Oleh Ferdi Jelahu MTB
Perayaan Natal tahun 2020 ini, menuai banyak respon dari kalangan umat beriman Kristiani yang merayakan natal. Kalau saya merangkum atas banyak respon itu, hanya dengan kata “Natal kali ini sepih.” Tentu tidak mengherankan bila dikatakan demikian. Di mana-mana, Gereja merayakan Natal secara virtual [daring], umat diajak untuk merayakan Natal dari rumah. Rumah menjadi tempat untuk merayakan natal bersama dalam keluarga. Keluarga menjadi tempat pertama berbagi sukacita dalam merayakan Natal di tahun 2020 ini.
Natal sepi
Kalau boleh kita katakan secara jujur Natal tahun 2020 ini, begitu sepih, Gereja-Gereja merayakan natal secara virtual, yang datang ke Gereja adalah petugas yang sangat terbatas dan taat pada protokol kesehatan. Yang jelas sebagian umat menyaksikan hal ini di layar gawainya, ada juga yang menyaksikan lewat siaran TVRI.
Tepat 25 Desember 2020, pukul 08.30 saya melayani komuni suci untuk umat lansia di Lingkungan Carolus Borromeus, Paroki St. Paulus Pringgolayan, secara spotan, beberapa uamt mengatakan bahwa, “Bruder natal tahun ini sangat sepih! Sebagian besar umat banyak menyaksikan natal dari rumah saja” Lanjutnya.
“Itulah bu. Apa boleh buat, karena kita harus mentaati protokol kesehatan. Kalau kita ingin menjadi pewarta kabar gembira, kita harus memulai dari diri sendiri. Dengan cara memberikan contoh untuk mentaati protokol kesehatan.” Ungkapku.
Tidak perlu merasa kuat dalam menghadapi pandemi coivd 19. Kita harus bijaksana dalam menghadapi pademic covid 19. Natal yang kita rayakan pada tahun ini merupakan peristiwa iman yang sungguh luar biasa. Pemaknaan Natal menjadi baru. Makna baru perlu kita lihat dalam kaca mata iman.
Hati yang Bersukacita
Dalam Dokumen Konsili Vatikan II hati di tempatkan pada konteks relasi pribadi dengan Allah dan berhubungan secara pribadi pula dengan-Nya [GS 16]. Hati menjadi tempat perjumpaan personal dengan Allah. Hati kitalah yang paling mendasar dalam memaknai perjumpaan personal dengan Allah. Sebab Dia yang kita imani itu adalah kasih. Kasih-Nya sungguh terlaksana dalam kehidupan kita saat ini, dengan peristiwa inkarnasi [Allah yang menjadi manusia].
Dengan wahyu ilahi Allah telah mau menampakkan dan membuka diri-Nya sendiri serta
keputusan kehendak-Nya yang abadi tentang keselamatan manusia, yakni untuk
mengikutsertakan manusia dalam harta-harta ilahi, yang sama sekali melampaui daya
tangkap akalbudi insani [DV 6].
Dengan demikian kita mengenal Allah secara dekat melalui peristiwa Natal. Allah yang tidak pernah diam. Allah yang selalu bekerja di dalam hati kita. Diam dan tinggal besama kita. Agar kita mengenal Allah itu, kita harus membuka hati untuk mengenal-Nya secara personal. Manusia ikut ambil bagian dalam sejarah karya keselamatan itu. Karena Allah yang pertama-tama membuka diri-Nya untuk mengikuti sertakan kita di dalam harta-harta ilahi.
Moment Natal yang bergema
Hidup kita sesungguhnya adalah berpasrah pada kehendak Allah. Kita pasti akan dilanda berbagai persoalan dan tantangan hidup. Kita bertanya pada diri sendiri, “Akankah saya lari, dan aku mau lari ke mana?” Apakah kalau saya lari dapat menemukan tempat yang nyaman? Atau dapat menemukan berbagai tantangan dan persoalan baru? Hati menjadi tempat jawaban yang mengadu pada-Nya.
Masa pandemi covid justru berbalik, “lari tidak jadi, justru belajar untuk tinggal diam”. Diam tidak berarti tidak buat apa-apa. Diam lebih pada pengenalan Allah secara mendalam. Relasi personal dengan Allah dapat menggerakkan hati kita untuk menjadi penabur sukacita bagi sesama.” Itulah harapan natal Natal ditengah masa yang sulit ini. Karya pelayanan karitatif dapat kita lakukan secara kreatif dan inovatif.