I: PENDAHULUAN
Berawal wawancara singkat dengan Misionaris dari Belanda Br.Alexandro, MTB tentang pembangunan Gereja Katedral Pontianak, membuat penulis untuk mengkajikannya korelasi dengan mata kuliah Zending/Misi dan Pascakolonialitas. Dalam pertemuan tersebut muncul kegelisahan atas bangunan tersebut yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan dari membangun rumah Tuhan dalam konteks pembangunan struktural gereja setempat atau lokal. Terdapat kritikan tajam dari salah satu arsitektur dari Belanda. Kritikan tersebut semakin diikuti oleh penulis arah pemikirannya dan sangat menarik untuk mencari ruang yang bisa untuk bernegoisasi antara perspektif orang eropa dengan lokal. Maksud dari mengikuti arah pemikiran arsitektur dari Belanda tersebut, membuat penulis bisa memaknai arsitektur sekaligus membantu penulis untuk melihat fenomena pembangunan tersebut. Selain itu, penulis dapat merefleksikannya dari aspek filosofis, teologis, dan dapat memberi ruang bagi umat atau jemaat setempat untuk dapat menyampaikan aspirasinya dalam satu visi misi membangun gereja setempat.
Bertolak dari pengalaman perjumpaan wawancara dengan arsitektur belanda tersebut, penulis meninjau untuk bisa mempelajari permasalahan terhadap makna dari arsiktektur gereja dan korelasi terhadap kehidupan mengereja sekaligus menegoisasi peran budaya lokal dalam membangun gereja tersebut. Dalam meninjau permasalahan tersebut, penulis didukung oleh rujukan utama, yaitu tulisan Dr. Emmmanuel Subangun “Dekolonisasi Gereja di Indonesia, Proses Setengah Hati”, sekaligus lanjutan dari hasil presentasi dalam ruang studi akademik di Prodi IRB USD Yogyakarta. Oleh karena itu, penulis berpusat pada analisa dari arsitekturnya atas fungsional Gereja dan relevansi dengan kehidupan umat dengan didukung teori dari materi-materi di bangku kuliah.
Kegelisahan, pergumulan, dan keresahan adalah sifat manusiawi. Hal ini juga dialami oleh manusia ketika memandang sesuatu yang tidak beres di sekitar kehidupanya. Apalagi manusia berada di sebuah permukiman yang tidak bisa menikmati kehidupanya. Maka masalah menghuni dan bermukim di suatu tempat, memiliki arti yang sangat luas berhubungan dengan kehidupan manusia di dunia ini. Ternyata, masalah inipun berlaku juga dalam filosofi membangun gereja yang sarat dengan eksistensi manusia, alam, dan Penciptanya yang saling memberi makna dan menjadikan keseluruhan saling keterkaitan satu sama lain.
Maka membangun gerejapun tidak sekedar memenuhi aspek fungsional dan gereja bisa menampung banyak umat, bukan berarti tujuan pendiriannya telah usai. Memang tidak dapat disangkal, umat bertambah banyak, gereja pun menjadi kian sempit. Namun, tentu bukan itu tujuan utama membangun gedung gereja. Menurut Br. Alexandro, gereja bukan semata batu dan bata yang disusun menjadi indah nun megah. Gereja harus menjadi ruang umat beriman berhimpun mendengarkan Sabda Allah, mendaraskan doa, melambungkan pujian, dan merayakan kurban Ekaristi serta perayaan liturgi lain. Yesus menjadi kenisah Allah yang dibangun di atas “batu-batu yang hidup.”
Bangunan dalam hal ini, gereja merupakan hasil olah karsa, dan olah karsa umat pada zamannya. Yesus menjadi ungkapan kreasi dan iman umat. Gereja yang hadir di sekitar kita, sebaiknya gereja yang rela berdialog dengan umat sekitar, gereja yang akrab, dan mampu merangkul keaneragaman agama, budaya, dan kehidupan sosial. Dengan demikian, gereja pun menjadi amat domestik dan karib dengan situasi yang dirasakan, dialami, dan dijumpai umat. Gereja tidak menjadi bangunan yang asing, hadir menjadi sahabat yang akrab bagi sekitarnya, maka inkulturasi gereja pun sangat penting untuk mengimbangi dan mengintergrasi pengalaman gereja setempat. Pembangunan fisik gereja setempat dan lokal diberi ruang untuk bisa berkolaborasi keduanya.
Membangun gedung gereja harus beriringan dengan pembangunan gereja paguyuban umat beriman. Susunan batu dan bata itu, mestinya disuntik dengan iman “batu-batu yang hidup.” Dalam Nasihat Apostolik Evangelii Gaudium, Paus Fransiskus mengajak kita semua menjadi Gereja yang terbuka bagi semua orang dan terlibat dalam pergulatan hidup manusia, terutama yang miskin dan tersingkir; Gereja yang menjadi kumuh dan terluka, lantaran terlibat dalam perjuangan hidup manusia. Paus menolak Gereja yang narsistik, yang indah dan megah untuk dirinya sendiri.
Marcell Danesi (2004, 265) melihat bangunan sebagai tanda artistik. Gestur tubuh umat dalam ruang-ruang bangunan memiliki kekuatan naratif karena bagian-bagian sebuah bangunan ditafsir sebagai sesuatu yang terstruktur, sama dengan bagian-bagian sebuah kalimat atau cerita. Sebuah bangunan dalam pandangan Danesi memiliki arti simbolis dan mencerminkan fungsi dan struktur tertentu. Misalnya, bangunan-bangunan yang dibangun pada Abad Pertengahan memiliki satu ciri arsitektural yang menonjol. Bangunan yang menonjol dan tertinggi di cakrawala adalah gereja atau menara loncengnya. Hal ini menunjukkan bahwa sesuatu yang kuat menguasai diri kita saat kita mendongak untuk melihat bangunan tinggi. Kita dibuat merasa kecil dan tidak penting dibanding dengan bangunan tersebut dan timbul hasrat untuk mendapat aspirasi surgawi dengan cara yang konkrit. Seiring dengan perkembangan sekularisme dan kapitalisme, bangunan-bangunan tertinggi bukan lagi gereja atau istana-istana raja, tetapi bangunan milik bank dan perusahaan besar. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi perubahan struktur dan fungsi dalam masyarakat. Struktur hirarkhi sosial dan fungsi di dalamnya telah bergeser. Para pemimpin Gereja dan kaum ningrat tidak lagi menjadi penguasa dunia tetapi para eksekutif perusahaan dunia.
Dalam konteks budaya setempat khususnya di gereja Katedral Pontianak mengalami kesulitan ketika hal itu bisa dinegoisasi. Pada akhirnya tetap dominan pada gambaran gereja eropa walaupun masih ada ruang khusus untuk tiga etnis terbesar di Pontianak yaitu: etnis Dayak, Cina, dan Melayu. Gereja ini pun berdiri megah di antara bangunan toko dan pemerintahan di sekitarnya.
Merujuk pada uraian-uraian di atas, penulis memberi judul pada tulisan ini “Analisis Makna Arsitektur Gereja Katedral St. Yosef Pontianak Kalimantan Barat”. Di sini penulis menganalisa makna dari arsiktektur bangunan dan memberi ruang untuk berefleksi bagi penulis dan umat setempat, apakah kekokohan bangunan gereja tersebut membantu iman umat semakin kokoh dan semangat dalam kegiatan hidup menggereja? Apakah bangunan megah tersebut lebih bercorak eropa atau mengadakan negoisasi dengan kekhasan budaya Dayak setempat? Pertanyaan ini pun menjadi kritikan tajam dalam ketidakseimbangan pembangunan Gereja fisik dan gereja bangunan dalam wajah Gereja di Indonesia.
Berbagai pertanyaan yang ada dalam benak penulis untuk menganalisa makna bangunan tersebut. Namun, tidak bisa dalam waktu singkat untuk menjawabnya. Penulis harus melakukan meode pedekatan tokoh-tokoh yang berpengaruh dalam membangun gereja tersebut. Para tokoh tersebut adalah pemimpin Gereja, pemerintah yang berpengaruh dalam mendirikan bangunan tersebu, tokoh umat Katolik setempat, arsitektur, dan juga umat sendiri.
II: PEMBAHASAN
Pada bagian ini, penulis akan membahas beberapa pokok bagian, yaitu: (a) Sejarah Arsitektur Gereja dan Sejarah Singkat Gereja Perdana, (b) Perkembangan Arsitektur Gereja Ditinjau dari Zamannya, (c) Deskripsi Singkat Arsitektur Gereja Katedral Pontianak, (d) Dinamika Kehidupan Menggereja Umat Di Katedral Pontianak Merujuk Pada Kajian Subangun (2003).
A.Pengertian Arsitektur Gereja dan Sejarah Singkat Gereja Perdana.
Arsitektur Gereja adalah seni bangunan gereja. Arsitektur berasal dari bahasa Yunani: αρχή (arke) yang berarti permulaan dan τεχνή (tekne) yang berarti seni pertukangan. Secara harafiah, arsitektur adalah seni pertukangan yang pemula atau dasar. Arsitektur dianggap holistik, yaitu menyangkut hal-hal yang sakral dan profan. Dengan demikian, arsitektur gereja adalah seni pertukangan dari bangunan gedung gereja, sehingga pertimbangan pertama ditinjau dari tujuan dibangunnya gedung gereja, yaitu untuk ibadah. Gereja juga merupakan perwujudan sejarah dari hidup Kristus, maka nilai-nilai di dalamnya juga harus memiliki kesatuan dengan hati Yesus. Pentingnya sebuah rancangan yang matang agar gereja dapat memperhitungkan aspek-aspek; teologis, filosofis dan fisiknya.
Mendukung pemahaman di atas penulis mengutip beberapa pandangan dari sumber lain untuk mendeskripsikan arsitektur di dalam Gereja. Menurut sejarah, awal mulanya berangkat dari “Tradisi” Yunani dan Romawi sebagai referensi bangunan gereja. Di dalam bangunan tersebut sudah membicarakan tempat-tempat kudus atau sakral. Pilar-pilar bangunan sudah membicarakan tempat kudus. Lalu, pilar-pilar tersebut berbicara dengan munculnya bangunan gereja. Salah satu contoh adalah gereja di Italia Utara –Selatan dan Perancis yang merupakan daerah jajahan Inggris ornamennya di bawa ke gambaran daerah kolonial atau jajahan. Dengan demikian, proses hybrid akan terjadi ketika mengadakan negoisasi dengan budaya setempat, maka muncullah wilayah-wilayah persatuan orang-orang kudus, patung-patung, dan tempat-tempat lainya yang berfungsi bagi umat dalam beribadat.
Dalam sejarah “Arsitektur Gereja perdana” para arsitektur bangunan gereja pun mempelajari historis teologisnya. Dalam hal ini, para seni bangunan mempelajari pertemuan umat Kristen dalam kegiatan liturgi dan segera diadakan secara rutin setelah wafatnya Yesus Kristus. Hal tersebut merupakan pelaksanaan dari perintah Yesus Kristus seperti yang tertulis dalam Alkitab, Injil Lukas 22:19-20 “Lalu Ia mengambil roti, mengucap syukur, memecah-mecahkannya dan memberikan kepada mereka, kataNya: “Inilah tubuhKu yang diserahkan bagi kamu; perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku.” Demikian juga dibuat-Nya dengan cawan sesudah makan; Ia berkata: “Cawan ini adalah perjanjian baru oleh darah-Ku, yang ditumpahkan bagi kamu.” Kehadiran Yesus Kristus pada waktu masih hidup, sejak awal ditentang oleh masyarakat, sehingga pengikut Yesus mendapat tekanan berat dari penguasa pada waktu itu, mereka dikejar, dianiaya, bahkan dibunuh. Oleh karena itu ibadah yang mereka laksanakan tidak secara terang-terangan, tetapi secara sembunyi-sembunyi yang dilakukan di ruang-ruang bawah tanah berupa lorong-lorong, yang pada dindingnya ditempatkan makam-makam para martir.
Sampai pada masa berikutnya penempatan altar ini menjadi satu kesatuan dengan makam para martir. Altar selalu diletakkan di atas ruang makam para martir. Perkembangan selanjutnya altar tidak harus diletakkan di atas makam para martir, tetapi sebagai gantinya pada altar ditempatkan sesuatu yang religious, yaitu benda-benda yang berkaitan erat dengan kehidupan.
B. Perkembangan Arsitektur Gereja di tinjau dari zamannya.
Pada bagian ini, penulis memaparkan model-model arsitektur berdasarkan zamannya. Penjelasan pada bagian meteri ini, penulis mengutip dari berbagai sumber dan tulisan dari Tri Januariwan 2009.
Arsitektur Gereja zaman Romawi
Dalam setiap pertemuan atau ibadah tidak lagi diadakan dalam lorong- lorong, tetapi di gedung pertemuan besar yang diatur oleh para rohaniwan. Upacara resmi mengarah pada ibadat gerejani. Perubahan yang menyentuh citra gereja ini berpengaruh pada bangunan gereja. Gereja dibuat dengan model lain. Satu ujung gereja dibuat untuk tempat duduk para imam yang terpisah dari umat, baik menggunakan tirai maupun dengan meninggikan lantainya. Meja komuni dari kayu yang sederhana diganti altar yang dihiasi dengan logam mulia dan permata.
Bentuk yang paling umum digunakan adalah Basilica. Pada masa arsitektur Basilica, denah gereja berbentuk persegi panjang dan kebanyakan berbentuk tiga selasar, yaitu selasar tengah berlangit-langit tinggi dan dua selasar samping berlangit-langit rendah serta dengan deretan pilar. Ruang tengah yang digunakan untuk umat dan ada serambi di kanan dan kiri merupakan bentuk klasik katedral di abad pertengahan. Bentuk klasik tersebut menggambarkan kehidupan gereja pada waktu itu didukung oleh penguasa, maka kebutuhan bangunan gereja yang lebih luas dan besar semakin meningkat. Bangunan gereja yang lebih besar mulai dibangun, dengan mengambil pola bangunan aula besar zona itu, yakni Basilica.
1.Arsitektur Gereja Zaman Romanesque
Bangunan yang dibangun antara tahun 1050-1200 mempunyai kemiripan satu sama lain. Salah satu faktor yang menentukan munculnya bangunan pada abad ke-11 adalah karena orang-orang kristen percaya bahwa Kristus akan kembali ke dunia untuk kedua kalinya. Gereja mulai terbuat dari batu bukan lagi dari kayu. Sebagian ada yang dilengkapi dengan menara. 14 Bangunan gereja romanesque dalam struktur dan bentuk dasarnya kebanyakansangat mirip dengan Basilika yang dimodifikasi.
Perubahan utama terjadi pada atap yang terbuat dari batu. Tiang-tiang gereja pada zaman ini lebih besar dibandingkan dengan Basilica dengan membentuk relung-relung setengah lingkaran, seperti membentuk jendela-jendela yang kecil, dinding-dinding yang sangat tebal dilengkapi dengan menara tempat lonceng. Adanya ornamen bentuk ukiran berwarna skala besar yang melukiskan ajaran peringatan-peringatan kehidupan yang selalu memperoleh pahala dari Allah.
2.Arsitektur pada Zaman Gotik
Pada masa gotik ini para rohaniwan lebih berkuasa dibanding dengan para penguasa, sehingga dalam pembangunan gereja dibuat sebesar atau semegah mungkin. Belum pernah terjadi dalam sejarah bahwa suatu rencana pembangunan gereja sungguh mencerminkan keyakinan dan iman seperti yang terjadi di zaman gotik. Gaya ini berasal dari sebuah paroki di Perancis, yaitu gereja St. Dionisius. Seseorang bernama Abbos Sugen berusaha untuk membenahi gerejanya supaya sesuai dengan pemikiran religius pada waktu itu.
Ia menekankan bahwa gereja harus berpola pada pemerintahan suci di surga. Pandangan filsuf-filsuf Yunani tentang “Keteraturan Ilahi Alam Semesta” yang berpengaruh pada bangunan gereja. Ciri khas arsitektur gereja ini, yaitu adanya lengkung-lengkung lancip yang memungkinkan gedung-gedung tinggi dibangun. Gereja Katolik terdiri atas tiga sampai lima ruang yang dipisahkan dengan jejeran tiang. Pada sekeliling ruang altar biasanya terdapat kaca jendela dihiasi gambar warna-warni orang-orang kudus. Hal lain yang membuat gereja ini istimewa adalah adanya kesan serba teratur, serba ringan dalam material, dan serba dalam pada pencahayaannya. Filsafat arsitektur gotik adalah vertikalis, transparan, dan diafan. Garis vertikal mengungkapkan ciri zaman yang mengarah total pada Yang Mahatinggi.
Dinding kaca berwarna memperlihatkan cita-cita lepas dari kewaspadaan materi/kehidupan 15 yang fana. Diafan artinya cahaya yang menembus, selaku lambang rahmat Tuhan yang menembus kefanaan hidup manusia untuk menerangi dengan Nur Illahi. Gaya gotik menyebar di Inggris, Jerman, Italia, dan Perancis yang disesuaikan dengan tradisi lokal tempat tersebut. Dalam liturgi perhatian yang besar diberikan kepada para imam. Umat hampir tidak ambil bagian dalam ibadat.
3.Arsitektur Gereja Zaman Renaisan
Pada akhir abad 15 dan awal abad 16 terjadi suatu perubahan pandangan atas manusia. Hal ini juga mempengaruhi sistem politik, budaya, ekonomi, dan gereja. Pada zaman ini kombinasi pemikiran Yunani dan Kristen memusatkan pemikiran manusia pada manusia itu sendiri. Penggambaran Kristus, misalnya mulai menekankan ciri kemanusiaanya. Pada masa ini, pembangunan gereja disponsori oleh para pangeran, pedagang, atau para imamnya, sehingga tuntutan ibadat sering kurang diperhatikan. Hal ini dapat dilihat dari gambar rencana bangunan dengan sayap kecil, tetapi kubahnya besar. Kubah ini menjadi pusat seluruh bangunan.
Ukuran bangunan juga tidak lagi menjulang tetapi lebih “manusiawi”. Proposi wajar lebih diperhitungkan. Yang ditekankan pada masa ini adalah keutuhan. Maka tidak masuk akal bila sebuah gereja diubah atau ditambah setelah selesai dibangun. Gereja St. Spirito di Floence yang didesain oleh Brunelleschi adalah salah satu gereja yang dibangun pada zaman Renaisan.
4. Arsitektur Gereja Zaman Barok
Gaya Barok dapat dikatakan merupakan pembaruan dan kelanjutan bangunan penuh ukiran rumit dan zaman Renaisan. Kata Barok berasal dari Portugis “Barroco”, yaitu berbentuk panjang yang tumbuh “kurang teratur”. Sebab dalam selera pengaruh Yunani, bentuk yang teratur sempurna adalah bentuk lingkaran, yakni bentuk-bentuk yang diambil oleh kubah angkasa dan cakawala. Gereja-gereja di Italia pada masa ini berciri dramatis dan mengandung rasa religius mistis. Segala sesuatu yang berhubungan dengan gereja mempunyai arti emosional dan simbolis. Melalui susunan megah bagian dalam gereja orang dewasa terbawa ke alam tak terbatas.
Bangunan gereja menjadi satu kiasan gerbang surga. Plafonnya dilukis sedemikan rupa sehingga menyerupai bayangan surga yang sekan menular ke alam kemuliaan di atas. Gaya ini sangat disukai seniman pada abad 17 karena gaya Barok ini mengekspresikan iman yang menguatkan setelah kontrareformasi berhasil memperbarui kehidupan gereja.
5.Arsitektur Gereja Zaman Neo Klasik
Pada pertengahan abad 18 wibawa gereja merosot. Namun, pada masa ini menjadi periode bangkitnya hidup beriman. Dalam gereja Katolik ditandai dengan munculnya Ordo dan Kongregasi. Akibatnya adalah meningkatnya pembangunan gereja secara sporadik dan dengan gaya yang bermacam-macam. Yang cukup populer adalah gaya neo-klasik. Banngunan gaya neoklasik lebih sederhana namun kompak. Ciri gaya ini adalah teratur, indah dan kalem.
6.Arsitektur Gereja Zaman Abad 19
Banyak gereja yang memberi kesan dibangun hanya untuk dikagumi, bukannya untuk memenuhi kebutuhan jemaat. Ada gereja yang berbentuk ikan, mahkota duri, dan bentuk-bentuk simbolis lainnya. Namun, sering kali tidak memperhitungkan kebutuhan ruang-ruang yang diibutuhkan dan juga tidak memperhatikan adanya citra sebagai gereja. Dari segi arsitektur, ciri khas arsitektur modern masih mengadopsi bentuk-bentuk dari arsitektur zaman dahulu walaupun tidak begitu nampak. Arsitektur modern memberi jangkauan luas untuk menafsirkan kembali gereja sebagai tempat jemaat berkumpul atau sebagai lambang persaudaraan.
C. Deskripsi singkat Arsitektur Gereja Katedral Pontianak
Dalam bagian ini, penulis akan membagi tiga bagian pokok, yaitu pertama: sejarah singkat misi di Pontianak – Kalimantan Barat, kedua: pengertian Katedral, dan ketiga: makna Arsitektur Gereja Katedral Pontianak. Berikut ini akan dibahas secara singkat.
1.Sejarah Singkat Misi di Pontianak-Kalimantan Barat.
Di daratan belahan pulau Kalimantan, walaupun masih relatif baru, para misionaris Katolik giat melakukan evangelisasi. Belahan Barat seluas 146. 760km2 ini menjadi daerah tujuan para misionaris Katolik. Sejarah misi Katolik di Kalimantan Barat terekam dalam laporan-laporan para misionaris ordo Jesuit. Mereka melakukan perjalanan hingga ke daerah pedalaman Kalimantan Barat. Mereka kagum atas alam Borneo yang masih perawan dan utuh. Pemandanagn alam pun sumber semangat mereka untuk mewartakan Kristus. Mereka bukan motivasi terselubung seperti kolonial untuk mengeruk kekayaan alam yang ada tetapi semata-mata bertujuan misi kemanusiaan. Pengalaman ini sangat mirip dengan peristiwan yang dialami oleh para missionaris dalam tulisan Dana L, Robert:
Theological reasons for this missionary interest in nature have ranged from a sense of awe and gratitude at God’s creation to the competition with the priests and diviners of traditional nature religions. The overriding pragmatic concern affecting land was the to grow food for themselves and their converts.
(Alasan teologis mengapa misionaris mempunyai ketertarikan seputar alam, berangkat dari kekaguman dan syukur mereka atas ciptaan Allah, untuk bersaing dengan para pemimpin agama-agama tradisional yang bersumber pada keutamaan dari tradisi alam. Ketik mereka terlalu pragmatis melihat hal ini dan mengesampingkan akan tradisi dapat mempengaruhi alam tidak bisa memberi kehidupan baginya dan disinilah proses pertobatan mereka).
Laporan-laporan selanjutnya diperoleh dari Pater Van der Grinten. Pada tahun 1862 ia berkeliling mengunjungi orang-orang suku Dayak di daerah pedalaman. Misionaris ini menyelidiki kemungkinan-kemungkinan untuk upaya misi masuk ke Kalimantan Barat. Walaupun laporan dari Pater van der Grinten bernada optimis, namun tindak lanjut dari hasil kunjungannya itu tidak pernah dilakukan. G.Vriens, SJ dalam bukunya menulis bahwa selain faktor tenaga imam yang sangat sedikit, situasi Kalimantan Barat pada waktu itu tidak cukup aman. Kondisi ini disebabkan seringkali terjadi pertentangan-pertentangan antara pemerintah Belanda dengan kongsi-kongsi. Arti kata kongsi di sini dipahami sebagai suatu komunitas yang dibentuk dengan kemauan bersama yang demokratis di kalangan masyarakat Tionghoa yang datang dari Tiongkok dan bermukin di wilayah yang saat ini masuk dalam wilayah Kabupaten Sambas, Kota Singkawang dan Kabupaten Bengkayang).Hal ini juga ketika misi masih menekan pada nilai Injil menjadi misi utamanya, maka perjumpaan budaya dan misi peradaban, belum diperhatikan secara maksimal. Selain itu masih kendala bahasa Cina menjadi tantangan utama ketika berhadapan penduduk Cina di Singkawang.
Ternyata pengalaman ini, sebelumnya sudah dialami oleh para zending dalam pengalaman Allen dalam tulisan Lamin Sanneh:
The root theological conviction enabled Allen to transcend his own cultural limitations and, equally momentously, enable him to see a natural bridge between new testament Christianity and the missionary enterprise China. The Fundamental basis of human identity for Allen was not cultural but theological; human beings were first and last subjects of God’s redemptive work in Christ, and their cultural state carried no prior moral entitlement of disqualification. The superiority of Western culture was not Christianity’s remedy for the inferiority of non-Western cultures because in both case the gospel superiority and inferiority.
(Allen sendiri mengatasi keterbatasanya dalam hubungan antara dasar teologi sebagai keyakinannya dengan melebur pada kebudayaan sendiri, bersama-sama menjadi peristiwa perjumpaan sekaligus jalan untuk masuk Injil pada misi di China. Jadi Allen pertama-tama bukan kebudayaan yang utama tetapi pada makna Teologis. Jadi manusia bekerja untuk Allah sebagai simbol tebusan melalui Yesus Kristus dan itu membawa orang pada kesadaran atas budaya atas moral yang sebelumnya sudah dibatasi oleh manusia sendiri. Jadi keunggulan Budaya barat bukan menjadi kekuatan Kristern dengan bersikap budaya inferior dari non barat karena ini akan menjadi masalah dari keunggulan nilai Injil dimana ada sikap rendah hati di dalamnya).
Selain itu sejarah mencatat bahwa gereja katedral yang berdiri pada 1909 ini telah menjadi ikon, lebih dari satu abad perjalanan umat Katolik di Kalimantan Barat. Misionaris Jesuit dari Vikariat Apostolik Batavia, diutus ke Pemangkat, Kabupaten Sambas, 1865, dan tembus ke Sejiram, kabupaten Kapuas Hulu, 1890. Tahun 1901 didirikan Paroki Pontianak dan 11 Februari 1905 Vatikan menetapkan Prefektur Apostolik Pontianak di bawah Pelayanan Ordo Fratrum Minorum Capucinorum (OFMCap). Jumlah Umat di KAP (data 2015) 54.018 umat yang tersebar di 26 Paroki.
Dari Pontianak, Gereja Katolik mengembangkan sayapnya ke Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara dan Kalimantan Tengah. Provinsi Gerejawi di Kalimantan mencakup Keuskupan Agung Pontianak dengan seluruh sufragan di Kalimantan Barat. Sedangkan Keuskupan Agung Samarinda mencakup seluruh keuskupan sufragan di Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah.Selanjutnya penulis, membahas pengertian ‘Gereja Katedral’ dengan ‘gereja’ lainya dengan tujuan agar bisa membedakan dengan gereja dan secara khusus dan dimaknai dari tinjaun aspek filosofis dan teologis. Berikut pembahasanya.
2. Pengertian Katedral
Gereja Katedral berakar dari kata Latin Cathedral yang berarti kursi atau takhta uskup. Takhta ini biasa ditempatkan di sebuah gereja yang menjadi pusat atau induk dari sebuah keuskupan karena ada takhta uskup. Gereja tersebut kerap disebut, katedral. Di katedral inilah, seorang uskup memimpin perayaan Ekaristi serta upacara liturgi lain. Katedral menjadi simbol tempat uskup mengajar, yang menunjukkan martabat uskup. Uskup adalah imam utama.
Ia ditahbiskan dengan imamat penuh. Ia adalah guru, gembala, dan pemimpin. Tugas mengajar ternyatakan secara khusus melalui katedral. Katedral tak selalu berupa gereja yang besar, megah dan indah, walaupun katedral kerapkali disamakan dengan gedung besar yang mewah. Hal ini disebabkan pada abad pertengahan, pada umumnya katedral dibangun di tengah kota, berupa bangunan yang menjulang tinggi, luas dan penuhi hiasan seni yang bermutu tinggi. Katedral pertama di Indonesia ada sejak 1845, saat perfektur Apostolik Batavia diangkat menjadi Vikariat Apostolik Batavia. Bangunan yang pernah menjadi kediaman panglima tentara ini diubah menjadi gereja pada 1829. Tapi, katedral ini ambruk pada 1890, lalu dibangun kembali menjadi Katedral St.Perawan Maria Diangkat ke Surga Jakarta. Katedral ini bagai seorang ibu yang melahirkan katedral-katedral di seluruh Indonesia.
Makna Arsitektur Gereja Katedral Pontianak
Rancangan bangunan Katedral Pontianak adalah hasil arsitektur lokal atau putra asli kota Pontianak bernama : Ricky. Jika kita melihat lebih dekat maupun jauh seakan-akan Gereja Katedral Pontianak dibangun dengan perpaduan Roma dan Timur Tengah (Gaya Barok). Bahkan sepintas, bangunan terkesan mirip dengan Basilika Santo Petrus di Vatikan. Namun, ornamen bernuansa Dayak tidak begitu tampak lebih jelas di sana. Ukiran-ukiran Dayak hanya mengelilingi dinding gedung dengan model ukiran/motif dayak Mualang Sekadau Kalimantan Barat. Ada juga patung burung ruai dari kayu belian di halaman gereja. Di pelataran juga berdiri patung Santo Yosef berukuran raksasa. Atap berkubah menjulang tinggi. Ada pula sudut khusus untuk devosi Bunda Maria. Memasuki gereja, gaya klasik Eropa langsung terasa. Cahaya-cahaya menyembul, kaca-kaca besar berwarna-warni dengan hiasan gambar-gambar religius, seperti gereja di Eropa.
Beberapa bagian gereja juga didatangkan langsung dari benua biru yakni: “Tabernakel” kiriman langsung dari Spanyol berbahan kuningan dengan sepuh emas. Selain itu Interior gedung didominasi nuansa khas Tionghoa hanya tampak di sekeliling panti imam. Di meja penyangga tabernakel, misalnya banyak ukiran gaya Tiongkok berupa kotak-kotak dan hiasan bunga teratai. Begitu pula dengan pilar-pilar di area Mahakudus tempat imam memimpin umat, yang memiliki hiasan bercorak Tiongkok.
Beberapa bahan juga berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Di bawah altar, misalnya, ada patung Perjamuan Terakhir yang dipahat dari kayu Merbau asal Papua. Beberapa batang kayu Jati dengan ukiran Jepara juga tampak di beberapa bagian. Tidak semua barang di dalam gereja adalah baru. Altar dan pintu utama gereja, misalnya menggunakan kayu belian yang diambil dari pilar-pilar gereja katedral lama. Sebagai kenang-kenangan dari bangunan lama.
Kalau kita melihat pada sisi kubah bagian dalam dilukis indah. Kubah dibagi menjadi delapan bagian yang melambangkan delapan penjuru mata angin. Setiap bagian memiliki lukisan sendiri. Lukisan masing-masing menggambarkan penciptaan alam dan manusia, Adam dan Hawa jatuh dalam dosa, Musa di Gunung Sinai, umat Israel keluar dari Mesir, kelahiran Yesus, Yesus mengubah air menjadi anggur, Yesus disalibkan, dan peristiwa pentekosta.
Menurut kesaksian beberapa fotografer ketika membidik cemeranya di senja atau malam hari, pancaran cahaya dibalik salib dan sorot lampu remang-remang dari sudut-sudut altar membuat ornament di sekitar altar berkilau temaram. Selain itu, keindahan dan kemegahan interior Katedral yang dibangun di atas lahan seluas 5.994 meter persegi semakin mempesona bagi para pengunjung untuk sekedar menjadi view atau background foto/gambar. Sementara dari sisi luar gereja yang menelan biaya 70 miliar ini, menjulang tinggi nan megah dengan salib utama di pucuk kubah. Dari jauh, katedral ini tampak kokoh dan anggun, mengalahkan jajaran gedung di sepanjang jalan Pattimura, kota Pontianak.
Menurut Br. Alex, setelah dikonstruksi lebih dari 3 tahun enam bulan, katedral ini dithabiskan oleh Duta Besar Vatikan untuk Indonesia Mgr. Antonio Guido Filipazzi pada Kamis, 19 Maret 2015. Upacara penahbisan Katedral Pontianak bertepatan dengan Hari Raya Santo Yosep pelindung katedral ini. Istilah penahbisan dipakai karena gereja ini yang menjadi induk/pusat dari gereja-gereja Keuskupan Agung Pontianak. Selain itu, altar dan tabernakel tidak hanya di berkati, tetapi didupai dan diurapi.
2.Dinamika Kehidupan Menggereja Umat di Katedral Pontianak.
Pada bagian ini penulis membagi 3 pokok yang dapat membantu penulis untuk bisa memahami peran umat Katolik dalam membanguan gereja secara fisik dan gereja sebagai bangunan. Penulis percaya tanpa bantuan pemerintah katedral ini tidak bisa berdiri megah dan kokoh di Kota Pontianak. Ada beberapa pokok yang dibahas pada bagian berikut ini yaitu: pertama, peran tokoh pemerintah kedua, peran umat dan ketiga, dinamika kehidupan umat Paroki Katedral Pontianak berdasarkan terori Subangun (2003) dan sumber tulisan uskup Agung Pontianak emeritus.
Peran Pemerintah
Gubernur Kalimantan Barat, Cornelis, mengklaim Gereja Katedral Pontianak merupakan Gereja Katolik terbesar di Asia Tenggara. “Inilah Kenang-kenangan saya selama menjadi Gubernur Kalimantan Barat dua periode, 2008-2018, di samping Masjid Raya Pontianak. Katedral Pontianak direnovasi total pada tahun 2011. Renovasi gereja berkapasitas 3000 orang ini dan menelan Rp. 74 miliar dan Rp. 20 Miliar di antaranya sumbangan Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat.
Menurut orang nomor satu Kalimantan Barat ini, Gereja Katedral Pontianak merupakan ikon pariwisata Kota Pontianak, yang tidak hanya milik Gereja tetapi milik masyarakat Kota Pontianak. Umat Keuskupan Agung Pontiana (KAP) tentu bangga dengan rumah doa yang dibangun dengan gaya arsitektur mirip St. Petrus Vatikan ini. Cornelis selaku Gubernur berserta istrinya sebagai ketua panitia mengungkapkan bahwa gereja Katedral tersebut bukan hanya milik umat Pontianak tetapi nasional bahkan internasional karena sumber pendapatan yang pontensial di bidang pariwisata Kota Pontianak. Dia memuji arsitektur putra asli Pontianak karena memadukan gaya kubah yang banyak dipakai di Timur Tengah, gaya Romawi, dan gaya Dayak. Berbicara mengenai orang Dayak seringkali merujuk pada Katolik. Namun, harus diingat bahwa orang Dayak tidak hanya beragama Katolik. Ada juga agama Kristen, Islam dan Budha. Menarik adalah Presiden RI Jokowi Widodo, sempat mengunjungi Gereja Katedral yang megah di antara pembangunan gedung lain di Kota Pontianak di tahun yang sama. Jadi dengan kata lain hubungan Gereja dan pemerintah/negara saling membutuhkan satu sama lain sebagai keluarga hingga masyarakat – negara (bdk. Gaudium et Spes art.74: bdk. Go, 1989:105).
3.Peran Umat
Peran umat dalam membangun Gereja Katedral ini menjadi fundamental baik dari segala finansial maupun ide-ide yang membangun dalam memajukan kehidupan menggerja. Menurut beberapa informasi bahwa umat yang bermayoritas etnis Tionghoa di Paroki Katedral ini, memberi banyak sumbangan untuk mendukung pembangunan katedral baik sebagai pengusaha, pedagang maupun wiraswasta yang tidak hanya berdomisili di Kota Pontinak tetapi juga dari ibu kota Jakarta. Hari Sabtu 20 Desember 2015, pukul 18.00 WIB, sebagai sejarah di mana uskup Agung Pontianak Mgr Agustinus Agus, memimpin perarakan umat dari Gedung Pasifikus menuju Gereja Katedral Santo Yosep, menandai pertama kali digelar misa setelah empat tahun direnovasi total. Maka mulai saat itulah dinamika hidup menggereja umat semakin nampak dalam keterlibatan berbagai proses lancarnya acara resminya digunakan sebagai tempat bertemu dengan Tuhan dalam liturgi Katolik setiap hari.
4.Dinamika Kehidupan Umat Paroki Katedral Pontianak
Perkembangan kehidupan umat Paroki Katedral Pontianak tidak terlepas dari sejarah para misionaris yang berjuang dalam berbagai masalah yang penuh tantangan. . Pada bagian ini penulis mengutip dari beberapa sumber yaitu: Dr, Emanuel Subangun, Dr.Hasto Rosariyanto (ed.) dan buku kenangan 100 tahun Gereja Katedral St. Yosep Pontianak.
Dalam tulisan Subangun, 2003:7 Iman adalah tanggapan manusia terhadap Allah yang mewahyukan diri. Maka, iman adalah hubungan timbal balik antara Allah dan manusia. Allah menyatakan diri dalam wahyu; manusia menanggapi wahyu dengan menyerahkan diri kepada Allah. Bagi orang Kristiani, masih ditambahkan bahwa penyerahan itu terjadi dengan perantaraan Yesus Kristus. Begitulah iman sebagaimana dilihat oleh Konsili vatikan II.
Bagaimana iman itu dapat tumbuh dan berkembang didalam perwujudannyata baik dalam hidup menggereja maupun masyarakat. Di sini dapat dipahami bahwa ketika umat terlibat dalam berbagai kegiatan menggereja diharapkan juga aktif dalam hidup masyarakat untuk memberi kesaksian Injil yang hidup. Kesaksian yang riil adalah keterlibatan diri sepenuhnya sebagai masyarakat Indonesia dalam bingkai pluralisme dan multikuturalisme.
Di sini penulis mengutip tulisan Subangun 2003 mengenai kegiatan umat Katolik yang dibagi dua bagian yaitu: seputar menggereja dan kegiatan Masyarakat. Kegiatan menggereja ini seputar:Misa harian/mingguan, aktif kegiatan Karismatik, Bacaan Kitab Suci, Devosi , Meditasi, Zaiarah, Koor, aktif doa lingkungan dan pendapat tentang Kepribadian calon imam dan ekstensial peran imam dalam membangun iman umat. Namun yang kurang dalam tulisan ini adalah peran, para biarawan-biarawati, katekis sebagai mitra dalam perwartaan. Sedangkan kegiatan masyarakat diawali dengan pandangan tentang memilih agama suatu kebebasan pribadi, pandangan tentang busana jilbab, peran media dan agama. Selain itu Subangun menggambarkan bangunan dan situasi menggereja dari peninggalan Gereja kolonial nampak dalam pelayanan karitatif. Hal ini dapat dilihat bangunan Gereja bercorak eropa, biara-biara, karya kesehatan, pendidikan dan karya karitatif lainya. Subangun memperoleh data yang valid dari penelitiannya di wilayah kehidupan menggereja di Pulau Jawa Tengah. Namun untuk mengkorerasi hasil data tersebut, penulis tidak bisa menampilkan data dalam tulisan ini, karena belum ada riset khusus untuk kehidupan umat di paroki katedral Pontianak.
Untuk menjawab teori dari kajian tersebut, penulis mengutip dari beberapa sumber dan pengalaman penulis tinggal di Pontianak dri 2000-2002 dan 2010-2014 menjadi reprensentatif untuk menjawab dibagian pokok tulisan ini. Kehidupan umat Katolik di Paroki Katedral Pontianak tidak jauh berbeda pola kehidupan Kristiani seperti data-data tulisan Subangun yaitu kehidupan menggereja dan bermasyarakat.
Berikut ini penulis menggambarkan perkembangan umat Katolik berdasarakan salah satu sumber mengenai keadaan Gereja secara umum di Paroki Katedral Pontinak, yaitu:
Jumlah umat baptisan 200.000 per 31 Desember 2009 dan terdiri dari 19 paroki yang berada dikota maupun pedalaman.
5.Mempunyai Ardas yang lengkap sesuai dengan perkembangan iman umat.
Mempunyai Visi misi KAP yang jelas
Mengembangkan Gereja Lokal dalam berliturgi. Kehadiran gereja Katedral ini menjadi cermin bagi gereja-gereja di seluruh wilayah KAP. Liturgi harus mengikuti panduan litugi perayaan Liturgi yang berlaku. Selama ini lagu-lagu masih memakai buku Alleluya dari kumpulan lagu yang bercorak tiga etnis.
Selain itu di KAP ini ada berbagai Lembaga Pendidikan tingkat SD-PT juga lembaga Rumah sakit dan Lembaga biarawan biarawati yang sangat membantu umat dalam karya pendidikan, kesehatan dan sosial yakni: OFMCap, CDD, CICM, SMM, OP, CP, CM, MSA, MTB, OSA, PRR, SFD, KFS, SMFA, ALMA dan para lembaga Studi Seminari tingkat menengah dan Tinggi yang berada di Pontianak.
Dari gambaran keadaan dinamika kehidupan menggereja tersebut, penulis memberi kesimpulan sementara bahwa adanya ketidakseimbangan antara “gereja sebagai bangunan dan Gereja sebagai fisik” . Inilah menjadi catatan dan refleksi bagi penulis dan umat di KAP, bagaimana kekokohan bangunan gereja Katedral setidaknya selaras dengan semangat hidup menggereja. Tulisan ini akan menjadi valid apabila diawali dengan riset atau penelitan dengn model survey observasi yang konkret. Maka untuk mengaanalisis makna arsitektur Gereja katedral st. Yosef pontianak Kalimantan barat dapat terjawab dengan data-data yang valid dari hasil penelitian penulis.
III : PENUTUP
Di bagian penutup penulis merefleksi secara singkat, makna arsistektur Gereja yaitu:simbol keagungan kasih manusia kepada Allah juga menggambarkan seni merupakan ekspresi iman seseorang untuk mengungkapkan kemuliaan kebesaran Tuhan yang maha kuasa lewat bangunan yang megah, indah, mempesona. Namun dalam kesempatan yang sama menggelitik sebuah pertanyaan bagi penulis, apakah dengan membangun gereja Katedral yang megah dan kokoh tersebut, sangat membangun iman umat yang kokoh dan kuat dalam hidup menggereja? Bagaimana peran kekokohan iman umat dalam memberi kesaksian di tengah dan bermasayarakat yang berdimensi multikuturalisme dan prulalisme? Dan terakhir apakah kemegahan gereja tersebut menuntun kekuatan iman umat untuk menuju Kerajaan Allah?
Ricky sebagai arsitektur gereja Katedral St. Yosep Pontianak, ia berkarya cuma-cuma. Ia tidak dibayar karena sudah lama merindukan untuk mendesain “gereja” sebagai persembahan hidupnya bagi Tuhan. Ketika keinginan itu tercapai, ia jutru mendapat banyak kecaman dari sesama arsitek. Baginya, beban moral arsitektur dipikul sampai hembusan nafas terakhir. Dia sudah lama merindukan desain gereja namun keinginan itu memendam, justru tawaran datang dari Masjid Raya Singkawang Kalimantan Barat. Sang arsitektur ini bahagia karena doanya terkabul dimana ia bisa mendesain Katedral yang megah untuk Kemuliaan Tuhan. Beban itupun sudah terbalas dan tidak menjadi beban moral seumur hidup apabila tidak terjawab dan terselesai membangun gereja Katedral.
Dari pengalaman arsitektur di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa untuk memaknai “Arsitektur Gereja Katedral St. Yosef Pontianak Kalimantan Barat”, pertama-tama, harus memahami pribadi arsitektur sendiri, kedua menganaliasa setiap ornament yang penting dalam wilayah/ruang gereja baik dari aspek filosofis, budaya, sosial dan teologis. Titik pengalaman perjumpan dalam memandang dan mengobservasi bangunan yang kokoh dan kuat mengantar penulis bertanya sambil berefleksi: “ apakah kekokohan Gereja katedral itu mencerminkan juga kekokohan dan kekuatan iman umat di Paroki St. Yosep Katedral Pontianak. Maka penulis setuju apa yang diungkapkan oleh Paus Fransiskus : “Ingat! Harta benda sedang menyeret Anda menjadi orang yang kehilangan belas kasih, hanya demi menjadi superhero bagi Gereja. Ia yang punya mata hendaklah melihat! Ia punya telinga hendaklah mendengarkan!
DAFTAR PUSTAKA
Amantius & P. Yeri. (2013). Sejarah Gereja Kalimantan Seri I Sebelum 1905. (Kutipan dari
Arsip Kapusin Belanda
Boelaars, HuubJ.W.M. (2005). Indonesianisasi Dari Gereja Katolik di Indonesia Menjadi Gereja Katolik Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Kanisius
Eddy, Kristiyanto,A. & William Chang. (2014). Multikuturalisme. Jakarta: Penerbit Obor
Dana, L. Robert, Christian Mission, How Christianity Became A Word Religion, (Spi Publisher Service, Pondicherry, India: Printed in Singapura by. C.O.S Printers Pte Ltd, 2009)
Danesi, Marcel. (2010). Pesan, Tanda dan Makna.Yogyakarta: Jalasutra. hlm. 265.
Helwig, W.L. (1974). Sejarah Gereja Kristus. Yogyakarta: Penerbit Kanisius
Ihsan, Ali & Fausi, dkk. (2011). Kontroversi Gereja di Jakarta. Jakarta: Tim Peneliti Yayasan Paramadina. hlm. 62-68.
Iman Katolik Buku Informasi dan Referensi. (1996). Yogyakarta: Penerbit Kanisius
Januariawan, T. (Journal). (2009). Perencanaan dan Penataan Ulang Kompleks Gereja dan Candi “Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran” di Kabupaten Bantul, DIY, TA 2009.
Laksami, G.Siregar. (2006). Makna Arsitektur suatu Refleksi Filosofi. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, hlm.83
Lamin Sanneh, Disciples of All Nations, Pillar of Word Christianity, (Oxford Studies in Word Christianity : Yale University, 2008), P.219
Majalah Duta Keuskupan Agung Pontianak, No.330 TH.XXVI Februari 2015. hlm. 34
Majalah Mingguan Hidup No.12 Thn ke-69 22 Maret 2015 hal.36-37.
Ode,M.D.La. (1997). Tiga Muka Etnis Cina – Indonesia – Fenomena Di Kalimantan Barat Perspektif Ketahanan Nasional.Yogyakarta: Bigraf Publishing. hlm. 21-27
Rosariyanto,.Hasto, F.(ed.). (2001). Bercermin pada Wajah-Wajah Keuskupan Gereja Katolik Indonesia.Yogyakarta: Penerbit Kanisius
Subangun, Emanuel. (2003). Dekolonisasi Gereja di Indonesia –Suatu Proses Setengah Hati.
Yogyakarta: Penerbit Kanisius
Susilo, E., B., Y. (2002). Gereja dan Negara-Hubungan Gereja Katolik Indonesia Dengan Negara Pancasila.Malang: Averroes Press
Vrias, G. (1972). Sejarah Gereja Katolik Indonesia. Jakarta: Percetakan Arnoldus Ende-Flores
Wawancara dengan Br. Alexandro, MTB. Arsitektur dari Belanda tanggal 12 Desember 2016.
https://www.google.com/search?q=sejarah+arsitektur+Gereja+Katolik&ie diunduh pada tanggal 27 Desember 2016 9.52 AM.
https://Indonesia.ucanews.com/2013/11/28/paus-fransiskus-mengeluarkan Evangelii-gaudium, Selasa 26-11-2013, diunduh, 23 Desember 2016, 9.10 Pm.
https://id.wikipedia.org/wiki/Arsitektur Gereja diunduh 27 Desember 2016 9.54 AM