I: PENDAHULUAN
Hari itu tepatnya Sabtu, 24 Desember 2016 pukul 23.00 Wib. Penulis bersama dua teman tamu dari luar Jawa, kebingungan mencari tempat duduk di gereja St. Antonius Kota Baru. Karena kami tidak tahu dimana harus duduk untuk mengikuti misa malam Natal, tiba-tiba petugas mengarahkan untuk mengisi beberapa kursi yang ada di luar gereja. Posisi waktu itu, tepat berhadapan dengan TV LCD (Televisi Liquid Crystal Display). Dua temanku sepertinya tidak merasa puas, jika menikmati perayaan natal lewat TV LCD. Mereka jujur mengungkapkan bahwa tidak merasa perayaan natal sesungguhnya. Anehnya, dua teman yang masihh usia produktif ini, tetap fokus membaca tema EKM pada “running Tex di layar bawah:”#AGAPE…(Aku Gak Perfect)- Love Coexist With Imperfection-…SELAMAT DATANG DI GEREJA SANTO ANTONIUS KOTA BARU YOGYAKARTA.#…. Lima menit kemudian muncul dua sosok orang muda sebagai Master Ceremonial (MC) di malam itu bagaikan host dalam acara entertaitmen di layar kaca, membuka EKM dengan menyapa umat dan menginformasikan teknis praktis dalam mengikuti EKM berlangsung. Dari pembukaan sampai selesai dinikmati lewat virtual yang sungguh terpikat di malam itu.
Beranjak dari pengalaman di atas, penulis menggugah hati untuk mengkajikannya lebih mendalam lagi. Ada apa dengan “Ekaristi Kaum Muda” (EKM) di gereja Kota Baru? Mengapa orang muda dimalam itu, membludak seperti menonton konser di panggung spetakuler dengan ‘fashion Style’ kekinian? Apakah karena suasana tempatnya, kotbah, model liturgi, atau karena medianya yang sangat menarik kaum Muda? Masih banyak pertanyaan untuk dikaji dari EKM tersebut meskipun hanya disaksikan lewat virtual saja. Maka fenomena EKM ini, penulis menggunakan berbagai pendekatan dalam studi ‘Dasar-dasar Kajian Budaya’, dengan “ Kajian teori ‘AGAMA DAN MEDIA’, pada tulisan: (a). Bagus Laksana, Menguak Perkara Agama & “Negoisasi Spiritualitas di Cyberspace, (b).Richar King, Agama, Orientalisme, dan Poskolonialisme, (c), STEPHEN D.O’LEARY, “Cyberspace as Cacred Space: Communicating, Religion on Computer Networks”.
Iswarahadi (2003:24), mengungkapkan bahwa kaum beriman baik awam, imam maupun kaum religius sudah masuk dalam zaman informasi yang cepat berubah. Begitu banyak sarana komunikasi yang kita hadapi setiap hari. Kita sebagai pelanggan media tidak terluput juga menikmati sajian melalui media Televisi dan telephon (termasuk Hand phone) sudah semakin dimiliki oleh keluarga-keluarga. Wartel-wartel dan warnet sudah semakin mudah ditemukan di pinggir-pinggir jalan. Pesawat radio semakin bervariasi bentuknya, sehingga semakin banyak diminati masyarakat.
Pandangan tersebut, menurut penulis, dalam waktu yang tidak teralu lama media cetak bisa ditinggalkan oleh generasi muda dan lebih pada media elektronik seperti gadget yang sudah banyak aplikasinya. Gadget berfungsi sebagai media komunikasi dengan aplikasi: Facebook, Youtube, WhatshApp, Skype, WeChat, Line, Talk, Yahoo Messeger, Imo, Instalgram dan lain sebagainya, dengan mudah mendapatkanya dan menikmatinya dimana saja berada dan kapan saja butuhkan. Dunia ini semakin sempit namun terkadang juga terasa asing, ketika media itu tidak digunakan untuk kemajuan dalam berkomunikasi, yang jauh terasa dekat, yang dekat terasa jauh. Maka dalam sejarah peradaban manusia dan proses pengetahuan teknologi begitu cepat. Diharapkan penggunaan media-media baru beserta perubahan kultural yang telah dihasilkan oleh manusia, semuanya untuk menolong sesama secara universal tanpa dibatasi ruang, waktu, agama dan ras semuanya demi kepentingan sosial.
Mariasusai Dhavamony (1995: 26-27), berpendapat bahwa fenomena agama yang terjadi adalah perjumpan-perjumpan fakta yang dialami seseorang, guna memperoleh pandangan tersendiri, yang tidak hanya mengenal histori dan struktural agama saja, tetapi lebih pada aspek bathin seseorang memperoleh untuk pengalaman khusus dalam mencari nilai- nilai religiusnya serta relasi yang intim dengan makna ke-Ilahian dalam hidupnya.
Dari pemikiran tersebut, penulis dapat mengatakan bahwa tindakan agama terutama tampak pada upacara (ritual), lewat virtual pun merupakan suatu tindakan yang nyata dari ungkapan iman seseorang meskipun dalam dunia maya, akan tetapi dalam waktu yang sama dirasakan konkrit dan nyata. Jadi hanya yang bersangkutan, yang bisa memberi tafsiran dari pelaksanaan ritual melalui virtual tersebut. Maka nilai religius seseorang tidak bisa diukur sesaat saja, tetapi bagamana perwujudan nilai religius itu, dalam hidup dan relasi bersama di masyarakat ditampakan secara nyata. Maka mucul sebuah pertanyaan apakah seseorang itu, bisa menemukan pengalaman mistik dalam berhadapan yang tidak kelihatan namun nampak dalam pengalaman bathiniah seseorang. Hal demikian, diungkap dalam karya Willyan James, The Variaties of Religious Experience dalam buku Richard King, mengatakan: 1999:50
“Pokok bahasan kesucian (Saintliness) meninggalkan kita berhadapan muka dengan pertanyaan ini: apakah makna kehadiran suci adalah makna kebenaran objektif? Pertama-tama kita minta mistimisme untuk menjawabnya, dan kita mendapati bahwa, meskipun sepenuhnya hendak menguatkan agama, penjelasan mistisisme terlalu pribadi (dan juga terlalu beragam) untuk dapat mengklaim sebuah otoritas universal. “
Fenomena EKM yang membludak di Gereja Kota Baru, tidak terlepas pengalaman – pengalaman pribadi orang muda dalam menemukan Kristus dengan cara orang muda kekinian. Mereka mencari, meskipun tidak diungkapkan secara nyata. Namun nampak secara virtual/dunia maya dan sungguh-sungguh hadir dalam dirinya. Mereka mencari pola-pola lain dalam berliturgi untuk menghipnotis teman-teman seusianya, dengan cara orang muda berliturgi sesuai dengan pengalaman hidup mereka. Maka melalui media tersebut menjadi pendukung yang nyata untuk menguatkan mereka sehingga tidak merasa asing dalan relasi dengan Tuhan yang imani dan sesama. Orang muda mempunyai kerinduan untuk mencari cara-cara yang menarik dalam mengekspresikan iman mereka, diantaranya: untuk menemukan makna hidup serta tuntunan dan petunjuk, untuk kepuasan dan kesembuhan bathin, dan untuk mengungkapkan ratapan karena merasa kehilangan arah hidupnya.
Melalui tulisan ini, penulis mencoba menyoroti fenomena EKM dengan menggunakan media virtual. Mengapa fokus dua aspek tersebut? Hemat penulis, karena melalui media inilah, EKM tampil beda dengan ekaristi pada umumnya. Pesan media ini begitu cepat, unik dan mempunyai daya magnet untuk terlibat didalamnya. Emosi bathin dan perasanpun, seolah-olah menjadi nyata masuk dalam sebuah jaringan maya tersebut. Penulis melihat bahwa orang muda malam itu, tampil beda dan unik. Cara menangkap pesanya dari pembukaan sampai penutup via gambar yang diperlihatkan di Tv LCD, terasa ada sesuatu yang menggembirakan di raut wajah mereka. Gambar yang ditampil menjadi hidup. Gambar itu berbicara dan menyapa kepada penulis dalam waktu dan tempat sama antara dalam dunia maya namun nyata. Dari semuanya itu penulis bersama orang muda, ikut tenggelam dalam visualisasi tentang kelahiran Yesus Kristus ditampilkan begitu smart di TVLCD. Peran keluarga Nazaret yang dibawa oleh OMK berbakat tersebut menghantar penulis untuk bisa memaknai pesan Natal dimalam itu. Penulis semakin kuat berargumen, bahwa pengunaan media inilah membuat orang muda tertarik mengikuti EKM karena terhinoptis olehnya meskipun dalam dunia maya.
Dari pokok pemikiran di atas, penulis melihat bahwa fenomena EKM melalui virtual menjadi viral di sebagian gereja-gereja Katolik di Keuskupan Agung Semarang (KAS) bahkan gereja Katolik di Indonesia, namun tetap pada pada koridor ritus liturgi Roma Katolik. Gagasan ini pun didukung pengalaman seorang imam yang pernah mengalami EKM di gereja St.Antonius Kota Baru:
“Setahu saya, EKM di Kotabaru sudah diadakan sejak awal milenium ini, juga EKR (Ekaristi Kaum Remaja) dan EKA (EKaristi Anak). Ada juga sebetulnya Ekaristi untuk para lansia dan Ekaristi kelompok kharismatik. Saya pernah menjadi pastor pembantu di sana selama setahun dan kurang lebih saya menangkap keprihatinan pastoralnya. EKM tidak pernah dibuat dengan ide spontan begitu saja. Tim penyelenggara biasanya sudah menyiapkan segalanya seturut jadwal: berapa bulan sebelumnya harus menentukan tema,memilih bacaan dan mungkin visualisasinya, merumuskan doa-doa umat, dan sebagainya.Nah, agaknya proses ini kurang mendapat perhatian dari mereka yang hendak menyelenggarakan EKM di tempat lain sehingga terkesan asal ada drama lantas bisa disebut EKM. Maklum, titik tolaknya dari luar, dari hasil yang kelihatan, tetapi tidak melihat dinamika proses penyelenggaraannya. Rasa saya, mendampingi EKM ini sangat tidak mudah. Kenyataannya mungkin sekarang ini juga kurang pendampingan. Saya kira EKM ini perlu diberi perhatian dari berbagai pihak demi pendampingan iman kaum muda sendiri. Pendampingan ini tentu tak bisa hanya mengandalkan pendekatan tata liturgi belaka. Kaum muda mesti diajak untuk menangkap motto Bapak Uskup Yohanes Pudjasumarta: duc in altum. Kaum muda dibantu supaya bebas dari kedangkalan iman yang bisa berwujud (1) serampangan asal nyeleweng dari tata liturgi atau sebaliknya (2) rubrik-minded. Pendamping semestinya justru membantu supaya kaum muda menemukan identitas terdalamnya sebagai murid Kristus dari Ekaristi tetapi juga mengungkapkannya dalam Ekaristi. Saya terkesan pada sebuah perayaan Ekaristi di salah satu gereja di Roma. Ini misa biasa, bukan EKM, meskipun mayoritas yang hadir adalah anak muda. Misa biasa ini terasa ada nyawanya: semua petugas liturgi menjalankan perannya dengan baik sehingga Perayaan Ekaristi berjalan mengalir, sangat lancar, organis dan koor luar biasa (tak harus menunggu lektor jalan dari tempat duduk ke mimbar, tak harus menunggu petugas persembahan dari depan gereja ke altar, tak harus menunggu koor selesai menyanyikan bait ekstra), dan kok ndelalahnya ya imamnya enerjik. Satu jam selesai, dan kegembiraan umat tampak setelah misa usai juga”.
Dari penuturan di atas, sangat jelas bahwa bagi orang muda dalam menyelenggarakan EKM perlu pendampingan yang jelas, agar dalam penyusunan liturgi yang mencakup: tema, lagu, dekorasi, bacaan tidak melenceng dari Tata Perayaan Liturgi yang resmi dari liturgi Gereja Katolik. Dalam Tata Perayaan Ekaristi resmi dikatakan:
Perayaan Ekaristi adalah tindakan Kristus sendiri bersama umat Allah yang tersususn secara hierarkis. Baik bagi Gereja universal dan gereja partikural, maupun bagi setiap orang beriman, Ekaristi merupakan pusat seluruh kehidupan Kristen, sebab dalam perayaan Ekaristi terletak puncak karya Allah yang menguduskan dunia dan puncak karya manusia memuliakan Bapa lewat Kristus,Putra Allah dalam Roh Kudus” (Pedoman Umum Misale Romawi (PUMR) 2000 no.16).
Fenomena EKM, bagi penulis salah satunya mengajak orang muda untuk bergerak dan melangkah lebih dalam lagi untuk menangkap kehadiran Yesus secara virtual lewat simbol dan bahasa yang mereka ungkapkan, sekaligus DIA yang tidak kelihatan secara nyata namun nyata dalam media mimbar virtual. Sehingga media itu memberi isyarat kepada orang muda untuk dapat merefleksiknya tentang pengalaman perjumpaan dengan Yesus sebagai tanda, penanda dan pertanda dalam hidupnya. Sebaliknya juga orang muda yang hidup di tengah teknologi, setidaknya mempunyai seni untuk dirayakan lewat media tersebut. Seni mengekspresikan imannya untuk berjumpa dengan Yesus entar melalui suaranya, tarian, main musik, teater dan sebagainya. Sebab hidup seni itu, harus dirayakan dalam peziarahan hidup ini.
Fenomen tersebut, penulis mengambil intisari dari tulisan Bagus Laksana, (2013: 103), bahwa apabila agama oleh orang muda sebagai praktik yang partikular, maka dalam kajian agama mutakhir, ada kecendrungan kuat untuk meninjau fenomena agama sebagai praktik yang partikular, berikut kompleksitas dan ambiguitasnya. Secara umum tidak lagi dicari intisari atau “ensesi”, struktur atau sifat-sifat umum agama. Maka pendekatan modern yang amat ensesalis-mengkaji agama dengan mencari ensesinya dan menganggap unsur-unsur lain sebagai tidak penting dan sebagainya-termasuk metode fenomenologi agama lama yang cendrung reduktif sudah agak lama tidak terlalu dikembangkan lagi.
Setelah memaparkan fenomena EKM dan khususnya EKM melalui mimbar virtual di Gereja Katolik St. Antonius Kota Baru, selanjutnya penulis akan menjelaskan pada bagian pokok pembahasan berikut ini. Di bagian ini, penulis mengutip dari berbagai sumber tentang seluk beluk media virtual, paham orang muda dalam EKM dan bagaimana kekhasan EKM sehingga orang muda mengerti baik dari segi liturginya maupun dalam memaknai ‘ekaristi’ di mata orang muda yang menzaman.
II: PEMBAHASAAN
Pada bagian pokok ini, penulis akan memaparkan tiga hal penting untuk menjawab fenomena EKM di Mimbar virtual. Adapun hal-hal yang mau disoroti adalah: A). Pengertian Kaum Muda B). Peran Media Komunikasi Dalam Pewartaan dan C). Pemahaman Liturgi EKM. Berikut ini akan di bahas secara singkat.
A. Pengertian Kaum Muda.
Pengertian ‘kaum muda’ sama seperti pada paham umum lainnya, yaitu mereka yang berusia 16 dan 30 tahun. Kesepakatan usia ini, dirancang oleh Undang-Undang (RUU) Kepemudaan antara 16 dan 30 tahun, dari sebelumnya tercantum dalam draf RUU tersebut antara 18 dan 35 tahun oleh Mentri Pendidikan Olah Raga, Adhyaksa Dault (2009). Akan tetapi dalam Gereja Katolik sedikit berbeda dari strukturalnya. Kata ‘kaum muda” dipergunakan untuk menunjuk kaum, golongan atau kelompok yang muda usia yang berumur 15 sampai 21 tahun (Mangunhardjana, 1989:12). Sedangkan pendapat lain ‘kaum muda’ merujuk pada usia remaja tingkat SMTA maupun tingkat perguruan Tinggi (Shelton, 1998: 5). Tangdilintin (1984: 5) mengutip pandangan Riberu mengenai definisi ‘kaum muda’ yang mengatakan bahwa ‘kaum muda’ adalah:
Kelompok umur sexenium ketiga dan keempat dalam hidup manusia (±12-24 tahun). Bagi yang bersekolah, usia ini sesuai dengan usia Sekolah Lanjutan dan Perguruan Tinggi. Ditinjau dari segi sosiologis, sering kali patokan usia di atas, perlu dikoreksi dengan unsur status sosial seseorang dalam masyarakat tertentu ( kedewasaan psikologis). Status Sosial yang dimaksudkan ialah hak dan tugas orang dewasa yang diberikan kepada seseorang sesuai dengan tata kebiasaan berkeluarga. Unsur status sosial ini menyebabkan seseorang yang menurut usianya masih dalam jangkauan usia muda mudi, bisa dianggap sudah dewasa dan sebaliknya orang yang sudah melampaui usia tersebut masih dianggap muda-mudi.
Selain itu pendapat ahli lain ‘kaum muda’ dalam Gereja adalah muda mudi dalam Gereja yang beriman Katolik yang bersusia 14-30 tahun, sudah dibaptis maupun simpatisan, apapun profesinya dan belum menikah (Komisi Kepemudaan KWI, 1993:8). Di usia produktif tersebut (14-30), fenomena yang terjadi di mana kaum muda cendrung tertarik pengembangan industri budaya massa, khususnya film dan radio baik lokal maupun nasional dalam mencintai seni dan budaya dunia maya. Melalui film dan radiolah banyak orang muda khususnya dan Indonesia umumnya, memperoleh akses ke dunia yang lebih luas. Penyebaran industri budaya baru dalam banyak hal terkait dengan penyebaran kesadaran baru sebagai bangsa Indonesia yang tidak tertinggal dalam perkembangan teknologi. Sejarah mencatat bahwa munculnya wajah bangsa Indonesia dalam media teknologi merupakan kemajuan yang sangat signifikan. Seperti yang diungkapkan dari salah satu sumber di bawah ini:
Media telah memberikan orang yang paling udik akses ke media hiburan moderan seperti Film. Media-media itu memperbesar lingkungan mental dan sekitarnya dan membawa orang-orang ke dalam kontak dengan masyarakat yang lebih luas, melalui layar. Mereka pertama kali melihat wajah-wajah para pemimpin nasional dan ibu kota “bangsa”. Dengan demikian menjadi terbiasa dengan peritiwa yang terjadi di luar lingkup kecil masyarakat mereka (1991:65).
Dari pemahaman batas usia orang muda, secara umum maupun khusus di atas, bagi penulis untuk EKM tidak menjadi hal yang menghambat dalam mengikuti ritual EKM di gereja Kota Baru. Intinya usia melewati dari yang ditentukan di masyarakat, akan tetapi ‘Gereja’ tetap melihat keunggulan lain yaitu berjiwa muda dan semangat dalam merayakan iman. Sebab dalam mengikuti perayaan keselamatan dikumpul menjadi satu dalam mengikuti perjamuanya yang kudus.
Selanjutnya, penulis akan menguraikan peran media komunikasi dalam perwartaan. Pada bagian ini, penulis mendeskripsikan kekhasan media Cyberspace (internet) yang sangat membantu dalam perwartaan Kerajaan Allah di Gereja Katolik. Tetapi ada sisi lain yang perlu dikritisi oleh penulis yaitu kode etik penggunan internet bagi ruang publik dan secara khusus kaum religius. Kemudian aspek lainnya adalah menyoroti sisi positif dan negativ bagi para penikmat/pengguna dunia virtual.
Peran Media Komunikasi Dalam Pewartaan
Peran Media komunikasi dalam pewartaan, menjadi daya magnet bagi ‘Kaum Muda’. Era globalisasai melahirkan kemajuan pesan di bidang teknologi informasi komunikasi, yakni dengan ditemukan media internet. Dunia yang mulanya ‘dikenal’ secara geografis belaka, kini menemukan dimensi baru yang sering disebut sebagai dunia maya atau dunia Virtual. Sangat beruntunglah generasi yang lahir dikemajuan zaman, karena internet menghadirkan ruang-ruang publik baru bagi semangat hidup dan bahasa simbolik yang muncul dalam media tersebut. Masyarakat masuk dalam terminal budaya moderan dengan dunia maya yang sungguh mengikat bagi inspirasi imaginasi orang muda. Tak pelak lagi, telah terjadi revolusi komunikasi yang mengaburkan batas-batas konvensional dalam cara bersosialisasi manusia.
Setiap komunikasi itu menggunakan konstelasi inderawi yang berbeda dan mempengaruhi pembentukan pribadi dan identitas yang khas. Menurut Black Jay dan Frederick Whithey, komunikasi merupakan proses di mana masing-masing individu terlibat dalam tukar menukar makna. Dalam proses itu seseorang Individu (komunikator) menyampaikan stimulus (rangsangan) untuk mengubah perilaku individu lainya. Bahkan mungkin bisa bertukar nalar dan iman untuk disharingkan dalam wilayah personal tentang iman dan pengetahuan secara kritis menjadi ruang kebebasan untuk berkomunikasi yang intens.
Orang Indonesia sekarang ini, hidup dalam zaman komunikasi baru. Revolusi internet sebagai agama baru, dan revolusi digital ini berasal dari hasrat “imaginasi” dan hasrat manusia untuk membangun jaringan dan link untuk mengatasi keterbatasan. Konsep cyberspace (Internet), mengajikan sebuah “agama” secara implisit nternet muncul sebagai sumber pengharapan akan dunia baru yang lebih baik. Internet Age: revolusi gelombang ketiga (Toffler) ditandai oleh: kedamaian, kebebasan, demokrasi dan kemakmuran). Oleh karena itu Internet bukan hanya sekedar sarana atau medium, mempengaruhi sensorium (gerak gerik inderawi, cara merasakan dan menyelami, cara merespon stimulus dari luar), tetapi dapat mengubah proxismentrics of everyday life . Namun yang perlu dikritisi dalam gerakan revolusi internet akan memuncul gerakan keagamaan baru menjadi fenomenal yang tak tertandingi lewat dunia virtual menjadi sajian menarik untuk mempengaruhi publik ikut berenang dalam arus ideologi yang menyesatkan.
Ketika Marhall McLuhan menulis ‘Undertanding Media’ pada tahun 1964, komputer belum berkembang. Akan tetapi, apa yang akan terjadi menyangkut kehidupan masyarakat dan kebudayaan di masa depan sudah dapat diramalkan dari tulisan-tulisannya. Masa depan selalu menjanjikan kebaruan-kebaruan yang mengagumkan. Namun sejak kapankah kemungkinan yang tak terbatas dari kemajuan manusia mulai diantipasi. Sejak Gutenberg menerapkan kemajuan mesin cetak untuk tulis-menulis, kata Mcluhan.
Sebelum itu, kebiasaan tulis menulis memang sudah berkembang, bahkan jauh sebelum abad masehi. Akan tetapi, pada waktu itu, tulis menulis merupakan pekerjaan tangan saja dan hasilnya disebut “tulisan tangan” (Manuskrip). Proses peradaban manusia dibidang pengetahuan semakin berkembang meskipun disadari bahwa tangan tidak bisa menuliskan banyak surat dalam waktu yang pendek.
Di zaman ini, perubahan peradaban manusia begitu cepat dengan revolusi teknologi komunikasi. Penemuan paling canggih pada akhir abad XX di bidang media komunikasi adalah internet. Media ini menjadi sebuah sistem yang memungkinkan berbagai jaringan saling berhubungan satu satu sama lain, sehingga seseorang yang sedang berada dalam salah satu jaringan itu dapat berkomunikasi dengan orang yang tengah di jaringan lain. Media komunikasi ini, memiliki karakter global dan tanpa batas; tidak terikat dengan batas wilayah dan negara.
Menurut penulis, internet tidak hanya menciptakan sebuah pola pikir. Ia juga menawarkan sebuah “dunia” yang memungkinkan manusia modern bergulat denga ajakannya yang sangat magis. Sebegitu masifnya perkembangan komunikasi internet ini, membuat tatanan hidup manusia turut digerakkan karenanya. Dunia kian menjadi sebuah ‘kampong global’. Apa yang terjadi di dunia lain, bisa di saksikan di benua lain dalam hitungan menit. Fenomena ini layaknya monster yang dengan kekuatannya mampu menyedot perhatian manusia-manusia rasional zaman ini. Hal ini ditegaskan oleh Andi purnomo bahwa kehadirannya membuat manusia larut dan terpesona oleh kecanggihan dan cara kerjanya yang multidinamis.
Konsili Vatikan II, secara khusus membicarakan tentang alat-alat komunikasi melalui dekkrit tentang alat komunikasi (art.1) dengan tegas mengatakan bahwa:
Antar penemuan teknologi yang menakjubkan, yang terutama dewasa ini, dengan restu Allah, diolah kecerdasan manusia dari ciptaan, Bunda Gereja menyoroti dan mengikuti dengan keperihatinan khusus penemuan itu, yang sangat menyangkut roh manusia, dan yang membuka jalan baru untuk menyalurkan dengan mudah serba ragam berita, pemikiran dan perintah. Di antara penemuan-penemuan ini,unggulah alat-alat, yang kodratnya mampu mencapai dan menggerakan bukan saja masing-masing manusia tetapi juga masyarakat luas dan seluruh umat manusia seperti pers, filem, radio, televisi dan alat-alat sejeni, yang sebab itu tepat dapat disebut alat komunikasi Sosial.
Entah disadari atau tidak, penulis menyadari bahwa kehadiran multimedia ini kian merasuki dalam di tembok biara menjadi viral utama setiap hari. Gaya pewartaan yang semula menekankan segi narasi, tatap muka dan sebagainya , kini para ‘Kaum Religius’, harus berjibaku dengan gaya pewartaan melalui internet, melalui dunia maya. Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana sikap “kaum religius’ menghadapi situasi seperti ini? Haruskah mencoba hal-hal yang baru dengan perkembangan zaman ini? Masihkah gaya pewartaan dengan bercerita, tatap muka ynag bisa membangun iman umat? Pertanyaan ini tidaklah mudah untuk di jawab. Maka penulis sendiri terkadang mempunyai kesulitan untuk memberi pemahaman kode etik cara menggunakan media sosial dengan kaum awam. Benarlah apa yang katakan oleh Jozef Banka (1993:68-79) bahwa suatu ciri yang menonjol dalam perubahan-perubahan dunia (teknologi) masa kini yaitu: tersentuhlah salah satu dari wilayah kemanusian yang paling hakiki, ialah kepribadian.
Lalu muncul pertanyaan, bagaimana peran media komunikasi dalam pewartaan? Media komunikasi ternyata juga memainkan peranan penting dalam karya pewartaan. Media komunikasi dapat digunakan untuk mewartakan ajaran-ajaran Kristus, agar ajaran-ajaran Kristus tersebut dapat dikenal dan diterima seutuhnya oleh seluruh manusia di dunia. Dan akhirnya ajaran-ajaran Kristus itu tidak hanya membawa keselamatan bagi umat beriman kristiani saja, melainkan juga kemajuan bagi seluruh manusia di dunia.
Menurut pengalaman penulis ketika berselancar dalam dunia virtual khususnya lewat Facebook sebagain besar pertemanan saya yang seiman dan sepanggilan tidak jarang media komunikasi dipakai untuk menebarkan keutamaan teologal: iman, harapan dan kasih kepada umat beriman kristiani, agar supaya iman, harapan dan kasih terus bertumbuh dan berkembang sesuai dengan yang dikehendaki-Nya. Selain itu juga, media komunikasi dapat dimanfaatkan untuk mempererat tali persaudaraan, menggalang solidaritas, menyuarakan keadilan dan perdamaian dunia.
Untuk mendukung pengalaman tersebut, penulis mengutip pesan singkat Bapa Suci Paus Fransiskus dalam rangka ‘Hari Komunikasi Sedunia ke-50 tahun 2016, yang diperingati pada Minggu, 8 Mei, Paus Fransiskus menulis pesan khusus:
Tahun Suci Kerahiman mengajak kita semua untuk merefleksikan keterkaitan antara komunikasi dan kerahiman. Gereja, dalam kesatuan dengan Kristus sebagai penjelmaan yang hidup dari Bapa Yang Maha Rahim, dipanggil untuk mewujudkan kerahiman sebagai ciri khas dari seluruh diri dan perbuatannya. Apa yang kita katakan dan cara kita mengatakannya, setiap kata dan sikap kita, harus mengungkapkan kemurahan, kelembutan dan pengampunan Allah bagi semua orang. Kasih, pada hakikatnya, adalah komunikasi; kasih mengarah kepada keterbukaan dan kesediaan untuk berbagi. Jika hati dan tindakan kita diilhami oleh kasih insani, kasih ilahi, maka komunikasi kita akan disentuh oleh kuasa Allah sendiri.Sebagai putra dan putri Allah, kita dipanggil untuk berkomunikasi dengan semua orang, tanpa kecuali. Dengan caranya yang khusus, perkataan dan perbuatan Gereja dimaksudkan seluruhnya untuk menyampaikan kerahiman, menjamah hati orang-orang dan mendukung perjalanan manusia menuju kepenuhan hidup seperti yang dimaksudkan Bapa ketika mengutus Yesus Kristus ke dunia. Ini berarti bahwa kita sendiri haruslah bersedia menerima kehangatan Bunda Gereja dan berbagi kehangatan itu dengan orang lain, sehingga Yesus dapat dikenal dan dikasihi. Kehangatan itulah yang memberi hakikat kepada sabda iman; melalui pewartaan dan kesaksian kita, sabda iman itu menyalakan “percikan api” yang memberi mereka kehidupan.
Bagi Paus Fransiskus, Komunikasi memiliki kekuatan untuk mempertemukan, menciptakan perjumpaan dan penyertaan, dan dengan demikian memperkaya manusia. Betapa indahnya ketika orang-orang memilih kata-kata dan melakukan perbuatan dengan penuh kepekaan, agar bisa terhindar dari kesalahpahaman, untuk menyembuhkan kenangan-kenangan yang terluka dan membangun perdamaian dan keharmonisan. Kata-kata dapat mempertemukan pribadi-pribadi, antar anggota keluarga, kelompok-kelompok sosial dan bangsa-bangsa. Hal ini bisa terjadi di dunia nyata maupun dunia digital.
Melalui surat ‘Hari Komunikasi Sosial’ ini, penulis mempunyai pandangan bahwa di era digital sebenarnya sangat membantu bagi pewarta melalui internet dan film-film. Model pewartaan atau katekese juga dapat dengan menggunakan gambar-gambar seperti gambar-gambar kudus. Gambar-gambar ini bisa disajikan lewat layar LCD yang kemudian dari gambar ini, seorang pewarta dapat membawa umat untuk berefleksi dari gambar-gambar tersebut atau dengan menanyakan kesan mereka setelah melihat gambar-gambar tersebut. Maka seorang pewarta memang harus hadir juga secara virtual pada wilayah kebutuhan kultural dan budaya fantasi bagi orang lain. Dengan demikian pemanfaatan sarana-sarana canggih ini sungguh-sungguh dapat membantu pewartaan dijaman teknologi seperti sekarang ini. Setelah kita mengetahui fondasi spiritual dan intelektual, maka kita dapat mulai memikirkan tentang metode yang dapat kita lakukan. Lihat contoh twitter dari Vatikan. Vatikan sendiri mempunyai channel youtube.
Menurut penulis, ketika pemimpin otoritas tertinggi Vatikan, Paus Fransiskus telah meminta kepada seluruh biarawati untuk meninggalkan kebiasaan menggunakan media sosial seperti Facebook dan Twitter, hal itu dilakukannya karena melihat bahwa penggunaan media sosial tersebut dapat membuat kaum biarawati lalai dan mengalihkan perhatian dari kewajiban keagamaan. Bukan hanya meminta biarawati untuk meninggalkan kebiasaan menggunakannya saja, Paus asal Argentina ini, meminta langsung kepada biarawati untuk meninggalkan smartphone. Paus berharap kepada para biarawati untuk selalu fokus pada 12 aspek keagamaan, termasuk doa dan firman Tuhan. Permintaan ini dirilis oleh Konstitusi Apostolik dengan judul ‘Mencari Wajah Tuhan’. Dalam rilis tersebut, Paus mendesak biarawati menghindari media sosial karena dapat mengganggu dan menyita waktu.
Dilansir Metro, Senin (25/7/2016), beberapa pihak melihat hal ini dengan berbeda, karena larangan ini terlihat aneh jika mengacu pada Paus sendiri yang diketahui memiliki pengikut di Twitter sebanyak 9,6 juta dan 2,8 juta di Instagram. Kendati demikian, Paus mengakui bahwa smartphone dan tablet merupakan dua alat yang sangat berguna untuk menjalin komunikasi. Namun juga memperingatkan kepada biarawati supaya tidak membiarkan aktivitas apa pun menghalangi kehidupan kontemplatif mereka.
Lalu apa dampak dampak positif menggunakan ‘Media Komunikasi”. Menurut penulis banyak sekali bermanfaatmya. selain sebagai sarana pewartaan nilai-nilai iman melalui media komunikasi setiap hari diberitakan, ditanamkan, dan dibatinkan kepentingan-kepentingan dan ideologi dari seseorang atau sekelompok orang kepada siapa saja yang menerimanya. Bagaimanakah sikap orang kristiani dalam hal penggunaan media komunikasi ini? Sebagai murid Yesus, mengingat amanat terakhir Yesus. Menurut Injil Markus mengenakan pada pewartaan Injil oleh Tuhan dipercayakan kepada para rasulnya yang sifatnya universal tanpa batas: Pergilah ke seluruh dunia; wartakanlah kabar gembira kepada segala makhluk” (Mrk 16:15). “Kabar gembira yang diwartakan pertama-tama, karena atas dasar ‘Kasih’ sebagai misi kepada sesama manusia.”
“Maka bagi penulis, dalam pewartaan dewasa ini, alat-alat komunikasi mempunyai tempat yang istimewa. Bagaikan tempat wisata yang sedang belayar dalam dunia virtual bersama Yesus, karena penulis bisa melihat secara langsung di dunia maya dan pesan-pesan-Nya secara nyata. Internet seolah-olah memandu penulis dalam wisata rohani. Dalam batin, penulis diajak untuk bermenung seperti sedang berziarah bathin di muka bumi ini. Akan tetapi di lain sisi ada juga dampak negatif dari penggunaan media yang perlu diwaspadai karena dapat memunculkan dampak negatif bagi kehidupan manusia. Beberapa penelitian menemukan dampak negatif dari beberapa alat-alat elektronik bagi kesehatan manusia.
Yang perlu diwaspadai juga adalah dampak psikologis, khususnya pada relasi antar manusia. Bisa jadi, gara-gara media komunikasi, antaranggota keluarga bertengkar atau berselisih kaena masing-masing memiliki tayangan favorit, sementara tidak ada yang mau mengalah. Gara-gara televisi pula keluarga menjadi terpecah karena masing-masing memilih media sendiri-sendiri. Inilah tantangan kemanusian yang bersifat universal karena pesannyapun diselancarkan secara universal pula. Ada anggota keluarga yang memilih keluar rumah dan bergabung dengan orang lain yang memiliki tayangan favorit sama. Akhirnya relasi antar anggota keluarga menjadi renggang. Media komunikasi (internet) membuat jarak yang memisahkan merek dan lebih parah lagi bisa menjadi korban bagi orang lain.
Berdasarkan fenomena tersebut, bagi penulis bahwa teknologi sangat bermanfaat dan berdampak positif ketika manusia menggunakan teknologi secara tepat sesuai dengan fungsinya. Akan tetapi teknologi berdampak negatif karena seseorang memiliki potensi, kecenderungan atau sikap yang negatif di dalam dirinya. Maka perlu waspada agar jangan sampai dimanfaatkan oleh teknologi, sebaliknya manusialah yang harus memanfaatkan teknologi. Jangan sampai dalam proses pewartaan Injil Kerajaan Allah terganggu bahkan terpengaruh oleh teknologi yang tidak sesuai dari tujuan dan maksud penggunaan media tersebut.
Setelah memaparkan seluk beluk dari media komunikasi tersebut, akhirnya orang muda pun bisa memahami maksud dan tujuan media virtual, ketiak masuk pada wilayah EKM. Selanjutnya penulis secara khusus membahas pemahaman ‘Liturgi EKM’. Adapun tujuannya agar orang muda tidak hanya ikut-ikutan membuat EKM tanpa dipahami dahulu baik secara teologis maupun pengetahuan liturgi itu sendiri.
C. Pemahaman Liturgi EKM
Pada bagian ini penulis memaparkan bahwa peran media sangat penting untuk membantu orang muda dalam berliturgi kekinian. Orang Muda yang menyaksikan selama EKM lewat TV LCD memainkan emosi dan pesan yang kuat untuk berlarut di dalamnya. Maka muncul pertanyaan apakah media itu sangat membantu EKM.
Meskipun belum ada ahli yang merumuskan Liturgi EKM, tetapi sejauh penulis mengamati bahwa Liturgi EKM merupakan salah satu bentuk pendampingan iman kelompok dalam bidang kerohanian. Bentuk pendampingan iman melalui EKM ini mempunyai keunggulan, yaitu dapat melibatkan kaum muda dalam proses pendampingan dengan menggunakan media komunikasi yang ada. Keterlibatan kaum muda dalam bentuk pendampingan melalui EKM ini tidak hanya menjadikan kaum muda sebagai petugas liturgi saja akan tetapi juga melibatkan kaum muda sebagai perencana program pendampingan dengan kolaborasi media virtual dan perspektif orang muda.
Menurut hemat penulis, liturgi EKM pada perinsipnya tidak jauh berbeda dengan liturgi Ekaristi pada umumnya. Akan tetapi kekhasan EKM adalah dilibatkannya kaum muda dalam persiapan dan pelaksanaan peryaan liturgy secara virtual. Pada bgaian ini penulis akan memaparkan tentang liturgy EKM. Karena Liturgi EKM menjadi bagian dari liturgi, maka pertama-tama orang muda juga harus mengetahui pengertian liturgi itu sendiri. Istilah leiturgia berasal dari bahasa Yunani, disusun dari duakata laitos dan ergon. Laitos berarti rakyat/umat sedangkan ergon berarti perbuatan, tindakan, atau pekerjaan. Dalam bahasa Yunani Kuno, kata Leiturgia berarti pekerjaan amal untuk rakyat. Kemudian kata Leiturgia tersebut dalam bahasa Yunani PB mendapat arti baru, yakni kebaktian bersama dengan umat dan atas nama umat. Sedangkan kata Laos berubah sebagai bangsa Tuan/umat Katolik, maka kata Leiturgia diartikan sebagai kebaktian Gereja dari umat Tuhan, bersama dengan imam,untuk memuliakan dan berdoa kepada Allah di surga (Niederer, 1959:343).
Berdasarkan Ensiklopedi Gereja pengertian liturgi adalah: Ibadat resmi atau pemujaan dan sembah bakti kepada Tuhan yang dilakukan oleh Gereja. Liturgi ini melangsungkan ibadat Kristus sebagai Imam Agung, yang hadir bila dua atau tiga orang berkumpul atas nama-Ku (Mat 18:20). Melalui ibadat, umat Kristen diarahkan kepada Allah Bapa. Ini berarti liturgi mengamalkan tugas pokok Kristus sebagai Imam, Guru dan Raja. Termasuk liturgi: perayaan semua sakramen, ibadat harian dan ibadat sabda yang menggantikan perayaan misa kudus kalau seorang imam tidak dapat mengetahuinya. Selain itu liturgi juga merupakan pengudusan (yang dilaksanakan Allah) dan pemuliaan (yang dilakukan oleh umat yang dikuduskan itu). Terlebih dahulu Allah bertindak dan kemudian umat menjawab tindakan Allah dengan bersyukur. Maka ucapan liturgi yang pokok adalah Perayaan Ekaristi (Heuken, 1991:96).
Konsili Vatikan II, dalam Sacrosanctum Consilium tidak memuat secara jelas definisi tentang Liturgi. Beberapa kalimat yang menyinggung pengertian liturgy tersirat dalam art.2 sebagai berikut:
Liturgi merupakan upaya yang sangat membantu kaum beriman untuk dengan penghayatan mengungkapkan misteri Kristus serta hakekat asli Gereja sejati, serta memperlihatkan itu kepada orang-orang lain, yakni bahwa Gereja bersifat sekaligus manusiawi dan Ilahi, kelihatan namun penuh kenyataan yang tak kelihatan, penuh semangat dalam kegiatan namun meluangkan waktu juga untuk kontemplasi, hadir di dunia namun sebagai musafir (SC, art.2).
Maka dari penjelasan di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa dalam merayakan liturgi, semua umat beriman pada Yesus Kristus, memupuk pengharapan akan kebahagian kekal di surga. Dan bagaimana ini bisa menjadi keyakinan orang muda maka kegiatan liturgi dengan mengunakan tanda-tanda lahir yang bisa dilihat dan dirasakan. Benarlah apa yang diungkapkan oleh salah satu ahli bahwa: “Umat beriman (orang Muda), menggunakan kata-kata atau lambang/simbol yang dapat dilihat atau dirasakan oleh umat yang hadir dalam liturgi tersebut (Marsana Windhu, 1997:17).
Maka muncul pertanyaan, bagaimana me-magnet kaum muda untuk mengikuti Ekaristi lewat Mimbar Virtual? Pada bagian penulis mencoba mengelaborasi sesuai yang penulis amati selama mengiktui EKM di Gereja Kota baru dan terutama pada tanggal 24 Desember 2016. Pertama-tama bersama kaum muda, harus memahami betul arti Ekaristi. Kata “Ekaristi” berasal dari kata Yunani “Eucharistia” yang berarti ‘syukur/pujian.” Jadi mengikuti Ekaristi bersyukur dan memuji (Marsana Windu, 1997:18). Pengertian Ekaristi masih menjadi inti yang pokok dari pegertian EKM, namun yang menjadi khas dari EKM adalah keterlibatan kaum muda dalam perayaam tersebut secara virtual. Keterlibatan umat yang tidak hanya merayakan saja, namun juga terlibat sebagai petugas dan terlibat pula dalam persiapannya. Pernyataan pedoman pastoral untuk liturgi, art.83 menyatakan bahwa “liturgi” sebaiknya mengikutsertakan kaum muda dalam persiapannya, sehingga mereka dapat merasakan bahwa perayaan tersebut adalah perayaan mereka sendiri.
Pernyataan ini dipertegas lagi dalam art.84 yang menyatakan bahwa kaum muda sebanyak mungkin harus dilibatkan dalam persiapan liturgi. Tema, teks-teks, dan lagu-lagu liturgi kaum muda sebaiknya sesuai dengan kebutuhan kaum muda. Di EKM tim liturginya mendesainnya seperti produk film video, seperti film singkat untuk selingan permenungan tema Natal 25 Desember 2016. Naskah ini seakan-akan menjelaskan bahwa seluruh perayaan liturgi hendaknya menolong kaum muda untuk berpartisipasi penuh dalam misteri yang dirayakan, secara aktif dan sadar, dan dengan cara-cara yang sesuai dengan aspirasi mereka. Selain itu, sebaiknya dalam litugi EKM diciptakan juga suasana yang dapat membina keasadaran dan kepekaan terhadap misteri iman. Untuk mendukung suasana tersebut, maka perlu dihindari liturgi yang hanya mengutamakan terciptaknya suasana gembira atu ramai saja (Komisi Liturgi MAWI, 1984:66).
Tata liturgi EKM tidak berbeda dengan tata liturgi Ekaristi yang resmi, namun tata liturgi EKM dinkulturasikan dengan kebudayaan kaum muda. Inkulturasi tata liturgi EKM dibuat sesuai dengan instruksi De Liturgia Romana et Inculturatione yang menghendaki supaya inkulturasi liturgi dapat memuaskan kebutuhan budaya tradisional, tetapi sekaligus memperhitungkan kebutuhan budaya tradisional, tetapi sekaligus memperhitungkan kebutuhan kota dan budaya industri yang sudah mempengaruhi Kaum Muda (Kongregasi Ibadat dan Tatatertib Sakramen, 1995: 31).
Sejauh penulis membaca fenomena EKM di gereja Katolik, bahwa tidak semua gereja particular bisa menerima EKM. Maka muncul sebuah pertanyaan apakah ada dasarnya? Dasar EKM adalah himbauan dari para Bapak Konsili Vatikan II kepada para pastor tentang pembinaan liturgi kaum beriman, “ hendaklah para gembala jiwa dengan tekun dan sabar mengusahakan pembinaan Liturgi kaum beriman serta mengikutsertakan mereka dalam liturgi secara aktif baiklahir maupun bathin sesuai dengan umur mereka” (SC.art.19).
Namun orang muda harus tahu bagian-bagian EKM tidak berbeda dengan bagian-bagian Ekaristi pada umumnya. Inti Ekaristi adalah ‘Doa Syukur Agung’ (DSA) dan Komuni seperti yang di katakan oleh imam berikut ini:
Namun, tidak mungkin ada komuni tanpa roti dan anggur. Maka penyediaan roti dan anggur, yang lazim disebut persembahan, juga termasuk amat penting. Memang itu bukan yang paling pokok, tetapi syarat mutlak. Oleh sebab itu dapat dapat dikatakan bahwa bagian yang pokok adalah persembahan, doa syukur agung, dan komuni, yag kesemuanya disebut Liturgi Ekaristi (Jacobs, 1996:40).
Selain itu unsur liturgi EKM yang perlu diperhatikan Liturgi sabda, bacaan pertama dan kedua. Gereja mengingat kembali sejarah karya keselamatan Allah bagi manusia. Lewat liturg sabda ini, menjadi jelaslah apa yang syukuri dalam DSA, yang merupka inti Ekaristi (bdk. Jacobs, 1996:42).
Unsur-unsur liturgi lain yang perlu diperhatikan dalam EKM antara lain adalah unsur bahasa, bentuk musik, lagu, tata gerak dan sikap badan, gerakan-gerakan tari dan dekorasi. (Bdk Kogregasi Ibadat dan Tatatertib Sakramen 195:36-39)
Akan tetapi adapun alasan mengapa EKM sebagai bentuk Pendampingan iman seusai ‘Kaum Muda Gereja’ karena unsur-unsur yang disukai oleh orang muda unsur yang bersifat santai namun mendalam (Suhardianto, 2002:11-12). Selain bersifat santai dan mendalam, liturgi EKM juga menuntut keteribatan Kaum muda dengan menggunakan media virtual. Keterlibatan Kaum Muda dalam EKM diperlukan dalam persiapan, penentuan tema liturgi atau pun penyusunan tata liturgi EKM. Yang perlu diperhatikan juga dalam EKM keterlibatan kaum muda sebagai: dirigen, anggota koor, solis, pengacara, petugas kolekta, penghias altar, misdinar, pemain drama visualisasi Kitab Suci, Penari persembahan/Pembukaan, pemain musik dan lector ( Komisi Litrugi MAWI, 1984:66). Dengan melibatkan orang muda dalam upaya dan pelaksanaan liturgi, maka usaha pendampingan iman yang membutuhkan syarat kerja sama antara pendamping dengan peserta dalam persiapan ataupun pelaksanaan EKM dapat tercapai. Selain itu adanya evaluasi Tim Kerja EKM setiap acara EKM sudah selesai. Inilah khas dari EKM itu sendiri.
III: PENUTUP
Kaum Muda dalam gereja adalah generasi penerus Gereja di masa mendatang. Sebagai generasi penerus, mereka perlu disiapkan dalam berbagai bidang, khususnya dalam hal iman. Gereja perlu menyiapkan kaum muda dalam hal iman supaya iman mereka menjadi matang. Sebab bagaimana pun juga di usia produktif dalam zaman yang ditawarkan penuh kebebasan, membuat orang muda ikut terbawa arus dalam memilih agama sebagai hak individual. Dengan iman yang matang, kaum muda akan menjadi dewasa sehingga siap berkomitmet dalam menghayati Iman katolik yang diyakininya sejak yang menajdi warga/kelurga Katolik. Kaum muda Indonesia yang hidup dalam bingkai prulalisme dan multikutural setidaknya fungsi media virtual tidak hanya hadir dalam EKM saja, sampai pada nilai sosial yaitu mewartakan perdamaian bagi banyak orang di muka bumi ini. Di era globalisasi yang penuh dengan sekularisasi ini, seperti yang dikatakan oleh Paus Fransiskus, yaitu semua pemimpin religius umat katolik, harus belajar dan mengetahui segala bentuk teknologi komunikasi yang ada sekarang ini. Pernyataan itulah yang mematahkan paradigma kalau pemimpin spiritual lekat dengan sifat yang kolot dalam soal teknologi. Sebab, Paus mulai memberikan semangat kepada kaum muda Katolik untuk memanfaatkan dengan benar internet.
Oleh karena itu, diharapkan melalui EKM di mimbar virtual hendaknya orang muda berupaya dan berusaha sebaik mungkin untuk menggunakan teknologi yang ada demi perjumpaan dnegan Yesus. Karena di zaman yang modern ini sangat rugi kalau tidak menggunakan kecanggihan teknologi dalam menyampaikan Kabar Sukacita Allah. Sebab fenomena agama di masa kini hanya diukur kedalam jati diri seseorang apabila dia sanggup menyelami Tuhan yang diimani dan dijabarkan ke dalam masyarakat dengan pengalaman nilai religiusnya yang transenden namun imanen dalam kajian zaman moderan melalui media virtual yang menjadi viral orang muda tiap hari.
Akhir Kata
EKM di mimbar virtual, memang dahsyat. Dari pesimis menjadi optimis dari dunia maya menjadi nyata. Itulah kesan dari kedua temankku dalam perjumpaan dengan Yesus dalami EKM malam natal di gereja Kota baru Mereka yang mulanya terasa hampa, akan tetapi setelah usai perayaan ekaristi justru berkobar-kobar mensharingkan pengalaman natal dimalam itu. Dan satu ungkapan yang menarik bagi penulis, meskipun hanya lewat TV LCD, seolah-olah pesan yang disampaikan Natal keseluruhanya bisa dikuti dengan gaya teknologi kekinian dan update. Malam itu penulis ikut bergembira bersama kedua temanku, tanpa harus menjelaskan apa itu EKM. Sebab masih terbawa bayangan“lighting techniques”yang menggoda untuk tenggelam di TV LCD malam itu, yang sudah didesain oleh Patemon (Paguyuban Televisi Monitor) Kota Baru. Menurut kamus Istilah Televisi dan Film yang dimaksud dengan lighting techniques adalah:tata cahaya yang memiliki dua tujuan mencapai pencahayaan yang cukup dan menonjolkan subjek utama di dalam suatu scene. Pencahayaan sering disimulasikan dalam bentuk diagram cahaya. . Dan diakhiri semua perayaan EKM mereka menayangkan video singkat persiapan EKM melalui wawancara pastor paroki, panita Natal 2016 sebagai happy ending dari EKM tersebut. ∎∎∎
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Utama:
Bagus, Laksana, A. “Negoisasi Spritualitas di Cyberspace, “ Majalah BASIS No.7-8 Tahun 65 (2016), hlm. 4-15.
________________.(2013). Menguak Perkara Agama:Perkembangan Studi Agama Kontemporer dan Tantangan di Indonesia, (Bahan Bacaan Kuliah IRB (2016), hlm. 103
Bosseti. Giancarl (ed.). (2009). Iman melawan Nalar. Yogyakarta: Kanisius. hlm.58-59.
Briggs, Asa. & Peter Burke . (2016). Sejarah Sosial Media; Dari Gutenberg Sampai Internet, A. Rahman Zainuddin (Tej.). Jakarta:Yayasan Obor Indonesia. hlm. 326-406.
D. O’Leary. Stephen (2004). ‘Cyberspace as Sacred Sapce: Communication Religion on Computer Networks, dlm. Lorne L. Dawson dan Douglas E. Cowan (eds.), Religion Online: Finding Faith on the Internet (Routledge), Pp.37-58.
King. Richard. (1999). Agama, Orientalisme, dan Poskolonialisme. Yogyakarta: Penerbit Qalam. hlm.50.
Scott Kugle, Sufis and Saint’ Bodies: Mysticism, Corporeality, and Sacred Power In Islam. (University of Nort Carolina Press, 2007), Introduction. Pp.1-43.
Bahan Pendukung:
Banka, Jozef. & Y.B.Mangunwijaya (Ed.), (1993). Teknologi dan Dampak Kebudayaannya, Jakarta: yayasan Obor Indonesia.
Baskara.T.Wardaya. (ed.), (2003). Pembebasan Manusia, Sebuah Refleksi Multimensional. Yogyakarta: Penerbit Buku Baik. hlm. 353.
Black Jay, & Frederick Whitney, (1992). Introduction to Mass Communication, Dubugue, Iowa: Wim C.Bromn. hlm.5
Bukum Imam. (2005). Tata perayaan Ekaristi.Jakarta: KWI.
D.Mariasusai. (1995). Fenomena agama.Yogyakarta: Penerbit Kanisius. hlm. 26-27
G.Moedjanto. G. dkk., (1992). Tantangan Kemanusiaan, Antologi Filsafat, Budaya, Sejarah Polik & Sastra. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. hlm.66-111
Hari. Juliawan. B. (2016) Media dan Gerakan Sosial, Majalah Basis, Nomor, 09-10, Tahun ke-65, 2016, hlm. 16-18
Hardawiryana. R. (Penerjemah). (1994). Konsili Vatikan II, Sacrosantum Conciilium. Jakarta: Dokpen KWI. (Dokumen asli diterbitkan tahun 1994).
Heru. Prakosa, (2016).Auto-Theisme: Paradoks Manusia yang mengaku Diri Ber-Tuhan, Majalah Basis Nomor 01-02, Tahun ke-65, 2016, hl.4-13
Heuken. Adolf. (1991). Ensiklopedi Gereja. Jakarta: Cipta Loka Caraka.
Ispuroyanto. Yoseph & Y.I.Waradi. (2010). Media Perwartaan Iman, Usaha Mencari model Perwartaan Iman pada zaman Digital. Yogyakarta: Studio Audio Visual Puskat.
Iswarahadi.Y.I. (2003). Beriman dengan Bermedia. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. hlm. 24.
Komisi Liturgi MAWI. (1984). Pedoman Pastoral untuk Liturgi. Yogyakarta: Kanisius.
Kongregasi Ibadat dan Tata tertib Sakramen. De Liturgia Romana et Inculturatione, (Komisisi Liturgi KWI, Penerjemah). (Jakarta: Dokpen KWI). (Dokumen Asli diterbitkan tahun 1994).
Lester. Meera. (2012). Sacred Travels. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama.
Lindholm, Tore. & W.Cole Durham, dkk., (ed.). (2010). Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan: Seberapa Jauh. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.hlm.339-341.
M.Shelton.Charles. (1998). Menuju Kedewasan Kristen. Yogyakarta: Kanisius.
Majalah Umat Baru, Tahun XLIV No.2 Juli-Desember 2012, hlm.94
Mangunhardjana. A.M. (1985). Membimbing Rekoleksi. Yogyakarta: Kanisius.
Marsana Windhu, I. (1997). Mengenal Tahun Liturgi. Yogyakarta: Kanisius
Niederer. C. H. (1959). Ibadat Gereja, Rohani, 10, 337-432
Pramono. Andi. (2016). Presentasi Multimedia dengan Macromedia Flash, Yogykarta: Penerbit ANDI. hlm.1-2.
Purnomo. Budi. A. (2011). Wonderful Europe. Jakarta: Kompas Gramedia.
Sudarminta. J. (2015). Alfred North Whitehead: Metafisika Pendidikan. Majalah Basis Nomor.11-12, Tahuan ke 64, 2015 hlm.12-17
Quirico. T.Pedregosa. (2011). The Love That Is Mission, (Philippine: Institute of Preaching Sto. Domingo Convent.
Riberu. J. (Tej.). (1983). Tonggak Sejarah Pedoman Arah-Dokumen Konsili Vatikan II. Jakarta:Dokpen MAWI. hlm.50-62.
Sakurai. Yoshihide, Darwis Khudori, (ed.). (2009). Maraknya Gerakan Politik berbasis Agama, Peluang ataukah Ancaman untuk perdamaian, keamanan, dan perkembangan Bangsa-bangsa. Yogyakarta: Penerbit USD. hlm.137-147
Sarapung. Elga. &Tri Widiyanto, (ed.). (2005). Pluralisme, konflik, dan Pendidikan Agama di Indonesia.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sholeh.Khoirul (2008). Wisata Spiritual.Yogyakarta: Penerbit Narasi.
Sudiarja. A. (2016). Kedalaman “ Jati Diri” Dalam Agama. Majalah Basis, Nomor, 11-12, Tahun ke-65, 2016. hlm. 4-15
Sugiardjo.S. & Budiwan. (Tej.). Sejarah Peradaban Barat Abad Pertengahan. Yogyakarta: PT.Tiara Wacana. hlm.265-265.
Suhardiyanto.H.J (2011). Kursus pendampingam Iman Anak, Diktat kuliah Semester Prodi IPPAK-USD. 2011.
Sunardi. St. (2016). dalam tulisan R. Barther. Dasar-Dasar Kajian Budaya. hlm.35-57.
_________. (2016). Dasar-dasar Kajian Budaya, Bahan Bacaan kuliah dalam artikel ‘The Alienation as a Theory of History’, hlm. 39-46.
__________. (2016). Dasar-dasar Kajian Budaya. Bahan Bacaan kuliah dalam artikel “The Young Hegelian” IRB 2016. hlm. 16-22.
__________.(2002). Semiotika Negativa. Yogyakarta: Penerbit Kanal. hlm. 205-206.
Susi & Agung. (2008). Ekaristi Kaum Muda Sebagai Salah Satu Sarana Mendekatkan Kaum Muda kepada Kristus, Majalah Rohani No.12 Tahun ke 55, Desember 2008
Tangdilintin. Philip. (1984). Pembinaan Generasi Muda, Visi dan Latihan. Jakarta: Obor.
Tod. Jones. (2015). Kebudayaan Dan Kekuasaan Di Indonesia. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Tom, Jacobs. Misteri Perayaan Ekaristi, Umat bertanya, Tom Jacob Menjawab, (Yogyakarta: Kanisius)
Valk. Van Der Jos. (1992). Produksi Film Video. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
_______________.(1992). Mengarang Naskah Video.Yogyakarta: Penerbit Kanisius
_______________. (1992). Wawancara Video dengan Satu Kamera.Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Wibisono. Ignatius. (2006). Seni Merayakan Hidup, Majalah Rohani No.04, Tahun ke-53, April 2006
Yustina, Guru di Era Gadget, Educare. Majalah Rohani, No.03 Tahun XIII, November, Desember 2016
Zoebazary. Ilham. (2010). Kamus Istilah Televisi & Film, (Jakarta: Kompas Gramedia, 2010).
http://katoliknews.com/2016/05/08/pesan-paus-fransiskus-untuk-hari-komunikasi-sosial-sedunia-ke-50/ diunduh, Rabu,10 Januari 2016 Pukul 4.54 PM.
http://nasional.kompas.com/read/2009/09/09/12230789/batasan.usia. diunduh 10-1-2017 pukul 8:52 PM
https://versodio.com/prayers/ekaristi-kaum-muda/ diunduh Kamis, 7 Januari 2017, Pukul 12.09 PM
https://www.google.com/search?q=contoh+instagram+Paus diunduh Rabu, 11 Januari 2017, Pukul 9.34 PM
https://www.google.com/search?q=contoh+twitter+Vatikan diunduh Rabu, 11 Januari 2017 pukul 9.30 PM
http://www.jawaban.com/read/article/id/2016/07/26/90/160726145906/paus_minta_para_biarawati_tinggalkan_media_sosial diunduh Rabu, 11 Januari 2017 pkl.8.14PM
https://www.google.com/search?q=tempat+kunjungan+Paus+Fransikus++bagi+orang+muda diunduh Rabu, 11 Januari 2017 pukul 8:47 PM
Ekaristi Natal Kaum Muda, (Teks Misa). Gereja Santo Antonius Padua Kota Baru- Sabtu, 24 Desember 2016.