifikasi? Karena ada manifestasi (perwujudan sebagai pernyataan perasaan) yang disebut: susun rumusan ketidaksadaran yang cendrung Irarasional dan bisa dilihat pola-pola yang bisa diobservasi atau diamati. Dan oleh Freud hal ini disebut: Linguistik Fundamental. Maka subjek sadar secara parsial (berhubungan bagian dari keseluruhan), yang selalu mengacu pada ketidaksadaran (Liyan)/yang selalu dengan bahasa disebut Qua Other/Liyan. Maka dari itu sunjec dari sadar itu: berbahasa. Mengapa berbahasa? Karena sebelum mengindetifikasikan lewat cermin sebenarnya dia teralienasi oleh Bahasa. Contohnya. sudah punya nama diberi oleh org lain,walau ketidaksadaran disamakan dengan bahasa, namun disini tidak sama dikaji dalam berbahasa tetapi hanya berbentuk bahasa.
Lalu bagaimana hubungan keduanya antara Fase Cermin dan Simbolik? Pertama-tama kita harus pahami bahwa psikoanalisis menurut Lacan adalah disalahpahami orang mengalami gangguan mental/ harus dibuat sedemikian rupa agar egonya kuat. Penyembuhan menurut Lacan supaya Id/it keluar sendiri tak terkendali. Sebaliknya tafsiran Lacan pada Freud mengajak supaya membuat kembali Freud yang dengan pernyataan-pernyataan dimana It situ berada di Suma ego dan harus ditata ulang. Bagaimana dengan di Indonesia? Ego psikologi yang popular di Indonesia yang menggerakan ego adalah : Subjek. Tujuanya, kita itu yang direpresi yang mana harus diangkat.
Lalu bagaimana dengan fase Cermin? Untuk ke proses fase cermin kita harus mengidentifikasi imaginer. Lahirnya Ego lahir karena fase cermin. Dengan kata lain lahirnya ego melalui cermin (gambar) = bayangan cermin /pantulan cermin dimana mengalami dirinya sebagai Ego. Contohnya: seorang anak selalu berhadapan dengan cermin a/ (S) dan It. Dan singkatnya pengalaman seorang ketika berada sebagai (S) berhadapan dengan Liyan (a). maka (a) menjadi ego maka saat itu juga muncul banyak bayangan tentang s.
Lalu muncul siapa aku dan harus memilih. Seorang anak akhirnya memilih salah satu dari figure yang muncul sebagai muncul identifikasi (Ego). Inilah aku S mulai menyadari dirinya sendiri. S mengidentifikasikan dirinya dari a—- Ego. Maka identifkasi imaginer itu melalui proses idetifikasi yang dilakukan melalui image.
Setelah kita membahas pemikiran Lacan, di bawah penulis membuat kolom untuk bisa membedakan tentang “Ego dan subjek” maka akan terlihat jelas seperti yang ditampilkan pada table berikut ini.
Ego Subjek
Ego identic dengan dirinya sendiri melalui alienasi yang teridentifikasi ke “the other”. Subjek mengarahkan perasaan narsis dan agresif terhadap citra ideal
baik selama dan setelah tahap cermin: dengan kata lain, sebuah ambivalen cinta-benci
hubungan antara subjek dan gambar ideal didirikan secara independen
dari apakah ia mampu mengenali orang lain sebagai lain.
Pada saat bersamaan mengalami keasadaran juga mengalami alienasi. Contohnya: Pengalaman ini sangat basik, esensial, tidak bisa dihilangkan bahkan setiap agama mempunyai nama yang berbeda-beda untuk pengalaman pahit, iri. Contoh dosa sosial tetapi karena itu kita menjadi dosa Fakta bahwa subjek qua ego terus memproyeksikan Image- yang ideal sendiri yang mengatakan, ego-ke ideal dunia luar tidak hanya mempengaruhi hubungannya
dengan makhluk lain manusia tetapi juga sangat kondisinya (mis) ketakutan dari semua objek-objek eksternal.
Ego muncul sbujek hilang. Maka subjek of language tidak kelihatan. Maka kita mencsari supaya terbahasakan. Caranya meliahta gejala –gejala bahasa yang terkatakan. Dalam teori pertama dari subjek, Lacan jelas membedakan gagasan yang ideal
ego dari yang ego-ideal: perbedaan seperti sudah ditunjukkan oleh Freud, tetapi dia
gagal sepenuhnya untuk menjelaskan hal itu. Secara umum, jika ego yang ideal adalah proyeksi dari ego
image yang ideal ke dunia luar (sama-sama ke manusia, hewan, dan
hal), ego-ideal adalah introyeksi subjek gambar eksternal lain yang
memiliki (de) efek formatif baru pada jiwanya. Dengan kata lain, ego-ideal menambah
ego strata baru yang menyediakan subjek dengan identifikasi sekunder.
subjek menegaskan sini gerakan dialektis pertama yang ia awalnya dilakukan oleh introjecting gambar specular yang memunculkan mengasingkan primordial
identifikasi Ur-Ich. Lebih khusus, ego-ideal adalah, dalam pertama
Misalnya, konsekuensi dari identifikasi subjek dengan imago dari ayah,
yang meringankan solipsism agresif-narsis ego dengan membuat subjek
masukkan rencana simbolis Hukum; sehingga Lacan dapat menyatakan bahwa kebohongan ego-ideal.
DAFTAR PUSTAKA
Sunardi. St. (2016). Dasar-Dasar Kajian Budaya, IRB. USD,Yogyakarta, PSIKOANALISA, hlm.13-59
_________. (2016). Dasar-Dasar Kajian Budaya, IRB USD, Yogyakarta, DENOTATATION AND CONNOTATION, hlm.89-91
__________. (2016). Dasar-Dasar Kajian Budaya, IRB USD, Yogyakarta,
CONNOTATION AND METALANGUE, hlm. 92-95
_________. Dasar-Dasar Kajian Budaya, IRB USD, Yogyakarta,
MYTH TODAY, hlm. 107-111
SUMBER PENDUKUNG:
Kurniawan. (2001). Semiologi Roland Barthes. Megelang: Penerbit Yayasan Indonesiatera Anngota IKAPI
Lukman Lisa. (2011). Proses Pebentukan Subjek- Antropologi Filosofis Jacgues Lacan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius
Sunardi. St. (2002). Semiotika Negativa, Yogyakarta:Penerbit Kanal
Kamus Besar Bahasa Indonesia
https://id.wikipedia.org/wiki/konotasi diunduh Sabtu, 14 Januari 2016 pukul.08.20 AM
https://www.google.com/search?q=gambar+rokok+a+mild
https://id.wikipedia.org/wiki/Metabahasa diunduh 21 Desember 2016 11.34 PM
http://csmt.uchicago.edu/glossary2004/symbolicrealimaginary.htm